Di negeri Eldoria yang terpecah antara cahaya Solaria dan kegelapan Umbrahlis, Pangeran Kael Nocturne, pewaris takhta kegelapan, hidup dalam isolasi dan kewaspadaan terhadap dunia luar. Namun, hidupnya berubah ketika ia menyelamatkan Arlina Solstice, gadis ceria dari Solaria yang tersesat di wilayahnya saat mencari kakaknya yang hilang.
Saat keduanya dipaksa bekerja sama untuk mengungkap rencana licik Lady Seraphine, penyihir yang mengancam kedamaian kedua negeri, Kael dan Arlina menemukan hubungan yang tumbuh di antara mereka, melampaui perbedaan dan ketakutan. Tetapi, cinta mereka diuji oleh ancaman kekuatan gelap.
Demi melindungi Arlina dan membangun perdamaian, Kael harus menghadapi sisi kelam dirinya sendiri, sementara Arlina berjuang untuk menjadi cahaya yang menyinari kehidupan sang pangeran kegelapan. Di tengah konflik, apakah cinta mereka cukup kuat untuk menyatukan dua dunia yang berlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PASTI SUKSES, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehadiran Putri Dari Negeri Seberang
Hari itu, suasana di Noctis Hall lebih sibuk dari biasanya. Pelayan berlalu-lalang dengan ekspresi tegang, mempersiapkan penyambutan tamu penting. Di tengah aula megah, Kael berdiri mengenakan jubah hitam berhias sulaman perak, wajahnya tetap tenang meski ia tampak tidak begitu antusias. Di sebelahnya, Arlina memerhatikan dengan penuh rasa ingin tahu.
“Putri dari negeri seberang,” gumam Arlina, mencoba mencari informasi dari Kael. “Kamu tidak pernah menyebut mereka akan datang.”
Kael menoleh, sudut bibirnya sedikit naik. “Tidak penting untuk dibicarakan. Mereka hanya singgah dalam perjalanan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Namun, bagi Arlina, kedatangan seorang putri—apalagi dari negeri seberang—tentu memiliki arti yang lebih besar. Ia diam-diam mencubit jari-jarinya sendiri, mencoba menekan rasa gelisah yang tak beralasan.
Ketika akhirnya tamu itu tiba, aula mendadak hening. Seorang wanita dengan kecantikan yang memukau melangkah masuk. Rambutnya sehitam malam, tergerai dengan hiasan perak yang berkilauan, dan matanya setajam elang. Ia mengenakan gaun biru tua dengan kerah tinggi, memancarkan aura kebangsawanan yang angkuh.
“Putri Celestine dari Ephyra,” pengawal mengumumkan.
Arlina menelan ludah saat melihat wanita itu membungkuk dengan anggun di depan Kael.
“Yang Mulia Pangeran Kael, terima kasih atas keramahtamahan Anda,” suara Putri Celestine lembut tapi tegas. Ia melirik sekilas ke arah Arlina, senyumnya sekilas tapi penuh arti.
“Selamat datang di Umbrahlis,” Kael membalas sambil sedikit menunduk. “Kami merasa terhormat atas kunjungan Anda.”
Celestine berdiri kembali, matanya beralih sepenuhnya ke Kael. “Saya mendengar banyak tentang negeri ini. Saya tidak sabar untuk melihatnya lebih dekat.”
Arlina merasa dirinya seperti orang luar di tengah percakapan itu. Ia melangkah mundur sedikit, tetapi Kael tiba-tiba memegang pergelangan tangannya.
“Ini Arlina,” Kael memperkenalkan dengan nada tegas. “Istri saya.”
Celestine melirik Arlina sekali lagi, senyumnya melebar. “Tentu saja. Senang bertemu dengan Anda, Nyonya Arlina. Saya harap Anda menikmati posisi Anda di sisi Pangeran.”
Nada bicaranya sopan, tetapi ada sesuatu yang membuat Arlina tidak nyaman. Namun, ia membalas dengan anggukan ramah. “Sangat senang bertemu dengan Anda, Putri Celestine. Selamat datang di Umbrahlis.”
Sore itu, Arlina berdiri di balkon istana, memerhatikan Celestine yang berbincang dengan Kael di taman. Meskipun ia tahu Kael adalah pria yang loyal, perasaan cemburu tak bisa ia hindari.
Lyra, pelayan setia Arlina, muncul di belakangnya. “Anda baik-baik saja, Nyonya?” tanyanya hati-hati.
Arlina menghela napas. “Menurutmu, apa maksud kedatangan putri itu?”
Lyra tersenyum kecil, lalu berkata, “Saya pikir dia hanya penasaran. Tapi...” Ia berhenti, seperti ragu untuk melanjutkan.
“Tapi apa?” desak Arlina.
“Dia terlihat terlalu nyaman berada di sisi Tuan Kael,” Lyra akhirnya mengaku. “Anda harus lebih waspada, Nyonya.”
Arlina menggenggam tepi balkon, matanya masih terarah pada Celestine yang tertawa kecil di samping Kael.
Malam itu, jamuan makan malam diadakan. Aula besar dihiasi dengan lilin-lilin besar dan rangkaian bunga berwarna gelap yang khas Umbrahlis. Celestine, yang duduk di sisi Kael, tampak menikmati perannya sebagai tamu kehormatan.
“Jadi,” Celestine mulai, menatap Kael dengan penuh perhatian. “Apa yang menjadi tantangan terbesar memimpin Umbrahlis?”
Kael meletakkan gelas anggurnya dan menjawab dengan nada santai. “Tantangan terbesar adalah menjaga keseimbangan antara kegelapan dan cahaya. Umbrahlis hidup di bawah bayangan, tapi kami tetap berjuang untuk menjaga harmoni.”
Celestine tersenyum lebar. “Itu kedengaran seperti beban yang berat. Saya yakin tidak semua orang bisa melakukannya.”
Arlina, yang duduk di sebelah Kael, merasa makin tidak nyaman. Ia akhirnya menyela dengan nada sopan. “Kael memang pemimpin yang hebat. Tapi, menurut saya, kekuatan Umbrahlis juga berasal dari orang-orangnya yang loyal dan berdedikasi.”
Celestine menoleh ke Arlina, alisnya terangkat. “Tentu saja,” jawabnya dengan nada ringan. “Tapi, seorang pemimpin hebat selalu menjadi inti dari segalanya, bukan?”
Arlina hanya tersenyum kecil, memilih untuk tidak memperpanjang argumen.
Setelah makan malam, Kael mendekati Arlina di kamarnya. Ia melihat istrinya duduk di tepi tempat tidur dengan ekspresi termenung.
“Ada apa?” tanya Kael, duduk di sebelahnya.
Arlina menoleh, menatap Kael dengan mata yang penuh emosi. “Kamu tidak melihatnya, ya? Cara dia memandangmu, cara dia berbicara...”
Kael mengerutkan alis. “Celestine? Apa maksudmu?”
Arlina berdiri, melangkah ke arah jendela. “Dia jelas ingin lebih dari sekadar singgah di sini. Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi aku bisa merasakannya.”
Kael mendekat, memegang pundaknya. “Arlina, kamu adalah satu-satunya yang aku pedulikan. Tidak ada orang lain yang bisa menggantikan posisimu di hatiku.”
Arlina menatap Kael dengan ragu, tetapi akhirnya menghela napas. “Aku hanya tidak suka bagaimana dia selalu ada di sekitarmu.”
Kael menarik Arlina ke dalam pelukannya, menyandarkan dagunya di atas kepalanya. “Percayalah padaku. Aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun mengganggu kita.”
Di tempat lain, Celestine berdiri di balkon kamarnya, menatap bulan purnama yang bersinar redup di langit Umbrahlis. Senyum tipis terukir di bibirnya.
“Kael, kamu mungkin telah memilih sisi cahaya,” gumamnya pelan, “tapi bayangan selalu menunggumu kembali.”
Hari-hari berikutnya di Noctis Hall diwarnai interaksi yang semakin intens antara Kael, Arlina, dan Celestine. Meskipun Kael berusaha menjaga jarak dengan Celestine, sang putri selalu menemukan cara untuk mendekatinya. Arlina, di sisi lain, mulai merasa bahwa kehadiran Celestine membawa sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kunjungan singkat.
Namun, meski gelisah, Arlina tahu satu hal pasti: Ia tidak akan menyerah begitu saja. Kael adalah miliknya, dan ia akan berjuang untuk mempertahankan cinta mereka, apa pun yang terjadi.
Di hari ketiga kunjungan Celestine, Arlina merasa dirinya semakin terpinggirkan. Putri dari Ephyra itu selalu tahu cara menarik perhatian Kael, bahkan di tengah urusan kenegaraan. Meskipun Kael selalu menunjukkan batasan yang jelas, Arlina tak bisa mengabaikan perasaan janggal yang terus tumbuh di hatinya.
Siang itu, di taman istana, Arlina duduk di bawah pohon besar sambil membaca buku. Namun, matanya sesekali melirik ke arah Kael yang sedang berdiskusi dengan Celestine di sisi lain taman.
“Lagi-lagi mereka bersama,” gumam Arlina dengan nada getir.
Lyra, yang duduk tak jauh darinya, mendekat. “Nyonya, Anda tidak perlu khawatir. Tuan Kael sangat mencintai Anda. Putri Celestine tidak punya tempat di hatinya.”
Arlina mengangguk, tetapi kegelisahan tetap terpancar dari sorot matanya. “Aku tahu, Lyra. Tapi perasaan ini sulit diabaikan.”
Di sisi lain taman, Kael memperhatikan Celestine berbicara tentang negeri asalnya, tetapi pikirannya terus melayang pada Arlina. Ia tahu istrinya sedang memerhatikannya dari jauh, dan itu membuatnya merasa bersalah.
Akhirnya, Kael menyudahi percakapan dengan Celestine dan berjalan ke arah Arlina.
“Arlina,” panggilnya lembut.
Arlina menoleh, wajahnya berusaha menyembunyikan kerisauan. “Apa yang membawamu ke sini?”
Kael duduk di sebelahnya, menggenggam tangannya erat. “Kamu. Aku ingin memastikan kamu tahu bahwa tidak ada yang lebih penting darimu.”
Arlina tersenyum kecil, meski masih ada sedikit keraguan dalam matanya. “Aku percaya padamu, Kael. Hanya saja... aku ingin semuanya kembali seperti dulu.”
Kael mengecup punggung tangannya dengan lembut. “Dan aku akan memastikan itu terjadi.”