Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Mahkota Dan Hukuman Adat.
Angin berhembus sedang, membawa suara burung-burung yang berkicau, seakan berusaha melunakkan ketegangan di dalam rumah itu. Matahari yang semakin meninggi mulai menghangatkan permukaan rumah-rumah di Desa Mola-Mola, menciptakan kontras dengan suasana tegang di dalam ruangan.
Di dalam, keraguan masih membayangi, bercampur dengan secercah harapan yang perlahan muncul seiring dengan kedatangan orang asing ini. Satrio merasa tatapan mereka menantikan jawaban yang lebih jelas.
“Kau bisa berbicara dengan leluhur kami?” tanya Ekot, nada suaranya setengah menuntut, setengah bingung.
Satrio menggeleng pelan, “Bukan, aku tidak bicara dengan leluhur kalian.”
Balewa menyela, suaranya terdengar lebih penuh emosi, “Lalu apa artinya itu? Mengapa kau bisa tahu legenda desa kami?”
Satrio menarik napas panjang sebelum menjawab, “Aku mendapatkannya dari batu prasasti yang ada di dalam gua kalian.”
Ekot, yang tampaknya masih belum puas, mendengus. “Kau bisa berbicara dengan sebuah batu?” nada sinis terdengar jelas dalam ucapannya.
Namun sebelum Satrio bisa merespons, Pak Kades mengangkat tangannya, meminta mereka berhenti. “Sudah-sudah,” katanya, suaranya terdengar letih. Hening menyelimuti ruangan, menarik perhatian semua orang pada sosok Pak Kades yang tengah menundukkan kepalanya.
Dengan suara rendah, Pak Kades akhirnya melanjutkan, “Kami telah meninggalkan leluhur kami. Melupakan adat yang seharusnya kami jaga.”
Satrio menatapnya dalam-dalam, memahami beban yang tersirat dalam setiap kata yang keluar dari mulut pria paruh baya itu. Sejenak, ia merasa kata-katanya tak cukup untuk menghapus rasa bersalah yang tersembunyi di balik tatapan Pak Kades.
Ekot dan Balewa mereda, wajah mereka yang semula tegang perlahan berubah, seolah tenggelam dalam ketidakberdayaan yang sulit diungkapkan.
“Akibat dari perlakuan kami, saat ini desa sedang menerima hukuman dari leluhur kami,” ujar Pak Kades, suaranya sarat penyesalan.
“Hukuman?” Satrio bertanya, raut wajahnya menyiratkan kebingungan.
Pak Kades menghela napas berat, mengakui kebenaran yang telah lama dipendam, “Aku akui, seluruh warga desa saat ini sudah melupakan jati diri mereka. Sehingga membuat murka leluhur kami. Desa yang biasanya damai, kini berubah mencekam. Saat kutukan itu datang.”
Ekot mengepalkan tangan, menahan amarah dan kegelisahan yang kembali memuncak. “Aku tak akan membiarkan! Kutukan itu merenggut lebih banyak gadis-gadis desa,” ujarnya geram.
Satrio tampak mencermati setiap kata yang diucapkan, mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di desa ini. Ia tahu situasi ini jauh lebih rumit dan kelam dari yang ia bayangkan sebelumnya. Dalam benaknya, Satrio mencoba merangkai potongan-potongan informasi yang terdengar tidak asing, namun belum sepenuhnya jelas.
“Apakah kutukan itu hanya menyerang para gadis?” tanya Satrio, mencoba meraba inti dari masalah ini.
Pak Kades mengangguk pelan, wajahnya penuh kerisauan. “Kutukan itu merenggut mahkota yang selalu mereka jaga dengan sangat hati-hati,” jawabnya lirih.
“Mahkota?” Satrio mengulang kata itu, merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik maknanya.
Pak Kades menjelaskan dengan nada lebih tenang, namun sarat penyesalan, “Ada satu-satunya tradisi yang masih kami pegang hingga saat ini. Tradisi itu demi melindungi kesucian para gadis di desa.”
Ekot, yang sejak tadi menahan emosi, menambahkan dengan nada yang lebih penuh amarah, “Tradisi itu, mengharuskan setiap gadis di desa ini dalam keadaan suci, sebelum waktunya tiba.”
Balewa menyambung dengan nada suara yang lebih tegas, menekankan setiap kata, “Jika seorang gadis kehilangan mahkota itu, sebelum pernikahan adat, maka gadis itu akan dibuang dan dipersembahkan kepada raja rimba.”
Mendengar semua itu, bulu kuduk Satrio meremang. Tradisi di desa ini mengharuskan mereka menjaga kesucian para gadis dengan sangat ketat. Namun, ini bukan hanya soal kehilangan mahkota atau harga diri. Melainkan ada hukuman yang mematikan, sebuah kenyataan yang bahkan membuat logika Satrio terguncang. Rasa ngeri dan kebingungan menggelayut di benaknya.
Satrio menghela napas panjang, perlahan mulai mengerti mengapa para penduduk begitu cemas dan was-was. Desa ini tengah berada dalam cengkeraman sebuah keyakinan kuno yang tampak melampaui batas pemahaman modern.
“Apa kau bisa membantu kami?” tanya Ekot, suaranya terdengar seperti harapan terakhir yang menggantung di ujung lidahnya.
Pak Kades melirik lirih ke arah Ekot, sosok pria yang terlihat seolah kehilangan taringnya. Pak Kades tahu betul bahwa beban di pundaknya semakin berat, seperti beban sejarah dan masa depan desa yang bercampur jadi satu.
“Mungkin kau bisa bicarakan hal ini kepada leluhur kami,” suara Balewa terdengar ragu, namun di dalamnya ada nada keputusasaan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Tanyakanlah apa yang harus kami lakukan, agar kutukan ini bisa diakhiri,” pinta Ekot, suaranya hampir seperti permohonan putus asa. Pak Kades hanya mengusap alisnya dengan pasrah, seolah tak ingin menghancurkan harapan Ekot dan Balewa yang sudah menggantungkan nasib mereka pada pria asing yang baru saja mereka kenal.
Di sisi lain, Satrio masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia mencoba mencari penjelasan yang logis di balik semua ini, menghubungkan setiap detail yang telah ia dengar. Meski logikanya menolak, ia merasa ada sesuatu yang harus ia temukan, sebuah kunci untuk mengakhiri kutukan ini.
Pak Kades, yang menyadari Satrio tenggelam dalam pikirannya, memecah keheningan. “Ageo? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada lembut, memanggil nama gelarnya dengan salah. Pertanyaan itu membuat Satrio terkesiap, sadar dari lamunannya. Ia melirik satu per satu wajah yang menatapnya penuh harap, seperti menunggu sebuah jawaban yang mungkin dapat menyelamatkan mereka.
Satrio menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu bahwa ini bukan keputusan yang sepele. Namun, satu-satunya jalan yang ia lihat di hadapannya adalah menerima permintaan mereka. Menolak bisa saja berarti menghadapi hukuman dari desa ini. Hukuman yang mungkin lebih mengerikan daripada yang ia bayangkan. Di sisi lain, ini juga memberinya kesempatan untuk mempelajari lebih dalam susunan teks dan simbol kuno di gua leluhur, yang bisa menjadi kunci dari semua misteri ini.
Dengan pandangan tegas, Satrio akhirnya memecah kesunyian. “Pertama, namaku Satrio, bukan Ageo,” ucapnya, suaranya terdengar jelas, memastikan tak ada keraguan di antara mereka. “Kedua, aku hanya bisa membaca, bukan berbicara dengan leluhur kalian. Dan ketiga,” ia berhenti sejenak, menatap wajah-wajah yang mengharapkan jawaban, “jika kalian mengizinkanku untuk mempelajari batu di gua itu, mungkin aku bisa menemukan apa yang leluhur kalian lakukan. Kalian bisa mengikuti langkah mereka, dan mungkin kutukan ini akan berhenti setelah itu.”
Hening menyelimuti ruangan setelah kata-kata Satrio melayang di udara. Angin yang masuk lewat celah pintu terasa membawa harapan baru, sekaligus keraguan yang masih samar-samar. Wajah-wajah itu menatapnya, seolah berusaha menangkap kebenaran dari setiap kata yang baru saja terucap.
lanjut nanti yah