"Buang obat penenang itu! Mulai sekarang, aku yang akan menenangkan hatimu."
.
Semua tuntutan kedua orang tua Aira membuatnya hampir depresi. Bahkan Aira sampai kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan seorang pria beristri. Dia justru bertemu anak motor dan menjadikannya pacar pura-pura.
Tak disangka pria yang dia kira bad boy itu adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimanya sebagai sekretaris.
Namun, Aira tetap menyembunyikan status Antares yang seorang CEO pada kedua orang tuanya agar orang tuanya tidak memanfaatkan kekayaan Antares.
Apakah akhirnya mereka saling mencintai dan Antares bisa melepas Aira dari ketergantungan obat penenang itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
"Mulai sekarang, jangan balapan lagi!"
Antares menganggukkan kepalanya saat papanya memarahinya. Meski dalam hatinya dia ingin sekali tertawa karena bagaimanapun juga dia sudah berumur 30 tahun tapi ketika dimarahi seperti ini dia seperti kembali berumur belasan tahun.
Antares tidak bisa menahan tawanya lagi. Dia menepuk lengan papanya, lalu memakai jasnya. "Papa sudah tua jangan marah-marah. Papa cukup jaga kesehatan saja."
"Kamu juga sudah tidak muda lagi. Umur kamu sudah 30 tahun. Kapan kamu menikah? Biar tidak main-main terus di jalanan."
"Menikah? Kalau ada yang mau ya aku akan segera menikah." Kemudian Antares berjalan terpincang keluar dari rumahnya.
"Kalau kaki kamu sakit sekali, kamu di rumah saja. Kantor biar diurus Riko," kata Sky sambil mengikuti putranya.
"Kakiku tidak apa-apa. Semalam sudah diobati. Tidak sampai terkilir parah. Biar Anton yang mengantarku ke kantor." Kemudian Antares masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang.
Antares menatap layar ponselnya saat perjalanan menuju kantor. Dia mengirim pesan pada Aira sambil tersenyum kecil. "Jangan terlambat. Pekerjaan kamu menumpuk."
"Iya, saya lagi nunggu ojek dari tadi belum ada yang menerima."
Antares tersenyum, kemudian dia meminta sopirnya untuk berbelok ke area perumahan Aira. Setelah berhenti di depan rumah Aira, dia melihat Aira yang masih berdiri di depan rumahnya sambil menatap layar ponselnya.
"Anton, bunyikan klaksonnya."
Saat klakson itu berbunyi, Aira terkejut. Dia melihat Antares yang melambai ke arahnya saat kaca mobil itu dibuka. Aira berjalan cepat menuju mobil Antares sebelum kedua orang tuanya tahu.
"Pak Ares, kenapa ke sini?"
"Kamu masuk!" perintah Antares.
Aira masuk ke dalam mobil itu dan duduk di sebelah Antares. Kemudian mobil itu segera melaju.
"Pak Ares, untung gak ada orang di depan," kata Aira.
"Memang kenapa?"
"Ya, saya tidak mau mereka tahu kalau Pak Ares itu bosku."
Antares hanya tersenyum kecil. Dia menatap kakinya yang masih terasa sakit. Sebenarnya dia bisa saja menuntut Yudha tapi kali ini dia membiarkan Yudha, tapi jika Yudha melakukannya sekali lagi, dia akan pastikan Yudha mendekam di penjara.
Mereka terjebak kebisuan sepanjang perjalanan. Hingga akhirnya mobil itu berhenti di tempat parkir perusahaannya.
"Terima kasih, Pak Ares." Buru-buru Aira keluar dari mobil Antares mumpung tidak ada yang melihatnya.
Anton segera membuka pintu mobil untuk Antares lalu membantunya turun. "Apa saya antar masuk ke dalam?" tanya Anton. Dia masih memegangi tubuh Antares.
Antares menggelengkan kepalanya. "Aku tidak apa-apa." Antares melepas tangan Anton. Dia berjalan terpincang masuk ke dalam perusahaannya.
"Kaki Pak Ares kenapa?" tanya Riko yang baru saja datang dan melihat bosnya sedang kesakitan sambil berusaha berjalan.
"Jatuh dari motor."
Mendengar hal itu, seketika Aira menghentikan langkah kakinya. Dia membalikkan badannya dan melihat Antares yang sedang dibantu berjalan oleh Riko.
"Pak Ares habis kecelakaan?" tanya Aira.
"Iya, tidak apa-apa. Hanya luka kecil," kata Antares. Dia berpegangan lengan Riko dan masuk ke dalam lift.
"Pasti Pak Ares habis balapan. Makanya ingat umur. Sudah tua juga."
Seketika Antares menjitak kepala Riko. "Kamu tidak sopan! Aku masih muda."
Aira hanya tersenyum kecil mendengar mereka berdua. Setelah pintu lift terbuka, Aira keluar terlebih dulu. Sedangkan Antares kini masih dipegangi Riko.
"Kamu lihat ke tim QC, pastikan semua lancar," kata Antares.
Riko menganggukkan kepalanya lalu membantu Antares duduk di ruangannya.
"Tolong, lepas sepatuku."
Kemudian Riko melepas sepatu Antares. "Kenapa Pak Ares tidak istirahat saja di rumah biar cepat sembuh."
Antares melihat kakinya yang diperban coklat. Kondisi kakinya memang tidak parah, tapi masih saja terasa sakit saat dia buat jalan.
"Tidak apa-apa. Kata dokter tidak ada pergeseran tulang, hanya efek terbentur saja. Suruh Aira serahkan hasil meeting kemarin ya."
"Baik, Pak." Kemudian Riko keluar dari ruangan Antares dan menyuruh Aira masuk. "Pak Ares minta catatan hasil meeting kemarin."
"Iya." Aira segera mempersiapkannya tapi saat dia akan masuk ke dalam ruangan Antares, ada beberapa pesan masuk ke ponselnya.
"Kalau Kak Aira masih tidak mau menikah dengan Bang Toni, aku bisa lakukan lebih dari ini."
Aira membuka sebuah video kiriman dari Yudha. Dia sangat terkejut saat motor Yudha menabrak motor Antares dengan keras. "Jadi Pak Area jatuh dari motor gara-gara Yudha."
Aira segera masuk ke dalam ruangan Antares.
"Aira, aku mau lihat hasil meeting kemarin," kata Antares yang melihat Aira masuk ke dalam ruangannya dengan tangan kosong.
Aira tak menjawabnya. Dia justru berlutut melihat kaki Antares.
"Kakiku tidak apa-apa." Antares membungkukkan badannya dan menarik lengan Aira yang bergetar. "Kenapa?"
Aira tidak menjawabnya. Dia justru meremat tangannya dengan napas yang mulai tidak teratur.
"Aira, kenapa?" tanya Antares semakin khawatir.
"Kenapa Pak Ares tidak bilang kalau Yudha yang sengaja menabrak Pak Ares."
"Siapa yang bilang sama kamu?"
Aira tak menjawabnya lagi.
"Yudha? Aira, dia hanya ingin menghancurkan mental kamu saja. Jangan pedulikan dia. Aku tidak apa-apa dan aku bisa jaga diri sendiri."
"Tapi ... Itu sangat bahaya. Pak Ares tuntut saja Yudha."
"Iya, seharusnya aku memang menuntutnya tapi aku beri satu kesempatan lagi." Antares berdiri dan mendekati Aira. "Jangan terlalu dipikirkan. Aku masih bisa mengatasinya."
"Pak Ares, saya akan bilang sama keluarga saya kalau saya sudah putus sama Pak Ares agar mereka tidak mengganggu Pak Ares lagi."
Antares tersenyum mendengar hal itu. "Kamu seenaknya mengajakku berpacaran lalu seenaknya juga memutuskanku."
"Pak, pacaran kita cuma pura-pura jadi tidak masalah kan?"
Antares masih saja menahan lengan Aira dan menatapnya. "Masalahnya, aku sudah terlibat sejauh ini."
"Iya, maaf saya salah."
Antares semakin mendekat yang membuat Aira memundurkan langkah kakinya. Tapi Antares terus mendekatkan wajahnya hingga membuatnya menutup kedua matanya.
Antares justru tersenyum melihat ekspresi Aira. Padahal dia hanya ingin mengambil potongan tisu yang ada di rambut Aira.
Menyadari hal itu, Aira membuka kedua matanya. Dia merasa malu dan mendorong Antares yang masih menahan lengannya.
Antares kehilangan keseimbangan hingga membuatnya terjatuh.
"Pak Ares!" Aira akan menarik tangan Antares tapi justru dia yang ikut jatuh ke lantai dan menindih lengan Antares.
"Aira, kamu mendorongku sekuat tenaga tapi kamu menarikku tanpa tenaga."
"Sa-saya. Hmm, maaf. Apa kepala Pak Ares sakit?" Aira membantu Antares duduk lalu menyentuh rambut belakang Antares dan mengusapnya.
Tapi tatapan mata Antares justru membuatnya merasa canggung. Aira menghentikan usapannya. "Sa-saya ambil catatan meeting kemarin." Aira pergi begitu saja meninggalkan Antares.
Antares masih duduk di lantai sambil mengusap dadanya. "Sepertinya aku perlu memeriksa kesehatan jantungku."
akhirnya ngaku juga ya Riko...
😆😆😆😆
u.....