Marriage Is Scary...
Bayangkan menikah dengan pria yang sempurna di mata orang lain, terlihat begitu penyayang dan peduli. Tapi di balik senyum hangat dan kata-kata manisnya, tersimpan rahasia kelam yang perlahan-lahan mengikis kebahagiaan pernikahan. Manipulasi, pengkhianatan, kebohongan dan masa lalu yang gelap menghancurkan pernikahan dalam sekejap mata.
____
"Oh, jadi ini camilan suami orang!" ujar Lily dengan tatapan merendahkan. Kesuksesan adalah balas dendam yang Lily janjikan untuk dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Syndrome, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teriakan Malam
Sepanjang jalan pulang, Lily berkali-kali melirik Isaac yang duduk di sebelahnya, namun suaminya hanya menatap lurus ke depan. Ketika mobil akhirnya berhenti di depan rumah, Isaac keluar tanpa berkata apa-apa. Lily mengikutinya dengan hati-hati, merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang menghantui suaminya daripada sekadar insiden di restoran tadi.
Saat mereka masuk ke dalam rumah, Isaac langsung duduk di sofa tanpa menoleh. Lily menutup pintu dengan pelan, masih kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Isaac tampak begitu jauh, seakan ada tembok yang memisahkan mereka.
"Isaac," panggil Lily dengan nada lembut. Dia berharap Isaac akan membuka diri dan menjelaskan apa yang mengganggunya.
"Ada masalah apa? Aku nggak pernah liat kamu gini," ujar Lily seraya duduk di seberang Isaac. Tatapan matanya begitu lembut, namun terlihat khawatir.
Namun, Isaac hanya terdiam. Dia melepas jasnya dan melemparkannya ke sembarang arah, kemudian berjalan menuju tangga tanpa memberikan penjelasan sedikitpun. Lily mulai merasa frustasi.
"Isaac, please. Aku tahu ada yang nggak beres. Aku cuma pengen tahu kenapa kamu gini," lanjut Lily, suaranya penuh kekhawatiran. Dia beranjak berdiri, lalu menyusul suaminya.
Isaac berhenti sejenak di kaki tangga, tapi masih tak menoleh. Dia mendesah, lalu melanjutkan langkahnya naik ke lantai atas. Lily merasa hatinya tertusuk melihat suaminya mengabaikannya seperti itu. Dia mengikuti Isaac dengan langkah tergesa-gesa, tidak mau membiarkan suasana semakin buruk.
"Isaac!" seru Lily sedikit lebih keras ketika Isaac sudah sampai di pintu menuju rooftop dengan tangan yang memegang rokok dan korek. Seperti biasa, Isaac akan merokok dan menghilangkan beban pikirannya untuk sejenak.
Isaac akhirnya berhenti, tangan sudah memegang gagang pintu menuju rooftop. Dia menunduk, rahangnya tampak mengeras menahan emosi yang sepertinya sudah menumpuk.
"Aku butuh waktu sendiri," jawab Isaac dengan nada datar, namun tegas.
"Tapi aku istrimu, Isaac," balas Lily.
"Kalo ada apa-apa, kamu bisa cerita. Apapun itu," sambungnya, berharap Isaac berubah pikiran mau menceritakan semua hal.
Isaac membuka pintu ke rooftop tanpa melihat ke arah Lily. Udara malam yang dingin langsung menyambutnya.
Lily berdiri di ambang pintu, sementara Isaac berjalan menuju pagar di tepi rooftop, mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya dengan tangan yang sedikit gemetar. Asap rokok mengepul, menyatu dengan langit malam yang gelap.
Lily mendekat namun memberi jarak, merasa cemas melihat sikap suaminya yang begitu asing.
"Isaac, tolong," suaranya mulai terdengar putus asa.
"Selama ini aku nggak tahu kalo kamu takut darah. Sebenernya ada apa?"
Isaac membuang napas keras, asap rokok mengepul dari mulutnya lagi. Dia tidak langsung menjawab. Lily tetap berdiri di dekatnya, menunggu jawaban yang tidak kunjung datang. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Isaac berbicara.
"Aku nggak bisa cerita ke kamu,” katanya dengan nada dingin.
"Aku cuma butuh waktu sendiri," sambungnya tanpa menoleh sedikitpun kearah Lily.
Lily menarik napas dalam-dalam, dia benar-benar merasa seperti orang asing di hadapan suaminya.
"Isaac, aku istri kamu, bukan orang lain. Kalo ada apa-apa, semestinya kita saling terbuka satu sama lain." Lily berusaha menahan air mata yang mulai membasahi sudut matanya. Perasaannya benar-benar campur aduk.
Isaac berbalik cepat, matanya tampak gelap dan penuh emosi yang terpendam. "Kenapa kamu masih nggak ngerti juga, sih?! Aku nggak butuh kamu banyak tanya! Aku cuma pengen sendirian sekarang!”
Lily terkejut mendengar suaminya membentak seperti itu. Dia mencoba tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak.
"Isaac, aku ngerti kamu mungkin butuh waktu sendiri, tapi aku nggak bisa diam aja liat kamu gini. Aku cuma pengen tahu kamu kenapa. Aku istri kamu, bagian dari hidup kamu. Seharusnya kamu nggak menutup-nutupi apapun dariku."
Mendengar itu, Isaac tertawa kecut, penuh kepahitan. "Cerewet banget sih jadi perempuan! Aku pusing Lily! Aku nggak tahu harus gimana dan aku butuh waktu buat mikir!"
"Isaac…" bisik Lily, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku cuma mau bantu kamu. Kenapa kamu gini?"
Isaac melempar puntung rokoknya ke lantai dan menginjaknya dengan keras. Dia menggelengkan kepala, frustasi dan marah.
"Kamu nggak akan ngerti, Lil. Kamu nggak akan ngerti sama kondisiku sekarang. Aku butuh waktu sendiri, tapi kamu selalu maksa aku buat ngomong. Aku cuma pengen sendiri!"
Lily menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan tangisnya, “aku pengen ada di sisimu, dalam kondisi apapun," lirih Lily. Sungguh, dia hanya ingin berada disisi Isaac dan mendengar keluh kesah Isaac. Dia ingin menjadi tempat ketika suaminya sedang ada masalah atau sedang kacau. Namun, niat baik Lily tak disambut baik pula oleh Isaac.
"Aku nggak butuh itu!" teriak Isaac, suaranya penuh kemarahan. "Aku butuh ruang, Lil! Kamu terlalu cerewet, terlalu pengen tahu.”
Sebelum Lily sempat menjawab, Isaac sudah berbalik dan berjalan dengan cepat ke arah pintu. Lily mengikutinya dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata.
"Isaac, tunggu! Jangan pergi. Kita bisabicara-"
Tapi Isaac sudah tidak mendengarkan. Dia membuka pintu dengan kasar dan menuruni tangga dengan cepat. Lily berdiri di sana, tak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi.
Perutnya terasa sakit, seperti ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya. Dengan langkah yang berat, dia mencoba mengejar Isaac, tapi suaminya sudah mencapai pintu depan.
"Isaac, kamu mau kemana?” seru Lily putus asa, suaranya pecah oleh tangis.
Isaac tidak berhenti. Dia membuka pintu depan dan melangkah keluar, menuju mobilnya. Lily hanya bisa berdiri di ambang pintu, menangis tanpa bisa menahan kepergian suaminya.
Isaac masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Dalam sekejap, mobil itu melaju pergi, meninggalkan Lily sendirian di depan rumah mereka.
Lily jatuh berlutut di depan pintu, air matanya tumpah tanpa henti. Perasaan hancur dan bingung memenuhi dirinya. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Isaac, atau apa yang telah membuat suaminya begitu berbeda malam ini.
Lily hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Isaac. Dia ingin tahu apa yang membuat suaminya tampak gemetar dan ketakutan. Dia hanya ingin Isaac menceritakan semuanya dan memeluk dirinya dalam dinginnya malam.
“Aku pengen ada di samping kamu di saat kamu kacau,” lirih Lily dengan hati yang terasa nyeri. Dia merasa seperti bukan siapa-siapa dan merasa kecil.
Lily beranjak berdiri, berjalan memasuki rumah dan menutup pintu dengan air mata yang terus mengalir.
“Isaac, kamu sebenernya anggep aku apa sih? Kenapa kamu nggak mau terbuka sama aku? Ujarnya lirih.
Lily terus menangis, bertanya-tanya apakah dirinya sudah tidak berharga lagi di hidup Isaac. Bahkan, untuk sekedar duduk dan bercerita saja Isaac tidak mau.
biar semangat up aku kasih vote utkmu thor