Ekspedisi Arkeologi - Misteri Kutukan Mola-Mola.
Prolog.
Ekot dan Pak Kades duduk di depan rumah, menikmati ketenangan pagi setelah hari yang panjang. Namun, langkah cepat Pak Janjan yang datang dari kejauhan membuyarkan keheningan. Ekot segera berdiri, merasa ada sesuatu yang mendesak.
Tanpa menunggu lama, Pak Janjan, dengan napas terengah-engah, langsung menyampaikan kabar mengerikan, "Ekot! Kutukan itu kembali! Anak Pak Purrok. Daiva... Daiva telah menjadi korban."
Mendengar kabar itu, dunia Ekot seakan runtuh. Ia terjatuh berlutut, hatinya berteriak dalam hening, sementara air matanya mulai mengalir tanpa ia sadari. Pak Kades segera menghampirinya, mencoba meredam kesedihan anaknya, tapi amarah dan rasa bersalah sudah meluap di dada Ekot.
"Ekot, tenangkan dirimu," ujar Pak Kades dengan suara tenang namun putus asa, akan tetapi Ekot tidak lagi mendengarnya. Ia bangkit dengan cepat, berlari menuju sisi rumah, mengambil tombak yang tersandar di sana. Matanya menyala penuh dendam dan kepedihan yang membara.
"Ekot! Jangan gegabah!" Pak Kades mencoba menghentikannya, tapi Ekot sudah melesat ke arah hutan, tak lagi bisa dihentikan.
Ekot berlari dengan napas terengah, menerjang semua rintangan yang ada di dalam hutan. Dahan-dahan tajam menggores tubuhnya, kakinya terluka oleh batu-batu tajam, namun ia tak peduli. Meski tubuhnya terjatuh beberapa kali, ia selalu bangkit dan terus berlari, dikuasai oleh kemarahan yang membara.
Ketika akhirnya tiba di depan Gua Leluhur, Ekot tak lagi berpikir panjang. Dengan tombaknya, ia menghancurkan sesembahan yang tertata di bibir gua, melemparkan semua persembahan yang telah dipersiapkan oleh warga. Nafasnya berat, matanya menyala liar menatap kegelapan gua yang menelan semua harapannya.
"Leluhur! ... Apa yang harus kami lakukan!" Ekot berteriak ke dalam gua, suaranya menggema di antara batu-batu yang dingin. "Kami sudah melakukan apa yang kalian minta! Tapi mengapa kutukan ini masih merenggut warga kami!"
Tubuhnya jatuh berlutut, memohon, suaranya kini tersendat oleh isakan penuh keputusasaan. "Jika harus ada yang dikorbankan! ... ambillah nyawaku!"
Ekot terdiam, merasa betapa kecil dan tak berdayanya dirinya di hadapan kekuatan yang tidak bisa ia pahami. Dalam kesedihan dan rasa bersalah, ia memejamkan mata, berharap ada keajaiban yang datang untuk menghentikan penderitaan ini.
Ekot menaikan dagu, memperlihatkan air mata dan deretan gigi dari raut wajah yang begitu emosi dan tertekan. "Jika aku tak mampu melawanmu... Siapapun! Kumohon gantikanlah aku untuk mengahncurkan kutukan ini! Tolonglah desa kami! Tolong kami!"
***
Bab 1: Lisa Gadis Desa.
Desir air sungai yang mengalir di pinggir desa seringkali menjadi pengantar tidur bagi penduduk, menambah kesan bahwa Mola-Mola adalah tempat yang aman dan jauh dari kekacauan dunia luar.
Namun, ketenangan itu kini hanya ilusi. Suasana malam berubah perlahan, seperti ada sesuatu yang menyelinap di antara kabut tipis yang mulai menyelimuti lembah. Ada hawa dingin yang ganjil, menusuk kulit meski angin tak lagi berembus kencang.
Di kejauhan, terdengar suara samar-samar—seperti bisikan, atau mungkin tangisan—yang menggema di balik hutan. Bunyi hewan malam yang biasa terdengar kini sirna, seolah mereka pun memilih untuk menghindari kegelapan yang mulai terasa janggal.
Di setiap sudut desa, jendela-jendela tertutup rapat. Tak ada satu pun penduduk yang berani keluar. Rumah-rumah yang dulu hangat kini terasa seperti penjara, menahan ketakutan yang merayap di hati setiap orang. Bahkan suara langkah kaki di atas tanah berkerikil terasa seperti ancaman, dan setiap bayangan yang bergerak di balik pepohonan disambut dengan ketegangan yang memuncak.
Malam yang dulu membawa kedamaian kini berubah menjadi malam yang penuh teror. Gadis-gadis desa tidur dengan ketakutan, bersembunyi di balik selimut tebal, berharap bisa selamat dari ancaman yang tak kasat mata. Desa yang tadinya begitu damai kini dikepung oleh ketidakpastian dan kengerian yang tak terjelaskan.
Diantara rumah Desa, terdapat sebuah rumah yang tampak tenang. Rumah panggung itu terdiri dari bahan kayu dengan dinding bilik yang menahan udara malam menerjang masuk.
Di rumah ini terdapat seorang Gadis bernama Lisa yang tinggal bersama ke dua orang tuanya. Lisa memiliki paras cantik natural.
Tubuhnya ramping ideal, dengan rambut hitam lurus sepanjang bahu. Matanya lentik, hidungnya mancung, tampak manis terukir hingga lekuk dagunya.
Tapi semua itu justru membuat Lisa khawatir akan kondisinya, hampir setiap malam ia diliputi perasaan waswas akan sebuah teror yang tengah menjadi buah bibir hangat dikalangan warga sekitar.
Akhir-akhir ini banyak anak Gadis yang menceritakan kejadian mengerikan sekaligus memalukan yang mereka alami saat malam tiba. Beberapa Gadis itu menceritakan akan sesosok mahluk hitam kekar yang berhasil merajai tubuh mereka satu per satu.
Lisa, tak henti gelisah, takut akan hal itu menimpa dirinya. Sejak tadi Lisa hanya mengurung diri, bersembunyi dibalik selimutnya dengan penuh ketegangan. Matanya sesekali melirik kesegala arah, ketika telinganya mendengar suara-suara aneh dari arah luar rumah.
Lisa yang mulai merasa hawa takutnya semakin menjadi, lalu memutuskan untuk memanggil ke dua orang tuanya.
Namun, belum sempat ia turun dari tempat tidur, Lisa yang kini terduduk ditepi ranjangnya tiba-tiba berhenti tak bergerak. Nafas Lisa mulai meninggi saat ia mulai merasakan perubahan udara dalam kamarnya.
Bau aneh yang menyengat, santer ia rasakan menusuk indra penciumannya, membuat dirinya semakin berpikir jika kutukan itu kini tiba di kamarnya.
Butiran air mulai membasahi dahinya, melintas turun di sisi mata Lisa yang kini terbuka lebar jatuh dalam kepanikan.
Aku mohon jangan lakukan itu! Jerit Lisa hanya bisa terdengar di dalam hatinya, ia terus memohon agar dirinya dibebaskan dari kutukan ini.
Lisa tak tinggal diam, ia terus meronta, berusaha menggerakan tubuhnya yang kaku tak berdaya, hingga kegelapan mulai menutupi matanya.
Dalam suasana yang hening, ditengah kegelapan, Lisa masih bisa merasakan jika ada sesuatu yang kini berdiri dihadapannya.
Siapapun kamu.. Aku mohon lepaskan aku! Lirih batin Lisa, ketika ia merasakan ada sentuhan halus meraba telinga hingga lehernya. Sentuhan itu terhenti dan lalu kembali terasa membelai bahunya dan turun kebagian punggung Lisa.
Jantungnya mulai berdetak kencang, saat ia tahu sentuhan itu kini sedang berusaha melakukan hal lebih dari itu. Lisa hanya terdiam, dengan rasa penuh ketakutan. Beberapa kali ia mencoba berteriak namun suaranya seakan teredam oleh sebuah kekuatan.
Ia tersentak, menahan nafasnya, saat sebuah belaian halus kembali menjelajahi tubuhnya. Belum habis Lisa menahan semua ini, kini ia kembali merasakan jika lengan itu sedang memisahkan kedua lutut Lisa secara perlahan.
Hampir sekujur tubuhnya berhasil dirajai oleh sesuatu yang tak nampak. Sesekali Lisa menahan nafasnya, lalu menariknya dalam-dalam. Keringat dingin mulai tampak membasahi dahinya, bercampur dengan butiran air mata yang membasahi pipinya.
Rasa itu begitu memilukan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Air matanya seolah menjadi akar utama meliputi perasaan tak berdaya dan lemah.
***
Duggg dugg duggggg.
Ketukan di pintu terdengar memenuhi pagi yang cerah di sebuah desa. Seorang ibu paruh baya berdiri di depan kamar anak gadisnya, mengetuk pintu dengan tergesa-gesa.
"Lisa..." panggilnya dengan suara cemas dari balik pintu, "Sudah siang Nak! Bangun."
Namun, tak ada jawaban. Ketukan ibu itu semakin cepat, semakin gelisah ketika Lisa tak kunjung merespons. Merasa ada yang tak beres, ia segera berlari ke dapur.
"Pak! Lisa Pak!" serunya panik kepada suaminya yang sedang membersihkan peralatan pertanian.
Sang suami, tanpa perlu banyak penjelasan, segera memahami situasi. Bersama istrinya, ia bergegas ke kamar Lisa. Sesampainya di sana, ia langsung mendorong pintu dengan penuh tenaga.
Brruukk!!
Pintu terbuka dengan keras, dan pemandangan di dalam kamar membuat sang ayah tercengang. Pakaian Lisa berserakan di atas ranjang, sementara Lisa terbaring di bawah selimut, wajahnya tampak pucat dan lemas.
"Lisa!" seru sang ayah dengan suara berat, tatapannya dipenuhi amarah dan kecemasan.
Ibu Lisa segera menghampiri anak gadisnya, mencoba membangunkannya dengan lembut. Lisa bergerak perlahan, membuka matanya dengan wajah penuh kelelahan. Sang ibu menoleh lirih ke arah suaminya yang berdiri terpaku, menahan emosi yang memuncak.
"Aku harus bicarakan ini ke Pak Kades!" ucap sang ayah dengan tegas, lalu segera pergi dengan langkah cepat.
Desa yang biasanya damai kini terasa mencekam bagi keluarga Lisa. Masalah besar yang menimpa anak gadis mereka menjadi beban yang menghantui.
Sesampainya di rumah Pak Kades, sang ayah langsung memanggil dengan suara lantang, "Pak Kades!"
Mendengar nada suara yang tinggi, Pak Kades segera keluar dari rumahnya dengan wajah khawatir. "Pak Janjan, Ada apa?" tanyanya.
"Kita harus bertindak! Desa ini makin rusak jika kita diam saja!" sergah sang ayah, penuh kemarahan.
Pak Kades menghela napas panjang, "Kutukan itu lagi?" gumamnya lirih. Ia membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan masuk. "Bicarakan di dalam."
Sudah seminggu penuh rumah Pak Kades kedatangan warga yang melaporkan hal yang sama—anak gadis mereka menjadi korban. Sebagai kepala desa, ia telah berupaya mencari solusi, namun hasilnya nihil. Terakhir, ia meminta penduduk memperketat penjagaan, terutama bagi yang memiliki anak perempuan. Namun, serangan terus terjadi tanpa henti.
"Semua ini karena kesalahan kita," ucap Pak Kades dengan nada putus asa. "Andai kita tetap menjaga tanah leluhur, kutukan ini tak akan datang."
Mendengar itu, wajah sang ayah memucat. Ia ingin melampiaskan amarah, ingin menuntut balas atas apa yang terjadi pada putrinya, tapi ia sadar, hal itu mungkin sia-sia.
Hening sesaat kemudian, seorang pria muda dengan bandan kekar, sorot matanya tajam dan tegas. Muncul dari dalam rumah. "Ini jelas tak bisa lagi kita biarkan," gumamnya, terdengar geram.
"Kita harus menemui Tetua Adat," ucap Pak Kades dengan tegas, merujuk kepada sesepuh desa.
Menjelang siang, Pak Kades bersama beberapa warga menuju rumah seorang Kakek Tua, Datuk Muntikei, yang hampir berusia seratus tahun. Ia dikenal sebagai saksi hidup masa kejayaan desa dan masih setia memegang tradisi leluhur.
Pak Dehen, kepala desa, dan Pak Janjan, ayah Lisa, melangkah pelan menuju rumah tua yang tampak usang di ujung Desa Mola-Mola. Suasana terasa berat, dan duka menyelimuti wajah Pak Janjan yang masih terpukul oleh nasib putrinya. Pak Dehen menahan napas, berusaha tetap tenang di tengah kekalutan ini. Mereka berharap bisa menemukan jawaban dari Tetua Adat, orang yang dianggap paling tahu sejarah dan Adat leluhur desa.
Setibanya di depan pintu, sebelum mereka sempat mengetuk, Djaya, anak lelaki Tetua Adat, muncul dari dalam rumah dengan tatapan tajam. Raut wajahnya tak ramah, dan sinis saat menyapa.
"Ada urusan apa kalian ke sini?" tanya Djaya, nada suaranya dingin.
Pak Dehen mencoba menjawab dengan sopan, "Kami ingin bertemu dengan ayahmu, Tetua Adat. Ada hal penting yang perlu kami bicarakan, terkait kutukan yang menimpa desa."
Djaya menghela napas panjang, menatap mereka dengan tatapan penuh dendam yang samar. "Oh, soal kutukan itu, ya? Silakan masuk." Ia membuka pintu lebar-lebar, meski ekspresi wajahnya tetap tak bersahabat. Seolah ada sesuatu yang ia simpan dalam hati, dendam yang terpendam.
Pak Dehen dan Pak Janjan memasuki rumah itu dengan sedikit keraguan. Mereka berjalan melewati ruang tamu yang terasa suram dan sepi, menuju ruangan di mana Datuk Muntikei, sang Tetua Desa, duduk di kursi kayu tuanya. Tubuhnya terlihat rapuh, namun mata tuanya masih menyimpan kebijaksanaan yang terpendam.
Pak Dehen memulai dengan hati-hati, "Ketua, kami datang untuk mencari jawaban. Kutukan yang menimpa desa semakin parah. Banyak anak muda, seperti putri Pak Janjan, Lisa, yang menjadi korban. Kami membutuhkan bantuanmu."
Namun, tak ada respons yang menggembirakan dari Petua Adat itu. Ia hanya menatap lurus ke depan, wajahnya kaku, sebelum akhirnya ia berkata dengan nada dingin, "Kutukan ini adalah akibat dari kesalahan kalian sendiri. Kalian semua telah membuat leluhur murka. Kalian lupa pada adat, kalian lupa pada kewajiban kalian kepada arwah leluhur."
Pak Janjan yang sudah tak mampu menahan emosinya segera meledak. "Apa maksudmu menyalahkan kami, Tetua? Kami datang ke sini untuk meminta bantuan, bukan untuk mendengar tuduhan!" Suaranya menggema di ruangan kecil itu, amarahnya meluap.
Pak Dehen segera meraih lengan Pak Janjan, mencoba menenangkan temannya. "Tenang, Janjan. Kita di sini mencari solusi, bukan memperparah keadaan."
Datuk Muntikei tetap tak bergeming. "Jalan keluar? Satu-satunya jalan keluar adalah kalian kembali pada adat. Hanya itu. Kalau tidak, kutukan ini akan terus berlanjut."
Pak Dehen menyadari bahwa tak ada jawaban yang memuaskan dari Ketua Adat. Ia tahu percakapan ini tak akan membuahkan hasil. "Terima kasih atas waktumu, Tetua. Kami akan mencoba yang terbaik untuk desa."
Pak Dehen dan Pak Janjan kemudian beranjak pergi, meninggalkan ruangan dengan perasaan tak menentu. Di pintu, Djaya menatap mereka lagi, kali ini dengan senyum sinis yang semakin menegaskan jarak antara mereka. "Semoga berhasil," katanya sambil menutup pintu dengan keras.
Di luar, angin siang terasa lebih dingin dari biasanya. Pak Janjan menghela napas panjang, sementara Pak Dehen menepuk bahunya. "Kita akan temukan jalan keluar, Janjan. Kita harus tetap kuat."
Mereka berdua berjalan pulang, dengan hati yang berat dan pikiran penuh tanya. Desa yang semula tenang dan damai, kini terasa mencekam saat malam datang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Delita bae
salam kenal jika berkenan mampir juga👋👍🙏
2024-11-15
0
Muslimah 123
1😇
2024-11-17
0