"Sepuluh juta untuk satu bulan," Seorang wanita cantik menyodorkan uang dua gepok didepan seorang wanita lain.
Wanita yang diberi menelan ludah dengan susah payah, melihat dua tumpuk uang yang ada didepan mata.
"Jika kamu bekerja dengan baik, saya akan tambahkan bonus," Kata wanita kaya itu lagi.
"B-bonus," Sasmita sudah membayangkan berapa banyak uang yang akan dia terima, dengan begitu Sasmita bisa memperbaiki ekonomi hidupnya
"Baik, saya bersedia menjadi pelayan suami anda,"
Yang dipikir pekerjaan pelayan sangatlah mudah dengan gaji yang besar, Sasmita yang memang pekerja rumah tangga bisa membayangkan apa saja yang akan dia kerjakan.
Namun siapa sangka pekerjaan yang dia pikir mudah justru membuatnya seperti di ambang kematian, Sasmita harus menghadapi pria yang temperamental dan tidak punya hati atau belas kasihan.
Bagaimana Sasmita akan bertahan setelah menandatangani perjanjian, jika tidak sanggup maka dirinya harus mengembalikan dua kali lipat uang yang sudah dia terima
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita penolong
"Sial!!"
Valen memukul kemudi setirnya setelah berhasil melarikan diri.
Saat keduanya sampai di markas tengah hutan, tak lama tempat itu kedatangan banyak polisi, Valen yang tidak ingin tertangkap pun melarikan diri bersama Briana, beruntung mereka masih sempat menjangkau mobilnya, kalau tidak pasti mereka akan kesulitan.
"Valen kenapa semua jadi begini." suara Briana bergetar, rasa takut menyeruak dalam dirinya.
"Semua pasti gara-gara Riko sialan!" Maki Valen dengan suara berapi-api.
Berulang kali kepada Briana menoleh kebelakang, memastikan jika mereka berhasil lolos dari polisi. Dan Briana sedikit lega tidak ada mobil yang mengikuti mereka.
"Tapi bagaimana bisa, Riko cacat dan setiap hari berada dirumah." terang Briana yang tak percaya jika semua adalah rencana Riko.
"Orang diam bukan berarti bodoh! Brian!" Ucap Valen kesal.
Jika seperti ini mereka sudah tidak aman, mau tidak mau harus bersembunyi ketempat yang aman, kejahatan mereka sudah tercium polisi.
Briana terdiam kaku, dia lupa siapa Riko dan bagaimana pria itu memiliki kuasa.
"Untuk sementara kita harus bersembunyi, dan mengatur rencana."
*
*
Riko berdiri didepan pintu yang tertutup, terdapat celah kaca untuk melihat kondisi didalam. Disana ayahnya sedang terbaring lemah dan memiliki banyak alat bantu di tubuhnya. Riko menghembuskan napas kasar, tak di sangka selama ini bukan hanya dirinya yang menderita tapi ayahnya juga.
"Kalian harus mendapatkan hukuman yang setimpal." Gumamnya dengan gigi gemelutuk menahan amarah.
Drt...Drt...Drt...
Ponselnya kembali berdering, Riko menjauh dari pintu dan duduk dikursi tunggu.
"Apa yang kau dapatkan!"
"Nyonya Mayang, datang ke taman, saya mendapatkan rekaman cctv di jalan area taman, tapi-" Diko menghentikan ucapanya dengan menarik napas dalam. "Tapi nyonya Mayang mengalami insiden kecelakaan, dan membuat nyonya Mayang banyak dihakimi masa." Diko mendengar umpatan dari seberang sana, dan kembali bicara.
"Dan menurut pedagang yang mangkal di sini, Nyonya Mayang di bebaskan setelah ada wanita yang membayar ganti rugi, dan wanita itu membawa nyonya Mayang kerumah sakit."
"Siapa wanita itu!" Ucap Riko tak sabaran.
Mendengar nama seorang wanita disebut membuat tubuh Riko menegang.
"Tapi maaf Tuan saya belum bisa melacak rumah sakit mana-"
"Tidak perlu! saya sudah menemukannya!"
Tut
Riko mematikan sambungan ponselnya serpihak, dan bergegas pergi menuju pusat informasi.
"Kalau dia yang menolong Mama, kenapa tadi diam saja," Kesal Riko tentang Sasmita yang tak memberi tahu keadaan Mamanya.
"Bodoh!" umpat Riko tertuju pada Sasmita.
Ya, Riko menganggap Sasmita adalah wanita bodoh yang dia temui, tak heran jika wanita itu selalu kalah mengalah dengan keadaan rumah tangganya.
Eh..kok? Kok bisa Riko berkomentar rumah tangga Sasmita? Hm ada apa ini????
"Sus, di mana ruangan atas nama ibu Mayang?" Tanya Riko pada resepsionis.
"Sebentar Tuan." Suster itupun mengetikkan nama yang disebut di layar komputer.
"Ibu Mayang Larasati, berada di ruangan Mawar nomor 5 lantai 2, Tuan."
"Baik terima kasih!"
Riko pun bergegas masuk ke pintu lift menuju lantai dua, karena dirinya berada di lantai satu.
Tak menunggu lama lift sampai dilantai yang di tunjukkan, Riko mencari nomor ruangan ibunya, dah hanya beberapa meter dari pintu lift dia sudah menemukannya.
Memang bukan kelas VIP, tapi mengingat Ibunya tak membawa apapun saat pergi Riko yakin jika yang membiayai perawatan ibunya adalah Sasmita.
Ceklek
Suara pintu terbuka membuat Sasmita seketika duduk dari ranjang sebelah yang kosong, entah kenapa matanya tidak mau terpejam padahal hari larut malam.
"T-tuan Riko." Gumam Sasmita dengan terkejut.
Tentu saja terkejut, karena melihat sosok pria tinggi yang tadi dia temui berada di ruangan yang sama.
"T-tuan saya bisa jelaskan," Ucap Sasmita dengan gugup.
Dia tahu jika posisinya juga salah karena tak memberi tahu keadaan nyonya Mayang, tapi Sasmita menghargai permintaan nyonya Mayang, dan dirinya juga sudah berjanji tidak akan memberi tahu kepadanya pada keluarga.
Mata Riko menajam membuat Sasmita langsung menunduk takut, sehingga tak ada yang melihat saat Riko menarik sudut bibirnya tipis.
Riko mendekati ranjang ibunya yang sedang terlelap, ada perban di kening dan siku, bahkan kakinya juga terdapat perban gulung Elastic bandage.
"Apa kakinya parah?" Tanya Riko dengan posisi membelakangi Sasmita yang duduk disisi ranjang pasien dengan kaki menggantung.
Sejak tadi kepalanya yang menunduk kini mendongak, Sasmita menjawab.
"Kata dokter hanya keseleo," Cicitnya dengan suara pelan.
Riko menghembuskan napas dalam, lalu berbalik menatap Sasmita yang kembali menunduk saat ditatap.
Jarak keduanya memang cukup jauh, tapi aura dari tatapan Riko membuat sekujur tubuh Sasmita meremang.
"N-nyonya yang tidak mau-"
Kruk...kruk..
Sasmita meremat perutnya yang berbunyi, matanya terpejam menahan rasa malu didepan Riko.
'Kenapa pakai bunyi sih, bikin malu.' Kakinya pada diri sendiri.
Riko mengulum senyum sambil membuang pandangannya, lalu berdehem untuk menetralkan rasa ingin tertawanya.
"Kita bicara diluar." Ajaknya sambil melangkah keluar labih dulu.
"Tapi nyonya?" Tanya Sasmita yang merasa enggan meninggalkan Mayang sendirian.
"Suster yang akan menjaga Mama."
Sasmita melirik Mayang yang terlelap, dan memilih mengikuti kemana pria tinggi itu berjalan.
"Mau kemana Tuan?" Cicitnya saat Riko masuk kedalam lift.
Sasmita belum masuk, karena dirinya merasa sedikit takut.
"Memberi makan cacing!"
Mendengar ucapan Riko Sasmita mengigit bibirnya menahan malu, kepalanya menunduk dengan wajah yang mulai terasa hangat.
Keduanya berada didalam lift yang sama, tidak ada obrolan, Sasmita memilih diam berdiri dibelakang Riko yang berdiri tegak dengan kedua tangannya yang dimasukkan kedalam saku celana.
'Kenapa wangi parfumnya selalu membuat otakku pudar,' Batin Sasmita saat mencium aroma maskulin dari tubuh pria yang berdiri dibawahnya.
Diam-diam Sasmita memukul kepalanya sendiri pelan, dan hal itu membuat Riko mengerutkan keningnya saat melihat dari pantulan pintu besi didepanya.
"Pantas saja kau bodoh! Otakmu pasti sudah geser karena kau pukuli terus."
Sasmita menghentikan gerakkannya dan matanya membulat sempurna mendengar ucapan Riko.
"Anda mengatai-"
Ting
Belum selesai Sasmita protes pintu lift sudah terbuka, membuat Riko lebih dulu melenggang pergi meninggalkan Sasmita yang kesal sambil meremas kedua tangannya di udara.
"Dia itu memang titisan cabe." Kesalnya sambil komat kamit merutuki Riko yang berjalan santai didepanya.
"Tidak perlu membatin! Katakan saja apa yang sedang kamu pikirkan tentang ku!"
Glek
Sasmita menelan ludah, 'Apa dia cenayang?' Batinnya lagi.
Riko membawa Sasmita ke kantin rumah sakit, tidak ramai karena waktu sudah malam dan hanya ada beberapa orang saja.
"Pesanlah makan, aku tidak ingin mendapat masalah jika kau jatuh sakit karena menolong ibuku." Ucapnya dengan datar.
Sasmita mengangguk, nada bicara Riko sudah biasa seperti itu, namun semakin lama sepertinya dia tidak terbiasa dengan tatapan sepasang mata elang itu.
'Kenapa dia semakin menakutkan, jika dulu aku berani karena dia duduk di kursi roda, tapi sekarang sepertinya aku harus mulai hati-hati.'