Hampir empat tahun menjalani rumah tangga bahagia bersama Rasya Antonio, membuat Akina merasa dunianya sempurna. Ditambah lagi, pernikahan mereka langsung dianugerahi putri kembar yang sangat cantik sekaligus menggemaskan.
Namun, fakta bahwa dirinya justru merupakan istri kedua dari Rasya, menjadi awal mula kewarasan Akina mengalami guncangan. Ternyata Akina sengaja dijadikan istri pancingan, agar Irene—istri pertama Rasya dan selama ini Akina ketahui sebagai kakak kesayangan Rasya, hamil.
Sempat berpikir itu menjadi luka terdalamnya, nyatanya kehamilan Irene membuat Rasya berubah total kepada Akina dan putri kembar mereka. Rasya bahkan tetap menceraikan Akina, meski Akina tengah berbadan dua. Hal tersebut Rasya lakukan karena Irene selalu sedih di setiap Irene ingat ada Akina dan anak-anaknya, dalam rumah tangga mereka.
Seolah Tuhan mengutuk perbuatan Rasya dan Irene, keduanya mengalami kecelakaan lalu lintas ketika Irene hamil besar. Anak yang Irene lahirkan cacat, sementara rahim Irene juga harus diangkat. Di saat itu juga akhirnya Rasya merasakan apa itu penyesalan. Rasya kembali menginginkan istri dan anak-anak yang telah ia buang.
Masalahnya, benarkah semudah itu membuat mereka mau menerima Rasya? Karena Rasya bahkan memilih menutup mata, ketika si kembar nyaris meregang nyawa, dan sangat membutuhkan darah Rasya. Bagaimana jika Akina dan anak-anaknya justru sudah menemukan pengganti Rasya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Penyesalan Rasya
Orang tua Irene maupun Rasya, menerobos masuk. Keempatnya mencari-cari di sana. Namun, mereka tak menemukan bayi lain. Hanya ada Irene yang sudah tak sadarkan diri. Irene yang keadaannya sangat mengenaskan.
“Bayi itu pasti bukan cucu kami!” tegas orang tua Rasya maupun orang tua Irene, silih berganti. Keempatnya begitu yakin, dan malah benar-benar akan menuntut pihak rumah sakit.
Tim dokter dan juga perawat, dibuat gondok atas sikap orang tua Irene maupun orang tua Rasya. Tanpa mau mengakui bayi perempuan yang telah mereka ambil dari rahim Irene, keempatnya bubar kembali keluar. Orang tua Rasya segera menemui Rasya. Ibu Ismi khususnya yang sampai memaksa Rasya untuk segera tahu ke depan ruang operasi.
Bertepatan dengan itu, Rasya pun sebenarnya baru selesai istirahat setelah darahnya diambil untuk Irene. Layaknya pendonor lain, Rasya juga merasa lelah, letih berlebihan, dan pandangan pun kunang-kunang. Akan tetapi karena kabar gawat darurat yang Rasya dapat, pria itu berusaha tak merasakan luka-lukanya. Ditambah lagi, sekadar ingat keadaan Irene saja, Rasya sudah amat sangat merasa ngeri. Rasya ketakutan, meski pada kenyataannya, Rasya hanya diam.
“Bayi perempuan cacat itu enggak mungkin anak kamu! Ini pasti malpraktek. Mama, kita harus menuntut pihak rumah sakit. Bisa-bisanya mereka begini ke kita!” ibu Ismi terus berisik.
Rasya yang menyimaknya sampai meminta sang mama untuk diam. “Apa yang Mama ceritakan itu enggak jelas. Diam, malu ke orang!” ucap Rasya yang sekadar darah di tubuh bahkan wajahnya saja, belum sempat dibersihkan. Termasuk luka-lukanya, Rasya membiarkannya. Karena sekadar niat mengobatinya saja, Rasya tak memilikinya.
Sebenarnya, sedikit banyaknya Rasya sudah curiga. Bahwa pasti ada yang tidak beres dengan anak pertamanya dan Irene. Masalahnya selama ini, meski sudah beberapa kali menjalani USG, Irene amat sangat serba rahasia. Namun karena Rasya menganggap itu memang sengaja Irene lakukan agar lebih spesial, bagi Rasya sah sah saja. Andai pun yang Irene lahirkan bukan laki-laki, Rasya tidak akan mempermasalahkannya. Meski sampai sekarang, Rasya memang masih menyesalkan janin laki-lakinya dan Akina.
Berbeda dengan orang tuanya, Rasya justru jauh lebih bisa menerima sang putri. Apalagi setelah Rasya tatap secara saksama, wajah bayi berkepala sangat besar karena kelainan hidrosefalus itu, sangat mirip Irene. Bibir sang bayi yang sumbing juga sebenarnya mirip bibir Rasya. Dan Rasya tidak bisa untuk tidak menangisi putrinya. Putri yang telah menjadi korban keegoisan Irene. Karena andai Irene jujur dari awal, dengan uang yang mereka miliki, mereka bisa sama-sama ikhtiar. Jika keadaannya sudah seperti sekarang, siapa yang dirugikan? Siapa yang harus merasakan kesakitan? Tentu bayi perempuan mereka yang tak berdosa, yang kehadirannya langsung ditolak oleh para oma dan opanya!
“Irene, ... kamu egois banget! Sumpah demi apa pun, aku beneran kecewa banget buat kamu! Apa karena keegoisan kamu ini juga, Allah marah dan balas kamu dengan banyak kesakitan!” batin Rasya sembari memejamkan erat kedua matanya. Tubuhnya gemetaran akibat amarah yang ia tahan. Ia mengecup lama pipi putrinya yang sekadar menangis hanya bisa melakukannya dengan suara sangat lirih.
“Astaga ...,” batin Rasya dan lagi-lagi berlinang air mata. Hatinya kembali hancur dan terus begitu di setiap ia melihat keadaan putrinya dari Irene, khususnya kedua matanya.
Bukti rekap medis Irene sudah dibawakan oleh seorang perawat. Semua salinan bukti rekap medis, mereka berikan ke Rasya. Kebetulan, Rasya baru memberikan bayinya kepada sang dokter untuk ditaruh ke ruang khusus.
“Selain keadaan baby, keadaan ibu Irene juga harus ditindaklanjuti, Pak Rasya!” tegas dokter dan penjelasan darinya tentang keadaan Irene, langsung membuat Rasya seperti disambar petir di siang bolong.
Untuk beberapa saat, dunia seorang Rasya seolah runtuh, kiamat. “Rahim Irene sampai harus diangkat?” batin Rasya benar-benar kaget. Tubuhnya mendadak sempoyongan seiring nyawanya yang dicabut secara paksa.
Tiba-tiba saja, sumpah serapah dari Akina dan pihaknya, terputar di ingatan Rasya. Semua sumpah serapah penuh emosional sekaligus air mata.
“Astaghfirullah ....” Rasya mengusap wajahnya menggunakan kedua tangan.
“Bagaimana Pak Rasya? Sebagai suami dari ibu Irene,” ucap sang dokter dan memang dokter yang berbeda dari sebelumnya. Ia seorang pria paruh baya bertubuh segar.
“Lakukan yang terbaik, Dok! Tolong selamatkan istri saya. Karena andai tidak diangkat pun, rahim istri saya sudah tidak berfungsi dan hanya akan menyakiti istri saya, kan?” ucap Rasya tanpa bisa menahan tangis apalagi kesedihannya.
Di sebelah kanan Rasya, orang tua Rasya maupun orang tua Irene, juga jadi menangis. Keempatnya diselimuti kesedihan dan menjadi tersedu-sedu. Namun, meski tahu yang sepenuhnya salah itu Irene, keempatnya tetap tidak bisa menerima bayi perempuan yang Irene lahirkan. Padahal jelas, bayi itu tidak bersalah. Bayi itu korban keegoisan Irene.
Operasi pengangkatan rahim yang akan Irene jalani, sudah langsung dipersiapkan. Rasya terduduk lemas di lantai depan ruang operasi. Tatapannya kosong, sementara kedua tangannya perlahan mendekap kedua lututnya. Rasya jadi ingat terus ke keluarga kecilnya dan Akina. Keluarga kecil yang selalu dipenuhi keceriaan sekaligus kebahagiaan. Padahal, kehidupan yang mereka jalani, sangat sederhana. Benar-benar jauh dari kemewahan.
“Aku harus minta maaf ke mereka,” pikir Rasya yang yakin, maaf dari Akina sekeluarga menjadi alasan utama dirinya dan Irene diringankan balasannya.
Keadaan Rasya yang tampak sangat terpukul, membuat kedua orang tua Irene apalagi orang tua Rasya, merasa sangat kasihan. Keempatnya membiarkan Rasya pergi, meski kali ini, Rasya melakukannya tanpa pamit.
Di ruang rawat si kembar dan sudah pindah ke ruang rawat Akina, Aqilla dan Asyilla masih bertahan dengan Oum pilihan masing-masing. Aqilla dengan Zeedev, Asyilla dengan Yusuf. Kepada Zeedev, orang tua Akina khususnya ibu Nina, oke-oke saja. Karena dari dulu saja, ibu Nina sangat setuju andai Zeedev dijodohkan dengan Akina. Masalahnya ini si Yusuf yang pernah melukai Alina sangat dalam. Yusuf sempat menuduh Alina mandul, kemudian poligami dan berakhir menceraikan Alina.
Memang, Yusuf dan Alina hanya masa lalu. Malahan lepas dari Yusuf, Alina langsung menemukan kebahagiaannya bersama Dharen. Yusuf bahkan menerima karmanya. Hanya saja, hati mama mana yang tidak kembali sakit jika ingat semua itu. Ibu Nina sungguh belum bisa jadi wanita baik yang mengikhlaskan semua luka anak-anaknya. Jika ibu Nina yang merasakan lukanya secara langsung, ibu Nina bisa-bisa saja. Namun ini, anak perempuannya yang disakiti, dan fatalnya, luka tak kalah menyakitkan juga sampai Akina rasakan.
“Ikhlas ... dia sudah berubah. Tanpa darahnya, cucu kita mungkin sudah enggak ada,” bisik pak Akala sambil mengusap-usap punggung sang istri yang ia pergoki menatap tajam Yusuf penuh kebencian.
Ibu Nina yang tengah menjaga Akina, refleks menatap sang suami sambil menahan tangis. Bibirnya gemetaran, dan tangan kirinya yang tidak menggenggam tangan kanan Akina, menggunakan ujung hijabnya untuk menyeka air mata.
“Sayang, ...,” lirih ibu Nina tak kuasa melanjutkan ucapannya. Ia yang duduk di sofa tunggal, menengadah hanya untuk menatap sang suami yang berdiri di hadapannya.
Di ruang rawat inap kebersamaan mereka dan terbilang luas, ranjang rawat si kembar, ada di di kanan kiri ranjang rawat Akina. Namun berbeda dengan sang mama yang tertidur lelap setelah mendapat cairan suntikan di infusnya, si kembar masih sibuk mengajak Oum pilihan mereka main. Zeedev memangku Aqilla sambil memegang ponselnya yang memutar video anak-anak. Sementara Yusuf memasangkan lego dan menyusunnya menjadi hati.
Ibu Nina dan pak Akala menyaksikan semua itu. Dalam diamnya, Zeedev yang deg-degan berpikir, mumpung ada orang tua Akina, sebelum keduluan yang lain apalagi pak duda Ucup, Zeedev harus gercep.
“Iya ... aku mau langsung izin ke orang tua Akina!” batin Zeedev yang langsung terusik oleh adanya ketukan pintu dari depan. Harusnya bukan rombongan dari kampung karena mereka sepakat akan ke rumah Alina. Namun ternyata, yang datang justru Rasya.
🌟🌟🌟
Retensi ini masih bisa berubah sampai lusa. Moga selalu kompak. Berasa kembali ke zaman papa Helios. Retensinya seger-seger ❤️ Bismillah, aku bikin yang sat set biar enggak bosen 🙏