cerita sampingan "Beginning and End", cerita dimulai dengan Kei dan Reina, pasangan berusia 19 tahun, yang menghabiskan waktu bersama di taman Grenery. Taman ini dipenuhi dengan pepohonan hijau dan bunga-bunga berwarna cerah, menciptakan suasana yang tenang namun penuh harapan. Momen ini sangat berarti bagi Kei, karena Reina baru saja menerima kabar bahwa dia akan pindah ke Osaka, jauh dari tempat mereka tinggal.
Saat mereka duduk di bangku taman, menikmati keindahan alam dan mengingat kenangan-kenangan indah yang telah mereka bagi, suasana tiba-tiba berubah. Pandangan mereka menjadi gelap, dan mereka dikelilingi oleh cahaya misterius berwarna ungu dan emas. Cahaya ini tampak hidup dan berbicara, membawa pesan yang tidak hanya akan mengubah hidup Kei dan Reina, tetapi juga menguji ikatan persahabatan mereka.
Pesan dari cahaya tersebut mungkin berkisar pada tema perubahan, perpisahan, dan harapan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 : Chang'an.
Mentari pagi menyinari lembah yang dipagari pegunungan tinggi. Embun pagi masih menempel di rerumputan hijau di pinggir jalan setapak yang berdebu. Kei, Reina, Hanna, Kenzi, Lu Bu, Lu Lingqi, Zhang Liao, dan Chen Gong keluar dari rumah kayu sederhana, meninggalkan jejak langkah mereka di tanah yang masih lembap. Udara pagi yang segar terasa menenangkan, namun beban misi mereka terasa berat. Tujuan mereka: Chang'an, untuk menyelamatkan Diao Chan dari cengkeraman Dong Zhuo. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga liar yang harum. Suasana pagi yang cerah menambah keceriaan dalam hati mereka, meskipun misi yang dihadapi berat.
Reina, dengan wajah khawatir, bertanya, "Kei… kamu sudah benar-benar pulih?" Matanya yang indah memancarkan kekhawatiran. Namun, senyumnya yang khas tetap terlihat.
Kei mengangguk singkat, tatapannya dingin namun sedikit senyum tipis terlihat di bibirnya. "Udah... ayok naik ke kuda ku... " katanya datar, suaranya sedikit lebih lembut daripada biasanya. Ia menyembunyikan kekhawatirannya di balik sikap dinginnya, namun tetap berusaha bersikap ceria.
Reina menaiki Dark Demon Horse, kuda hitam legam milik Kei. Kuda itu tampak gagah, bulu hitamnya berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Reina tertawa riang, "Horee! Petualangan dimulai!"
Kenzi, dengan langkah lebar dan percaya diri, menghampiri kudanya— seekor kuda merah gelap dengan bulu yang berkilauan seperti api. Ia menatap Hanna dengan tatapan yang berbeda dari biasanya, lebih lembut. "Baik lah... sayang... naik lah dan pergi bersamaku... " suaranya, meskipun masih lantang, terdengar lebih lembut, dengan sedikit getaran yang menunjukkan rasa perhatian. Ia membantu Hanna naik ke kuda, dengan hati-hati membantunya menaiki kuda tersebut dan membiarkan Hanna duduk di boncengan di belakangnya. Sentuhan tangannya membuat pipi Hanna memerah, namun Hanna membalas dengan senyum ceria.
Perjalanan dimulai. Kei dan Reina memimpin, diikuti Kenzi dan Hanna. Pemandangan Chang'an dari kejauhan mulai terlihat, menampakkan tembok-tembok tinggi dan menara-menara yang kokoh. Namun, di balik keindahan itu, terbayang suasana kota yang mencekam. Sekawanan burung camar terbang di atas mereka, seolah-olah mengiringi perjalanan mereka. Reina berseru riang melihat burung camar itu, "Lihat! Burung camarnya!"
Di tengah perjalanan, dengan Hanna di boncengan, Kenzi diam-diam mendekatkan kudanya ke kuda Kei dan Reina. Ia melirik Hanna, yang sedang memperhatikan pemandangan. Dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, ia berkata, "Pemandangannya indah, ya?"
Hanna tersenyum, "Ya, sangat indah! Seperti lukisan!" Ia merasa jantungnya berdebar sedikit lebih cepat, terutama karena kedekatannya dengan Kenzi, namun tetap berusaha bersikap ceria.
Kenzi melanjutkan, suaranya sedikit serak, "Kau juga indah, Hanna." Ia menatap Hanna dengan tatapan penuh kasih sayang. Hanna yang merasa nyaman di boncengan Kenzi, merasa pipinya memerah, tetapi ia membalas dengan senyum ceria.
Hanna terkejut, pipinya memerah lebih dalam. Ia tersenyum malu-malu, "Terima kasih, Kenzi. Kamu juga ganteng!"
Kenzi tersenyum kecil, "Aku senang kau ada di sini bersamaku." Ia meletakkan tangannya dengan lembut di pinggang Hanna, menjaga keseimbangan Hanna dan juga sebagai tanda kasih sayang. Sentuhan itu membuat Hanna merasa aman dan nyaman, dan membuat jantungnya berdebar lebih kencang, namun ia tetap berusaha bersikap ceria.
"Hei, Reina… kamu sangat cantik sekali memakai baju perang itu... " puji Hanna, matanya berbinar kagum. Pakaian perang Reina, dengan detail yang rumit, terlihat begitu anggun.
Reina tertawa kecil, suaranya riang. "Mwehehe... terimakasih yaa.. kamu juga sangat anggun mengenakan pakaian perang itu, dan lihat... ada ukiran burung phoenix di paju perang mu... " Ia merasa senang dipuji, dan menambahkan, "Kita terlihat seperti pasukan elit, ya?"
Suasana berubah ketika Reina mulai menjahili Kenzi. "Hei merah... kamu tak seram sedikit pun... ayok lebih seram lagi! " ejek Reina, suaranya penuh dengan canda. Ia sengaja memancing Kenzi, sambil tertawa lepas.
Alis Kenzi terangkat. "Haa?... tak seram kata mu? " suaranya berat, menunjukkan ketidaksukaannya. Ia merasa tersinggung, tetapi Hanna yang merasakan sentuhan Kenzi di pinggangnya, tersenyum geli melihat pertengkaran kecil itu, sambil menambahkan, "Iya nih, Kenzi kurang garang!"
Kei, yang selalu tenang, menyela. "Reina... sudah... ga di dunia ini maupun di dunia kita yang sebenarnya, kamu sering menjahili Kenzi... " Suaranya datar, namun terdengar sedikit kelelahan. Namun, ia juga ikut tersenyum melihat keceriaan Reina dan Hanna.
"Asik loh... melihat ekspresi marah nya... " Reina tertawa lepas, mengejek Kenzi lagi. Ia tampak menikmati reaksi Kenzi. Kei menghela nafas pelan, namun tetap tersenyum.
"Hei, Kulkas… pacar mu itu sangat baik ya... " kata Kenzi kepada Kei, suaranya penuh ancaman terselubung. Ia berusaha untuk menahan amarahnya, namun tetap terlihat ceria.
Lu Bu, mengamati interaksi mereka, berbicara kepada Lu Lingqi. "Nak... seperti nya mereka sangat asik... apakah kamu berniaga mendekati nya. " suaranya berat namun lembut. Ia menunjukkan kepedulian pada putrinya, sambil tersenyum melihat keceriaan mereka.
"Yaa... niat sih... mereka itu sangat asik di ajak berbicara, apalagi Reina dengan Hanna... " jawab Lu Lingqi, suaranya tegas namun lembut. Ia menunjukkan ketertarikannya, namun tetap menjaga sikap tegasnya, sambil tersenyum tipis.
Sepanjang perjalanan selanjutnya, Kenzi sesekali melirik Hanna, menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya. Hanna pun sesekali membalas tatapan Kenzi, dengan senyum yang menunjukkan kebahagiaannya. Interaksi mereka yang manis memberikan sedikit keceriaan di tengah perjalanan yang menegangkan. Hanna merasa aman dan nyaman di boncengan Kenzi, dan keceriaan mereka berdua menambah keceriaan suasana perjalanan.
Matahari hampir tenggelam, langit Chang'an dipenuhi warna jingga dan merah tua, namun suasana kota tetap suram. Debu beterbangan di udara, bercampur dengan aroma anyir darah dan asap yang masih mengepul dari beberapa bangunan yang terbakar. Kei dan rombongan memasuki kota yang lengang, hanya diiringi suara derap kaki kuda mereka. Keheningan yang mencekam ini jauh berbeda dari suasana riang di perjalanan mereka. Kei merasakan beban tanggung jawab yang berat, namun ia tetap tenang, menjaga ketenangannya untuk Reina.
Mereka sampai di sebuah persimpangan jalan yang tampak lebih rusak dari yang lain. Seorang wanita tua, yang tampak kurus dan lemah, duduk di pinggir jalan, wajahnya pucat pasi dan dipenuhi air mata. Reina, yang selalu peka terhadap penderitaan orang lain, segera turun dari kuda Kei. Kei mengamati Reina dari atas kuda, memperhatikan setiap gerakannya.
Reina mendekati wanita tua itu dengan hati-hati. "Permisi, Bibi… ada apa? Wajah Bibi sangat pucat…" Suaranya lembut, penuh empati.
Wanita tua itu mengangkat kepalanya, matanya sembab dan berkaca-kaca. "Anak-anakku… dicuri oleh Tuan Dong Zhuo… untuk memuaskan nafsu bejatnya…" Suaranya terisak-isak, menunjukkan keputusasaan yang mendalam. "Nak… kau sangat cantik… awas… jangan sampai kau juga dicuri…" Ia memegang pipi Reina dengan tangan gemetar, memperlihatkan kekhawatirannya yang tulus.
Reina merasakan sesak di dadanya. Ia memegang pundak wanita tua itu, mencoba memberikan kekuatan. "Bibi tenang… kami akan menyelamatkan gadis-gadis kota ini dan membunuh Dong Zhuo!" Suaranya tegas, menunjukkan tekadnya yang kuat. Kei memperhatikan ketegasan Reina, sebuah rasa bangga terpancar di matanya.
Mendengar kata-kata Reina, beberapa warga yang bersembunyi di balik rumah-rumah berhamburan keluar. Mereka berlutut di hadapan Reina dan rombongan, memohon pertolongan. "Nona… mohon bantu kami… anak-anak kami…" Suara mereka bercampur menjadi satu, menunjukkan keputusasaan dan harapan yang tercampur aduk.
Reina terharu melihat warga yang sujud di hadapannya. Ia merasa malu, namun juga terdorong oleh rasa tanggung jawab yang besar. "Semuanya… aku mohon… jangan bersujud… ini memang tugasku… untuk menyelamatkan semua warga kecil dari kerajaan yang tidak peduli dengan rakyatnya sendiri…" Suaranya lembut namun tegas, menunjukkan kesungguhannya. Kei diam-diam mengagumi keberanian Reina.
Warga berdiri, mengucapkan terima kasih dengan suara bergetar. "Nona… Anda sangat baik dan murah hati… semoga dewa memberkati Anda…"
Reina tersenyum, mencoba memberikan semangat. "Baiklah… kami akan berangkat dulu untuk menghancurkan si keparat bau besi itu… semuanya jangan khawatir ya, dan teruslah tersenyum…" Ia kembali ke kuda Kei, Kei membantunya naik dengan lembut, tangannya menyentuh tangan Reina sejenak. Kontak singkat itu, penuh makna, hanya mereka berdua yang merasakannya.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju istana Chang'an. Warga yang menyaksikan kepergian mereka bersorak memberikan semangat. Kenzi menyusul dari belakang, Hanna tersenyum bangga kepada Reina. Kei memperhatikan Reina dari samping, mengamati ekspresi wajahnya yang teguh namun sedikit lelah.
Setelah beberapa saat dalam kesunyian, Kei berkata pelan, "Kau luar biasa, Reina." Suaranya datar, namun penuh makna.
Reina melirik Kei, sebuah senyum tipis muncul di bibirnya. "Terima kasih, Kei. Kita harus menyelamatkan mereka semua." Suaranya lembut, menunjukkan rasa syukur dan tekad. Kei mengangguk pelan, mengeratkan genggaman tangannya di tali kekang kuda, sebagai tanda dukungan diam-diam.
Dari belakang, Zhang Liao dan Chen Gong mengamati interaksi mereka. Chen Gong berkomentar, "Keluarga kecil mereka sangat rukun ya…"
Zhang Liao mengangguk, senyum tipis terlihat di wajahnya. "Iya… aku harap… mereka berempat terus bersama untuk menjalankan tugas utusan dari dewa…" Ia menatap Kei, Reina, Hanna, dan Kenzi dengan penuh harapan.