Halwa mencintai Cakar Buana, seorang duda sekaligus prajurit TNI_AD yang ditinggal mati oleh istrinya. Cakar sangat terpukul dan sedih saat kehilangan sang istri.
Halwa berusaha mengejar Cakar Buana, dengan menitip salam lewat ibu maupun adiknya. Cakar muak dengan sikap cari perhatian Halwa, yang dianggapnya mengejar-ngejar dirinya.
Cakar yang masih mencintai almarhumah sang istri yang sama-sama anggota TNI, tidak pernah menganggap Halwa, Halwa tetap dianggapnya perempuan caper dan terlalu percaya diri.
Dua tahun berlalu, rasanya Halwa menyerah. Dia lelah mengejar cinta dan hati sang suami yang dingin. Ketika Halwa tidak lagi memberi perhatian untuknya, Cakar merasa ada yang berbeda.
Apakah yang beda itu?
Yuk kepoin cerita ini hanya di Noveltoon/ Mangatoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Pertengkaran di Ruang Makan
Halwa menyiapkan sarapan kali ini tanpa suara atau kalimat basa-basi seperti biasanya. Ia terbawa perasaan dengan igauan yang diucapkan Cakar subuh tadi. Sampai kini hatinya begitu sakit melebihi sakitnya menerima sikap dingin Cakar yang tiap hari ia suguhkan.
Halwa meletakkan piring yang sudah dituangkan nasi dan lauk di atasnya untuk Cakar tepat di depannya, lalu segelas air bening. Dia segera mengambil kursi untuknya, lalu duduk berhadapan dengan Cakar. Halwa mulai menyuap dengan mata dan tangan fokus pada piring dan mulutnya saja.
Beberapa saat kemudian, Halwa tidak biasanya sudah lebih dulu menghabiskan sarapannya. Tanpa suara dia bangkit dan meninggalkan meja lalu membawa piringnya menuju wastafel.
"Halwa, ada apa denganmu?" sentak Cakar bertanya, sembari menyelesaikan makannya yang hanya tinggal satu suap. Halwa terkejut, tubuhnya tiba-tiba menegang dengan piring yang untungnya masih kuat dalam cengkramannya.
"Berbalik dan tatap aku yang sedang bicara denganmu?" titahnya tegas seakan sedang dalam latihan baris berbaris.
Halwa membalikkan badan pelan, lalu menatap Cakar sendu. "Apa yang terjadi, kenapa wajahmu pagi ini masam seperti itu, tidak ada ramah-ramahnya sama suami? Apakah kamu tidak ikhlas melayani aku suami kamu?" ujarnya menyentak.
"Ti~tidak, Mas. Aku ikhlas melayani kamu?" jawabnya gugup.
"Lalu kenapa? Apa yang terjadi? Biasanya kamu bicara dan basa-basi mempersilahkan aku makan dan ngomong apa saja sesukamu. Tapi kali ini, wajahmu masam tanpa sebab," ungkap Cakar penuh emosi, wajahnya memerah.
"Bukankah ini yang kamu inginkan, Mas? Kamu tidak ingin aku banyak bicara dan basa-basi?" balas Halwa lembut. Antara lembut dan lemah baginya sama saja, sebab selama ini dia belum pernah berbicara lantang dan meninggi di depan Cakar.
"Tapi ini tidak biasanya. Meskipun kamu tidak banyak omong, setidaknya mukamu jangan masam dan ditekuk begitu. Tidak wajar suami sendiri kamu layani masam. Dasar kurang didik," cetusnya yang tanpa disadarinya sangat melukai hati Halwa.
Halwa tersentak dengan ucapan Cakar. Tidak sepantasnya Cakar menghinanya kurang didik. Sebab selama ini kedua orang tuanya, baik ibu maupun almarhum ayahnya, sudah cukup baik mendidik dan mengajarnya. Meskipun secara akademik, Halwa hanya tamatan SMA, tapi ayah dan ibunya sungguh-sungguh sudah memberikan pelajaran hidup yang cukup baik.
Pendidikan tidak hanya didapat dari perguruan atau universitas semata. Sebab pendidikan pertama sudah dia dapatkan dari kedua orang tuanya. Tapi kenapa Cakar tiba-tiba menyinggungnya dan menghinanya kurang didik?
"Maaf, Mas. Walaupun aku bukan tamatan tinggi sampai S1 seperti orang-orang, tapi aku rasa aku tidak kurang didik seperti yang Mas Cakar bilang. Kedua orang tuaku sudah cukup baik mendidik aku. Maka, janganlah Mas Cakar menghina aku kurang didik, sebab pendidikan aku yang hanya SMA lebih berharga dibanding orang yang berpendidikan tinggi tapi tidak menghargai perasaan orang lain," balas Halwa berurai air mata dengan nada suara yang begitu rendah. Halwa cukup kecewa dengan ucapan Cakar tadi.
Cakar sedikit tergugu dengan air mata yang menuruni pipi istrinya itu, dia tidak tahu kalau kata-katanya tadi begitu menyakiti hati Halwa.
"Aku tidak suka sikapmu seperti tadi, bukan maksudku merendahkan pendidikanmu. Itu tidak ada kaitannya dengan pendidikanmu. Jadi, aku harap kamu tidak mengaitkannya." Cakar menimpali dan meralat ucapannya tadi.
Halwa membalikkan badan dan kembali menghadap wastafel. Dia tidak lagi berkata, isaknya kini berusaha dia redakan. Tapi sakit hatinya masih belum hilang akibat ucapan Cakar tadi.
"Halwa, aku belum selesai bicara." Cakar menegur Halwa yang sudah membalikkan badan.
"Halwa," ulangnya lagi kesal lalu berdiri dan meraih lengan Halwa kasar sampai wajah Halwa berhadapan dengan Cakar.
"Jangan abaikan aku, aku tidak suka itu. Dan jangan pernah sok merasa paling dibutuhkan sebab aku tidak akan pernah mencintai kamu. Kamu hanyalah seorang istri yang apabila aku butuhkan maka kamu harus siap. Dan aku tidak suka bantahan dari kamu." Akhirnya Cakar berterus terang, ini sungguh-sungguh menyakiti hati Halwa sampai air matanya kembali tumpah.
"Kalau kamu tidak mencintai aku kenapa kamu tiba-tiba butuh aku dan melampiaskan hasratmu padaku? Kamu sama saja munafik, Mas." Halwa sedikit menegang dia berusaha membela dirinya sendiri.
"Munafik? Bukankah kamu yang lebih munafik dan tidak punya harga diri? Kamu harusnya tahu latar belakang pernikahan kita sampai terjadi itu kenapa? Karena kamu yang terlalu caper dengan menitip-nitip salam lewat orang-orang sampai aku merasa malu. Kamu seperti perempuan yang rela merendahkan harga diri kamu, lewat teman-teman kamu, kamu sampaikan rasa sukamu padaku. Tahu tidak mereka itu hampir setiap hari mencandaiku satu ruangan menyebut-nyebut namamu lalu dipasangkan denganku. Panas kupingku selalu mendengar namamu disebut dan menitip salam melulu," tutur Cakar panjang lebar.
Halwa tersentak. Dia tidak percaya dengan pengakuan Cakar. Kapan dia titip salam buat Cakar lewat teman-temannya? Semua sungguh tidak dipahaminya dan Halwa menampik jika dirinya selalu mengirimkan salam untuk Cakar.
"Apa? Aku menitipkan salam untuk Mas Cakar lewat teman-teman aku? Aku tidak pernah melakukannya. Sumpah demi apapun aku tidak pernah menitipkan salam pada teman-temanku kalau aku menyukaimu," sangkal Halwa sungguh-sungguh sampai wajahnya memerah.
Cakar mencebik tidak percaya. Baginya Halwa hanya sedang membela diri.
"Mana ada maling ngaku, pasti bela diri saking malu," tekan Cakar mengunggah emosi Halwa.
"Sumpah demi Tuhan aku tidak pernah menyampaikan rasa suka aku sama kamu lewat teman-teman aku, Mas. Aku bersumpah, tidak pernah menitip salam itu pada siapapun. Kamu harus percaya itu. Lalu, teman-teman aku yang mana yang kamu maksud?" Halwa menguatkan hati bertanya siapa teman-temannya yang kononnya menyampaikan salam darinya lalu disampaikan pada Cakar.
"Mereka tunangan Ardi dan Rian. Kamu tentu kenal bukan?" tatapnya sembari tersenyum mengejek.
"Rani dan Diva?"
"Namanya aku tidak penting, yang jelas sikap kamu itu sungguh memalukan," tukas Cakar lagi semakin menghenyakkan dada Halwa.
"Aku sungguh-sungguh tidak pernah menitipkan salam lewat mereka atau siapapun satu kalipun. Aku hanya pernah berkata kalau aku menyukai Mas Cakar di depan mereka. Tapi itu suatu kewajaran, karena aku menilai Mas Cakar adalah lelaki yang baik sehingga aku merasa kagum saat itu," ungkap Halwa lirih dengan air mata terus mengalir, lalu berjalan gontai meninggalkan ruang makan.
Hati Halwa sungguh pedih menerima penghinaan Cakar barusan, ia pergi dan mengurung diri di taman belakang lalu menumpahkan tangisnya di sana.
"Halwa hanya menilai aku lelaki yang baik kala itu? Jadi perasaan dia sesungguhnya itu, apa?" Ungkapan Halwa saat menangis tadi, terngiang-ngiang di telinga Cakar.