Raka adalah seorang pemuda biasa yang bermimpi menemukan arti hidup dan cinta sejati. Namun, perjalanan hidupnya berbelok saat ia bertemu dengan sebuah dunia tersembunyi di balik mitos dan legenda di Indonesia. Di sebuah perjalanan ke sebuah desa terpencil di lereng gunung, ia bertemu dengan Amara, perempuan misterius dengan mata yang seakan memiliki segudang rahasia.
Di balik keindahan alam yang memukau, Raka menyadari bahwa dirinya telah terperangkap dalam konflik antara dunia nyata dan kekuatan supranatural yang melingkupi legenda Indonesia—tentang kekuatan harta karun kuno, jimat, serta takhayul yang selama ini dianggap mitos.
Dalam perjalanan ini, Raka harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk rasa cintanya yang tumbuh untuk Amara, sembari berjuang mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik cerita rakyat dan keajaiban yang mengikat mereka berdua. Akan tetapi, tidak semua yang bersembunyi bisa dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ihsan Fadil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Kebenaran atau Ilusi?
Hembusan angin semilir melalui celah-celah pepohonan, menciptakan suara-suara aneh yang terdengar seperti bisikan dari dalam kegelapan. Raka memandangi peta yang ia genggam sambil berjalan dengan langkah pelan, berusaha memahami petunjuk yang mereka temukan. Namun, hatinya tak bisa menghilangkan perasaan gelisah yang terus merayapi dirinya.
Amara berjalan di sampingnya, matanya tertuju pada cahaya senter yang berpendar di rerumputan yang basah. Semenjak peristiwa aneh tadi malam dan cahaya biru yang mereka temui, mereka seolah terjebak dalam perasaan yang sulit dijelaskan. Kebenaran sepertinya semakin menjauh, dan mereka tak tahu harus percaya pada apa.
“Raka,” suara Amara memutuskan keheningan yang semakin menekan ini, “Kau yakin ini bukan sekadar permainan ilusi? Aku mulai berpikir mungkin kita hanya membayangkan semua ini.”
Raka berhenti sejenak, memalingkan pandangannya ke arah Amara. Udaranya terasa lebih dingin di wajahnya, seakan-akan ia bisa merasakan ketakutan yang mulai mengendap di hati mereka.
“Ilusi?” ulangnya sambil mengerutkan kening. “Kau berpikir ini hanya permainan imajinasi kita?”
Amara menggigit bibirnya dan memandang ke arah semak-semak yang berkelebat tertiup angin. “Kita menemukan banyak hal yang aneh akhir-akhir ini. Cahaya itu, suara-suara yang kita dengar… Semuanya terasa seperti permainan yang dimainkan oleh kekuatan yang kita tidak pahami.”
Raka mendengus pelan dan kembali memeriksa jalannya. “Kita tak bisa berpikir seperti itu, Amara. Petunjuk ini nyata, meskipun kita tak bisa menjelaskan bagaimana. Setiap langkah ini membawa kita lebih dekat kepada jawaban, dan aku yakin ada kebenaran di balik semuanya ini.”
Tetapi kata-kata itu terdengar samar di telinganya sendiri. Mereka terus berjalan dengan hati yang berdebar lebih cepat dari sebelumnya, seakan setiap langkah membawa mereka pada misteri yang semakin gelap.
Kegelapan semakin menguat, dan suara-suara yang sebelumnya mereka abaikan kini menjadi semakin dekat. Bahkan langkah mereka sendiri terasa seperti pergerakan yang berulang—sebuah permainan yang mereka tak mampu kendalikan.
“Apakah kita hanya sedang bermain dengan bayangan kita sendiri?” tanya Arjuna dari belakang mereka. Suaranya bergetar seperti berusaha melawan ketakutan yang sama.
Semua berpaling kepadanya.
“Bagaimana maksudmu?” tanya Raka dengan ragu.
“Suara, cahaya, petunjuk… Semuanya bisa saja hanya bisikan dari pikiran kita,” kata Arjuna sambil mengarahkan senter ke semak-semak di sekitarnya. “Apa kita benar-benar melihat hal-hal ini? Atau kita hanya berpikir bahwa kita melihatnya karena ketakutan kita sendiri?”
Raka terdiam, memutar-mutar kata-kata itu di dalam kepalanya. Ada logika dalam perkataan Arjuna, dan ia bisa merasakan bagaimana keraguan itu menggigit dalam hatinya. Selama ini mereka berpegang pada keyakinan bahwa mereka berada di jalur yang benar, bahwa petunjuk ini adalah nyata dan bukan sekadar halusinasi. Namun, sekarang keraguan itu mulai tumbuh seperti benih yang tak bisa mereka cabut.
“Bayangkan jika semua ini hanya ilusi?” kata Amara dengan suara yang lebih pelan. “Kita bisa saja hanya berada dalam mimpi atau permainan yang dikendalikan oleh hal-hal yang tak kita pahami.”
Raka merasakan tubuhnya bergetar mendengar hal itu. Ia menghela napas, mencoba untuk tetap berpikir positif. “Amara, kita harus tetap berpikir rasional. Jika kita mulai mempertanyakan segalanya, kita tak akan pernah sampai pada jawaban. Bahkan jika ini adalah ilusi, kita harus mencari tahu mengapa kita melihatnya.”
Namun, jawaban itu tak memuaskan mereka. Bayangan ketakutan yang sudah lama bersembunyi dalam hati mulai merayapi mereka dengan sangat cepat. Setiap langkah mereka terasa semakin berisiko.
Di tengah kebingungan ini, mereka berhenti di sebuah area yang dipenuhi pepohonan tinggi dan dinding batu yang basah karena embun. Raka mengarahkan senter ke salah satu dinding tersebut dan melihat simbol yang sama dengan yang ia temukan di peta. Simbol itu tersembunyi di balik lumut dan terlihat sangat kuno.
“Kita menemukan ini lagi,” bisiknya sambil mendekati simbol tersebut.
Arjuna mendekati Raka sambil memandangi simbol yang sama. “Kita harus berhati-hati. Ini bisa jadi jawaban, atau justru jebakan yang memanfaatkan ketakutan kita,” ujarnya dengan hati-hati.
Raka mengangguk, meskipun ia sendiri tak yakin dengan apa yang harus mereka percayai. Cahaya dari senter memantulkan simbol tersebut, dan semakin lama simbol itu terlihat semakin hidup. Ada kesan bahwa simbol ini memiliki kekuatan yang tak mereka pahami, seakan-akan ia ingin berbicara kepada mereka melalui aura yang berkilauan samar.
“Apakah ini jawaban kita?” tanya Amara sambil mendekati simbol tersebut dengan hati-hati.
Namun, sebelum mereka bisa memeriksa lebih jauh, angin bertiup lebih kencang, dan semak-semak mulai bergoyang seperti akan mengungkapkan sesuatu. Jantung mereka berdebar dengan cepat.
“Siapa di sana?” tanya Raka dengan suara berani namun bergetar.
Tak ada jawaban. Suara angin terus berputar, dan kegelapan seakan semakin mendekat. Mereka saling berpandangan, ketakutan mulai merayapi mereka lebih dalam.
“Apakah ini hanya permainan kita sendiri?” bisik Amara.
“Kita harus tetap maju,” kata Raka dengan suara tegas sambil menggenggam senter lebih erat. “Apa pun yang kita hadapi, kita harus menghadapinya.”
Dan dengan hati berdebar, mereka mulai melangkah maju.
Langkah mereka semakin lambat seiring ketegangan yang terus meningkat. Hati Raka berdebar setiap kali ia mendengar gemerisik di balik semak-semak atau melihat bayangan yang berputar di antara pepohonan. Ia tahu bahwa mereka semakin dekat dengan sesuatu yang belum bisa mereka pahami, sesuatu yang membingungkan dan menakutkan—entah itu benar atau hanya ilusi belaka.
Arjuna memandangi simbol yang ada di dinding batu itu dengan penuh curiga. “Simbol ini… aku rasa kita harus memahaminya. Jika ini benar-benar petunjuk, mungkin ini akan membawa kita ke jawaban. Tapi bagaimana caranya kita yakin bahwa ini bukan jebakan?”
Raka menghela napas. Semakin banyak pertanyaan yang muncul, semakin sedikit jawaban yang mereka miliki. “Kita hanya bisa mencoba,” ujarnya sambil mendekati simbol itu. “Kita harus percaya pada insting kita dan melihat apa yang bisa kita temukan di sini.”
Amara menggigit bibirnya. “Tapi jika ini jebakan… bagaimana kita bisa menghadapinya tanpa tahu apa yang kita hadapi?”
Pertanyaan itu menggantung di udara tanpa jawaban. Semua orang saling berpandangan, ketakutan mereka seakan mulai membentuk ketidakpastian yang nyata. Raka tahu bahwa mereka harus membuat pilihan.
“Cahaya itu tadi malam… dan simbol ini… ada hubungan antara keduanya,” lanjut Raka sambil menatap simbol yang berlumut dan mulai berkilauan samar di bawah cahaya senter mereka.
Amara berdeham. “Mungkin kita harus mengaktifkan simbol ini, atau setidaknya mencari tahu apa yang dilambangkannya. Jangan-jangan ini semacam gerbang atau petunjuk yang akan mengungkapkan rahasia di balik perjalanan kita.”
Raka berpikir sejenak. Ia tahu bahwa ada risiko besar dengan mencoba membuka rahasia ini. Namun jika mereka membiarkannya tanpa mencoba, mereka hanya akan terus berputar dalam lingkaran ketakutan yang sama.
“Baiklah,” kata Raka dengan tekad yang mulai membara di hatinya. “Kita harus mencobanya. Tapi tetap waspada, dan jangan lengah.”
Dengan hati-hati, Raka memindahkan senter lebih dekat ke simbol itu dan mulai melakukan gerakan yang ia yakini akan mengaktifkan sesuatu. Tiba-tiba, simbol itu berkilauan lebih terang. Cahaya biru keemasan memancar dari dalam simbol tersebut, memantulkan cahaya yang mempesona namun menakutkan di sekitar mereka.
“W-wait… ini apa?” bisik Arjuna dengan suara bergetar.
Mereka semua mundur beberapa langkah, matanya terbuka lebar melihat cahaya yang semakin terang. Cahaya itu membentuk pola aneh, seperti tulisan atau simbol yang tak mereka pahami. Amara berusaha menganalisis apa yang ia lihat, tetapi semuanya terasa seperti satu bentuk komunikasi yang samar.
“Apakah ini petunjuk?” tanya Amara.
Raka memandangi cahaya itu dengan hati-hati. “Mungkin ini… mungkin ini berarti kita harus melakukan sesuatu untuk membuka jalan ini lebih lanjut.”
Seketika itu, suara bisikan lembut yang tak jelas terdengar di telinga mereka—suara yang sama seperti mereka dengar sebelumnya. Mereka saling memandang, semakin ragu dengan apa yang mereka hadapi.
“Raka… apa kita harus benar-benar melakukannya?” tanya Arjuna dengan nada penuh keraguan.
Raka memejamkan mata sejenak. “Kita tak punya pilihan lain. Jika kita terus ragu, kita hanya akan berputar di tempat tanpa jawaban.”
Dengan satu gerakan mantap, Raka memindahkan tangannya lebih dekat dan mengarahkan cahaya senter ke simbol itu. Cahaya biru semakin bersinar terang, memancar hingga membuat mereka semua menutup mata.
Kemudian, semuanya menjadi sunyi.
Mereka membuka mata perlahan, dan melihat simbol itu berubah—sekarang membentuk peta yang berkilauan samar.
“Kita harus mengikuti ini,” ujar Amara dengan suara bersemangat namun tetap waspada.
Peta tersebut menunjukkan jalur menuju tempat yang lebih jauh, sebuah lokasi yang terpencil dengan peta kuno yang samar namun berisi petunjuk yang mereka yakini adalah jalan menuju rahasia ini.
“Baiklah,” kata Raka sambil memantapkan hati. “Jika ini adalah petunjuk, kita harus melangkah. Tapi kita tetap harus waspada.”
Mereka saling berpandangan, kemudian melangkah menuju jalur yang ditunjukkan oleh simbol bercahaya itu.
Namun di dalam hati masing-masing, pertanyaan yang sama terus berputar:
Apakah ini benar? Atau hanya ilusi yang akan membawa mereka semakin jauh ke dalam kegelapan?
Kebenaran itu mungkin masih jauh, tetapi mereka harus terus berjalan.
Akhir Bab 17