Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RENCANA ZASKIA
Pagi itu, Damian duduk di ujung meja rapat dengan ekspresi yang sedikit pucat. Meski merasa tubuhnya tidak sepenuhnya prima, ia tetap berusaha memimpin rapat seperti biasa, menjaga wibawa dan profesionalismenya. Suaranya terdengar tegas saat ia memaparkan rencana bisnis, namun sesekali ia tampak kehilangan fokus. Tangannya beberapa kali memijat pelipis, berusaha meredakan pening yang semakin terasa.
Di sisi meja, Andi dan Raka duduk memperhatikan dengan saksama. Sebagai klien, mereka memang memerlukan Damian untuk memimpin pembahasan ini dengan jelas, tetapi mereka juga menyadari bahwa Damian tampak kurang sehat. Andi yang sudah cukup mengenal Damian merasa perlu memastikan keadaannya.
“Damian, kamu kelihatan agak pucat. Apa kamu baik-baik saja?” tanya Andi, menyelipkan sedikit perhatian dalam nada suaranya.
Damian mengangguk singkat, berusaha tetap tenang. “Ya, aku baik-baik saja. Mungkin hanya kurang tidur tadi malam.”
Raka mengangguk, lalu berkata dengan nada ringan, “Kalau memang ada yang perlu kita tindak lanjuti nanti, Damian, kita bisa atur ulang pertemuan. Gak masalah kok. Kita gak mau ngerepotin kamu, apalagi kalau kamu kurang enak badan.”
Damian tersenyum tipis, menghargai perhatian keduanya, tetapi ia tetap bersikeras menyelesaikan pembahasan. “Aku hargai perhatian kalian, tapi rapat ini sudah terjadwal, dan kita harus menyelesaikannya. Lagipula, kalian datang sebagai klien penting. Biar aku pastikan semua yang perlu dibahas tersampaikan.”
Andi dan Raka saling bertukar pandang, lalu mengangguk paham. Mereka mengikuti jalannya rapat, meski sesekali mengamati Damian yang tampak semakin sering hilang fokus. Andi merasa sedikit khawatir, namun memutuskan untuk menunggu sampai rapat selesai dan mungkin berbicara secara pribadi dengan Damian nanti.
Di akhir rapat, Damian akhirnya mengakhiri sesi pembahasan dengan profesionalisme yang tetap terjaga, meskipun jelas kelelahan. Andi menghampirinya, menepuk pundaknya pelan, menunjukkan perhatiannya.
“Damian, kalau kamu butuh istirahat, jangan sungkan untuk bilang, ya. Kita gak akan tersinggung kok,” ujar Andi.
Damian tersenyum tipis, merasa terhibur meski tak mau menunjukkan kelemahannya terlalu banyak. "Terima kasih, Andi, Raka. Aku akan baik-baik saja."
Ketika rapat baru saja usai, Zaskia, sekretaris Damian, tiba-tiba masuk ke ruangan dengan wajah serius namun lembut. Ia tahu Damian tak akan mudah mengaku bahwa ia sedang tidak enak badan, tetapi sebagai sekretaris yang sudah cukup lama bekerja dengannya, ia bisa mengenali tanda-tanda itu dengan baik.
“Pak Damian, maaf mengganggu sebentar,” kata Zaskia sambil melirik Damian yang tampak lelah. “Sepertinya Bapak perlu istirahat. Biarkan saya melanjutkan tugas Anda untuk sementara.”
Damian mengangkat kepala, hendak menolak, tapi lelahnya terlihat begitu nyata. Ia melihat Zaskia sejenak, dan tanpa banyak kata-kata, Zaskia tersenyum kecil, memberi isyarat penuh perhatian. Di sisi lain, Raka yang sejak tadi memperhatikan Zaskia langsung menyetujui ide tersebut.
“Betul, Damian. Kamu udah bekerja keras. Istirahatlah sebentar. Kita akan baik-baik saja tanpa kamu untuk sementara waktu,” kata Raka, seolah ingin memastikan bahwa Zaskia tetap di ruangan bersamanya.
Damian menghela napas panjang, meski masih ragu. Tetapi rasa letih yang menguasai tubuhnya sudah tak terbantahkan lagi. Akhirnya, dengan berat hati, ia mengangguk. “Baiklah, hanya sebentar.”
Zaskia tersenyum lega, lalu menuntun Damian keluar ruang rapat hingga ke ruangannya. Setelah Damian masuk ke ruangan dan Zaskia menutup pintu, Damian langsung menjatuhkan diri di sofa, merebahkan tubuhnya yang terasa berat. Satu lengannya menutupi wajahnya, seolah berusaha menghalangi cahaya yang terasa menyilaukan matanya.
Di luar ruangan, Zaskia kembali ke meja rapat, mengambil alih dokumen yang tersisa. Raka tersenyum padanya, memanfaatkan momen ini untuk berbicara lebih dekat. “Zaskia, makasih ya udah ngurusin Damian. Kamu memang selalu bisa diandalkan,” ucapnya dengan nada tulus, berharap bisa mencuri perhatian Zaskia.
Zaskia tersenyum ramah. “Sama-sama, Pak Raka. Sudah tugas saya untuk membantu Pak Damian,” jawabnya singkat, tetap profesional.
Raka hanya bisa tersenyum, merasa lega bisa berada lebih dekat dengan Zaskia meskipun tak sepenuhnya mendapat perhatian yang ia harapkan. Tapi bagi Raka, melihat kepedulian dan ketulusan Zaskia pada pekerjaannya sudah cukup membuatnya semakin jatuh hati.
•••
Annisa benar-benar tidak fokus pada pekerjaannya. Dia melirik arloji di tangannya yang baru menunjukkan pukul sembilan pagi, setelah berpikir cukup lama, dia pun memutuskan untuk menemui Damian di kantornya.
Setibanya Annisa di kantor Damian dengan membawa kotak tiramisu. Ia merasa sedikit gugup, terutama karena ia tahu bahwa tak ada yang tahu status pernikahannya dengan Damian, termasuk sekretaris Damian, Zaskia. Setelah berpikir sejenak, ia akhirnya meminta bantuan resepsionis untuk menghubungi ruang Damian, berharap bisa menemui suaminya meski tanpa janji.
Setelah menunggu beberapa saat, Zaskia menghampiri Annisa dengan ekspresi ramah, namun terkesan menyelidik. Dari pandangan Zaskia, Annisa hanya seorang tamu tak dikenal yang ingin bertemu Damian tanpa janji resmi, dan di benaknya, Annisa mungkin salah satu wanita yang tertarik pada bosnya.
Tanpa menghilangkan senyum profesional, Zaskia bertanya, “Ada yang bisa saya bantu, Mbak…?”
“Annisa,” jawab Annisa, tersenyum tipis. “Saya ingin bertemu Pak Damian sebentar saja, kalau beliau ada waktu. Saya bawakan tiramisu ini untuknya. Katanya beliau suka.”
Zaskia melirik kotak kue itu, matanya memicing, menyiratkan ketidaksukaan. Ia tahu bahwa Damian bukan penyuka manis, namun ia tak dapat menyangkal bahwa tiramisu itu memang sesekali dinikmati bosnya. Dalam hati, Zaskia merasa tersaingi. Bagi Zaskia, Annisa terlihat begitu percaya diri, seolah-olah ia mengenal Damian dengan baik.
“Saya akan lihat apakah Pak Damian bisa diganggu sekarang. Tapi, beliau sangat sibuk pagi ini,” kata Zaskia dengan nada sedikit dingin.
Annisa mengangguk, tetap tersenyum meski merasa tatapan Zaskia cukup tajam. Saat Zaskia masuk ke dalam ruangan Damian, Annisa duduk menunggu, mencoba menenangkan diri. Pikirannya berkecamuk, tetapi ia tetap berharap kunjungan ini akan membuat Damian sedikit lebih menghargai usahanya, meski harus menunggu tanpa diakui sebagai istri di lingkungan kerja ini.
“Yah, bagaimanapun ini sudah kesepakatan sejak awal,” pikir Annisa.
Zaskia keluar dari ruangan Damian dengan senyum tipis yang hampir tak terlihat, menyembunyikan niatnya di balik ekspresi ramah. Ia tahu betul bahwa Damian sedang beristirahat dan biasanya tidak suka diganggu dalam keadaan seperti itu. Namun, melihat Annisa yang tampak begitu yakin membawa tiramisu—yang tentu membuatnya merasa tersaingi—memberi Zaskia ide licik. Jika Annisa ingin bertemu Damian tanpa janji, biarkan saja. Ia tahu kemungkinan besar Damian tidak akan senang.
“Pak Damian sedang beristirahat, tapi kalau Mbak Annisa ingin masuk sekarang, silakan saja. Mungkin beliau akan menyukai kejutan ini,” ujar Zaskia dengan senyum yang tampak ramah, meski hatinya berisi rencana yang berbeda.
Annisa tersenyum canggung namun tetap bersikeras. "Terima kasih, Mbak Zaskia."
Begitu Annisa mengetuk pintu dan masuk, ia mendapati Damian berbaring di sofa dengan satu lengan menutupi wajahnya, terlihat sangat lelah. Awalnya, Annisa ragu, namun demi niat baiknya, ia perlahan berjalan mendekat dan berdeham pelan untuk memberitahukan kehadirannya.
Damian membuka matanya sedikit, tampak kaget dan segera duduk. Ekspresinya berubah dingin, dan tatapannya langsung menusuk Annisa.
“Annisa? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan nada tajam. “Kamu tahu aku tidak suka diganggu tanpa pemberitahuan.”
Annisa menunduk, merasa canggung, namun ia mencoba menjelaskan. “Aku hanya ingin… memberikan ini,” katanya, mengangkat kotak tiramisu yang ia bawa.
Damian menghela napas panjang, tampak tidak terkesan. “Kue? Kamu pikir aku akan menghargai kue ini saat aku sedang mencoba istirahat?”
Annisa terdiam, menahan rasa malu dan kecewa, sementara di luar ruangan, Zaskia mengamati situasi ini dengan puas dari celah pintu, tersenyum kecil karena rencananya berhasil.
Saat Damian bersiap mengeluarkan kata-kata tajam untuk mengusir Annisa, tiba-tiba rasa nyeri menusuk kepalanya. Tangannya refleks memegang pelipis, dan tubuhnya oleng, hampir terjatuh dari sofa. Annisa yang melihat itu langsung melupakan semua kecanggungan dan kekesalannya. Ia bergerak cepat, menahan tubuh Damian agar tidak jatuh.
“Mas Damian, kamu tidak apa-apa?” tanya Annisa cemas, suaranya lirih namun penuh perhatian.
Tak seperti biasanya, Damian tidak menolak. Rasa sakit di kepalanya terlalu hebat, dan ia merasa sedikit terhibur dengan sentuhan lembut Annisa yang menenangkannya. Ia hanya menutup mata sejenak, mencoba mengatur napas sambil bersandar pada Annisa.
Di luar, Zaskia yang penasaran mengintip sedikit dari celah pintu, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wajahnya seketika berubah kesal melihat Annisa begitu dekat dengan Damian. Tak mau tinggal diam, Zaskia mendorong pintu dan melangkah masuk, mencoba mengambil alih situasi.
“Pak Damian, maaf, apakah saya bisa—”
Belum sempat Zaskia menyelesaikan kalimatnya, Damian membuka matanya dan menatapnya dengan pandangan tajam, suaranya penuh ketegasan. “Zaskia, keluar sekarang. Tutup pintu, dan jangan biarkan siapa pun masuk,” katanya tegas, nadanya membuat Zaskia terkejut dan sedikit gemetar.
Zaskia menelan ludah, merasa malu dan tidak berdaya. Ia mengangguk kecil, menunduk, lalu dengan tergesa menutup pintu seperti yang diperintahkan. Di luar, hatinya dipenuhi amarah dan kecemburuan yang membakar. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa selain menurut.
Di dalam ruangan, Damian akhirnya membiarkan dirinya bersandar penuh pada Annisa, yang perlahan membantunya duduk kembali. Meski perkataan Damian tadi masih menyakitkan baginya, Annisa tetap berusaha membantu. Ia tak bisa meninggalkan suaminya dalam keadaan lemah seperti ini.
“Mas… mungkin kamu perlu istirahat lebih lama. Aku akan menunggu di sini jika kamu membutuhkan sesuatu,” ujar Annisa pelan, memastikan Damian nyaman.
Damian tidak menjawab, hanya menghela napas panjang sambil menatap kosong ke depan. Meski hatinya tertutup, di saat seperti ini, kehadiran Annisa entah bagaimana memberinya sedikit rasa tenang.
mudah banget ya jenny menyebarkan fitnahan.
Cobaan, cacian, bahkan sakit hati membuat annisa semakin terpuruk. Dia merasa tak dianggap, yang padahal sudah memberikan yang terbaik buat anak Damian, tapi usahanya itu tidak dihargai sama sekali. Damian menganggap annisa belum pantas mengantikan sosok arum. Annisa wanita kuat dan tabah. sudah dicaci maki tetap saja berharap damian bisa menerima status sebagai istri sah
Annisa terlalu cantik, sehingga teman damian saja jatuh hati padanya. Namanya perasaan tidak bisa dipungkiri, namun masih bisa menjaga pertemanan dan bisnis agar tidak putus.
dalam diam dan tangisan, akhirnya damian sedikit ada perubahan sikap. Buah kesabaran mulai membuahkan hasil, walau harus lewat kumpul keluarga. Semoga semua dipermudah dan annisa bisa menjadi bagian hidup damian selamanya. intinya bersabar dalam tiap cobaan, semua akan ada hasilnya.