abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Pengorbanan di Balik Kegelapan
Isabella berdiri kaku di depan altar besar, napasnya tersengal oleh rasa takut dan kelelahan. Dinding ruangan bergetar, mengeluarkan suara seperti lolongan kesakitan. Cahaya merah yang memancar dari simbol-simbol kuno di lantai menerangi bayangan-bayangan menyeramkan yang bergerak liar di sekitarnya.
Di altar itu, ia melihat sesuatu yang membuat tubuhnya lemas—sebuah patung besar berbentuk setengah manusia, setengah makhluk yang tidak dikenal, dengan mata berlubang yang seolah-olah mengawasi setiap gerakannya. Tangannya yang terbuat dari batu terangkat, memegang sebuah pisau besar yang tampak berlumuran darah hitam kering.
Namun, yang paling menyeramkan adalah sosok pria bertopeng yang berdiri di dekat altar, kali ini tanpa senjata, hanya berdiri diam seolah menunggu.
“Kau akhirnya tiba, Isabella,” suara berat pria itu menggema, seperti suara kastil itu sendiri.
Isabella menggenggam belati kecilnya lebih erat. “Apa yang kau inginkan dariku? Kenapa kau membunuh teman-temanku?!”
Pria bertopeng itu menoleh perlahan, kepalanya miring seperti sedang mempelajari Isabella. “Ini bukan tentang apa yang aku inginkan. Ini tentang apa yang kastil ini inginkan. Dan kau, kau adalah bagian dari rencana besar ini.”
“Omong kosong!” Isabella berteriak, meskipun tubuhnya gemetar. “Aku hanya ingin keluar dari sini!”
Pria itu tertawa pelan, tawa yang terdengar seperti ribuan suara yang saling bersahutan. “Tidak ada yang bisa keluar dari sini tanpa membayar harga. Kastil ini lapar, Isabella. Dan kau harus memberi makan rasa laparnya.”
---
Tiba-tiba, lantai di bawah kaki Isabella kembali bergetar, dan sebuah lingkaran simbol menyala tepat di bawahnya. Ia mencoba melompat keluar dari lingkaran itu, tetapi sebuah kekuatan tak terlihat menahannya di tempat.
Bayangan-bayangan yang sebelumnya mengelilingi ruangan mulai mendekat, membentuk sosok-sosok manusia yang cacat dan rusak. Mereka bergerak dengan canggung, tangan mereka menjulur seperti mencoba menangkap Isabella.
Isabella meronta, berusaha melepaskan diri dari kekuatan yang mengunci kakinya. “Tidak! Aku tidak akan menyerah!”
Dengan kekuatan terakhirnya, ia mengayunkan belati ke simbol di lantai. Lentera di pinggangnya bergoyang liar, dan cahaya kecilnya menyorot dinding tempat simbol-simbol kuno lainnya tertulis.
Mata Isabella terpaku pada satu kalimat yang tampaknya berbeda dari tulisan lainnya:
"Kebebasan terletak pada darah yang mengalir, tetapi bukan darahmu."
Ia menyadari sesuatu. Kastil ini tidak hanya menginginkan pengorbanan; ia menginginkan seseorang untuk membuat pilihan.
---
Saat bayangan-bayangan mendekat, pria bertopeng itu melangkah maju. "Kau sudah terlalu lama berlari, Isabella. Sudah waktunya membuat keputusan."
Isabella menatap pria itu dengan mata yang penuh amarah. “Kenapa kau tidak menghentikanku sejak awal? Kenapa kau membiarkan semua ini terjadi?”
Pria itu tersenyum di balik topengnya, sebuah senyum yang bisa dirasakan meskipun wajahnya tersembunyi. "Karena kau harus melihat dengan mata kepala sendiri. Teman-temanmu telah menjadi bagian dari kastil ini, dan kau juga akan menjadi bagian darinya... kecuali kau menemukan jalan keluar yang benar."
“Jalan keluar yang benar?” Isabella memandangnya dengan bingung.
Pria itu menunjuk ke altar. “Pisau itu bukan hanya senjata. Ia adalah kunci. Kau harus memilih—mengorbankan sesuatu untuk kastil ini, atau membiarkan dirimu ditelan oleh kegelapan.”
Isabella melihat ke arah pisau besar di tangan patung itu. Cahaya merah memancar dari bilahnya, dan ia bisa merasakan kekuatan gelap yang mengelilinginya.
“Tidak!” Isabella berteriak. “Aku tidak akan menjadi pion dalam permainanmu!”
Pria bertopeng itu tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Kau pikir ini tentang aku? Ini tentang kastil ini, Isabella. Ini tentang apa yang kau bawa ke sini, tentang apa yang kau lakukan ketika kau masuk pertama kali."
Isabella memutar pikirannya, mencoba mengingat. Tapi kenangan itu kabur—hanya bayangan-bayangan samar tentang perjalanan mereka ke kastil, tawa mereka, dan perasaan aneh yang menyelimuti ketika mereka melangkah melewati gerbang.
---
Saat pria itu melangkah lebih dekat, Isabella merasakan sesuatu yang lain. Udara di sekitarnya menjadi lebih berat, dan suara-suara aneh mulai terdengar—bisikan, tangisan, dan tawa yang menyeramkan.
“Jika aku harus membuat pilihan, maka aku akan memilih untuk melawan!” Isabella berteriak. Ia mengangkat belatinya dan menyerang pria bertopeng itu.
Namun, sebelum belatinya bisa mengenai pria itu, ia merasakan sesuatu yang mencengkeram tubuhnya. Bayangan-bayangan dari lantai telah merayap ke atas, melilit kakinya, menariknya kembali ke lingkaran.
Pria bertopeng itu menatapnya dengan puas. "Kau tidak bisa melawan kastil ini, Isabella. Tapi kau bisa memutuskan bagaimana ceritamu akan berakhir."
---
Dengan sisa keberaniannya, Isabella memutuskan untuk melakukan hal yang tidak terduga. Ia meraih pisau besar di altar itu, dan seketika, simbol-simbol di lantai menyala lebih terang. Kastil itu bergetar, dan bayangan-bayangan itu menjerit dalam kesakitan.
Isabella menatap pria bertopeng itu dengan penuh tekad. "Aku tidak akan mengorbankan diriku atau siapa pun untuk tempat ini."
Ia mengangkat pisau itu tinggi-tinggi, lalu menancapkannya ke lantai di tengah lingkaran.
Sebuah suara menggelegar memenuhi ruangan, seperti jeritan ribuan jiwa. Cahaya merah berubah menjadi putih menyilaukan, dan Isabella merasakan kekuatan besar mendorongnya mundur.
---
Ketika ia membuka matanya, Isabella menemukan dirinya berdiri di luar kastil. Matahari pagi bersinar lembut, dan hutan di sekitarnya terlihat damai—seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi.
Namun, ia tahu bahwa ini belum berakhir. Kastil itu mungkin telah membebaskannya, tetapi ia masih merasa bahwa ada sesuatu yang tertinggal.
Isabella melihat ke arah pintu kastil yang tertutup rapat, lalu berbalik dan mulai berjalan pergi. Namun, langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara familiar di belakangnya.
"Isabella..."
Ia berbalik, tetapi tidak ada siapa-siapa. Hanya pintu besar kastil yang kembali tertutup, menyembunyikan semua rahasianya.