Felicia, seorang mahasiswi, terpaksa menjadi jaminan hutang keluarganya kepada Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam. Dia harus bekerja keras untuk melunasi hutang tersebut, menghadapi tekanan moral dan keuangan, serta mencari jalan keluar dari situasi sulit ini. Hubungannya dengan Pak Rangga pun menjadi kompleks, menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran, kekuasaan, dan keberanian.
Felicia berjuang untuk menyelamatkan keluarganya dan menemukan kebebasan, tetapi tantangan besar menanti di depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Pilihan Sulit
Mentari pagi kembali menyapa Kota Bandung, namun sinarnya tak mampu menembus ketegangan yang menyelimuti rumah keluarga Budi. Suasana masih dipenuhi oleh bayang-bayang hutang yang membengkak dan ancaman Rangga. P
ak Budi terlihat lesu, sementara Ibu Ani tampak kelelahan, mata sembab akibat kurang tidur. Lusi, dengan tekad yang membara, duduk tegak di meja makan, menolak tawaran yang diajukan orang tuanya.
"Lusi, sayang… ini satu-satunya cara," kata Pak Budi, suaranya bergetar. Ia menatap putrinya dengan mata memohon. "Jika kau mau menjadi jaminan, aku bisa mendapatkan pinjaman untuk melunasi hutangku kepada Rangga."
Lusi menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Tidak, Pa. Aku tidak akan menjadi jaminan hutangmu. Ini tidak adil!" Suaranya bergetar, campuran antara amarah dan keputusasaan. Ia tak mampu menerima kenyataan bahwa ia harus mempertaruhkan masa depannya untuk menyelamatkan keluarganya.
"Tapi, sayang… ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluarga kita," kata Ibu Ani, suaranya terdengar lemah. Ia mencoba untuk membujuk Lusi, menjelaskan betapa pentingnya situasi ini. "Jika kita tidak melunasi hutang itu, Rangga akan mengambil tindakan hukum. Kita bisa kehilangan rumah ini, semuanya…"
"Aku tahu, Ma," jawab Lusi, suaranya tegas. "Tapi aku tidak akan membiarkan masa depanku dipertaruhkan hanya karena hutang Papa. Rangga itu kejam! Ia memanfaatkan situasi ini untuk menekan kita!"
"Sayang… tolong mengertilah," Pak Budi memohon lagi. Ia merasa sangat putus asa. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ia telah mencoba segala cara, namun semuanya sia-sia. Ia hanya bisa berharap putrinya mau mengerti dan membantunya.
"Aku tidak mengerti, Pa! Bagaimana bisa aku, yang masih kuliah, harus menjadi jaminan hutangmu yang sebesar itu? Itu tidak masuk akal!" Lusi membentak, amarahnya memuncak. Ia merasa sangat kecewa dan marah kepada ayahnya, juga kepada Rangga yang dianggapnya kejam dan tidak berperikemanusiaan.
"Lusi, sayang… tolonglah," Ibu Ani kembali membujuk. Ia mencoba untuk menenangkan Lusi, menjelaskan betapa besarnya risiko yang akan mereka hadapi jika hutang tidak dilunasi. "Kita akan kehilangan segalanya jika kita tidak melakukan sesuatu. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluarga kita."
"Tidak, Ma! Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan membiarkan Rangga seenaknya saja memanfaatkan situasi ini!" Lusi tetap bersikeras. Ia merasa sangat marah dan kecewa. Ia tidak akan membiarkan dirinya diperalat oleh Rangga.
Perdebatan mereka berlangsung lama. Pak Budi dan Ibu Ani mencoba membujuk Lusi, menjelaskan betapa pentingnya ia menjadi jaminan. Mereka mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluarga mereka. Namun, Lusi tetap menolak. Ia merasa tak adil dan marah kepada Rangga. Ia merasa bahwa Rangga telah memanfaatkan situasi ini untuk menekan mereka.
Lusi merasa terbebani oleh situasi ini. Ia merasa sangat khawatir terhadap orang tuanya, namun ia juga tidak ingin mengorbankan masa depannya. Ia merasa berada di antara dua pilihan sulit; menyelamatkan keluarganya atau menyelamatkan masa depannya sendiri. Ia merasa sangat frustrasi dan putus asa. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Di tengah perdebatan yang semakin memanas, Lusi memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah. Ia merasa perlu waktu untuk menenangkan diri dan memikirkan solusi terbaik. Ia merasa sangat marah dan kecewa. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Ia hanya ingin menjauh sejenak dari masalah yang begitu besar dan rumit ini. Ia berjalan di jalanan kota Bandung, mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia merasa sangat terbebani oleh situasi ini.