Jika tak percaya adanya cinta pada pandangan pertama, Rayyan justru berbeda, karena semenjak melihat Mbak Tyas, dia sudah langsung menjatuhkan hati pada perempuan cantik itu.
Dan dia Rayyan Asgar Miller, yang jika sudah menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan cepat.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DB DUA SATU
...BONUS VISUAL, bukan sesuai gantengnya tapi sesuai karakter. Tekan fotonya lalu geser....
"Kamu masih marah, Mas?" Hanya karena menyapa balik pria yang menyapa, Rayyan kesal dan tak mau bicara. "Mas?"
Di atas sofa, Rayyan malah menengadah kedua tangan ke atas. "Ya Allah. Seandainya aku punya istri yang kalo aku lagi ngambek dia bujuknya pake ciuman."
Tyas duduk di sisi Rayyan, lalu meraih tangan pemuda itu untuk dicium. "Maafin ya, tadi tuh cuma reflek senyum pas disapa Mas-mas."
Rayyan menghela napas, mencium versi Tyas ternyata cium tangan. Ya Tuhan, Rayyan ingin sekali menggantung diri di pohon kangkung, entah bagaimana mengajari istri polosnya ini.
"Kiss di bibir, Sayang!" ketus Rayyan.
"Aku nggak biasa kayak kamu, Mas!" Tyas tak kalah ketusnya.
Rayyan terkekeh kesal. "Itu love language! Harusnya kalo lagi gemes atau apa lah sama pasangan, kita itu akan reflek nyium."
"Love apa tadi?" Tyas sering kali asing dengan bahasa Rayyan.
"Bahasa cinta!" jawab cepat Rayyan.
Tyas tertawa tak henti- hentinya. "Bahasa cinta aku nampar kamu, Mas!" katanya.
"Kenapa nggak bunuh sekalian?"
Tyas akhirnya tertawa kembali. "Sudah dimaafin kan, aku nggak mau dosa loh gara- gara Mas masih ngambek karena kesalah pahaman yang barusan itu."
Rayyan menyodorkan sebelah pipinya, bahkan dia memejamkan matanya. "Kiss yang lama. Baru setelah itu, aku maafin."
Tyas sempat terdiam lama, karena jujur saja sebelumnya Tyas tak pernah sedekat ini dengan laki- laki. Lima tahun pacaran dengan Ervan, tak pernah dia duduk sedekat ini.
Apa lagi sebuah ciuman yang sampai sekarang masih begitu asing. "Aku kunciin kamu di sini, sendirian, kalo nggak mau kiss!"
Ancaman Rayyan yang membuat Tyas akhirnya terpaksa mengalah. Tyas mendekati wajah Rayyan pelan- pelan, dan ketika baru menempelkan bibirnya, Rayyan menoleh hingga bukan pipi tapi bibir bertemu bibir.
Tyas shock, hingga membelalak, tapi tetap ikut ke dalam permainan ini. Memang tangan Tyas berusaha menghalau, tapi tak seberapa kuat karena rasa penasarannya juga seperti sedang bekerja sama dengan Rayyan untuk melumpuhkan pertahanannya.
Baru kali ini Tyas kemudian reflek membalas pagutan suaminya. Menyesap saliva yang sudah bertukaran tanpa disengaja.
Tyas terdorong, terbaring. Dan saat sepasang pengantin baru, bergumul di atas sofa, tentu saja membuat keduanya semakin khilaf.
Tyas mau- mau saja akhirnya ketika Rayyan menyuruhnya membuka jilbab sebelum ia kembali menerima serangan bibir suaminya.
Tangan Rayyan mulai bergerak ke sana ke mari, seakan sedang berjalan- jalan dengan otaknya sendiri. Meremas, sebelah keempukan yang Rayyan sendiri tak berekspektasi akan sebesar itu.
"Ahh!" Andaikan diizinkan, Tyas ingin lari dari sini ke Semarang, dari pada harus menghadapi kondisi seperti ini. "Mas!"
Rayyan yang baru pertama kalinya mendengar desah Tyas, mendadak pejaman matanya terbelalak lebar. Dan hal yang dia lihat adalah gemuruh dan rona wajah Tyas yang sepertinya sedang berhasrat.
Rayyan menyukainya, karena ini menandakan jika perlahan Tyas menerimanya. Maka bukan melanjutkan aksinya, sebab Rayyan lebih ingin untuk memeluk perempuan itu.
"Aku gemes sama kamu, sayaaaang!" Tyas diam mematung, sedikit terkejut dengan ekspresi tiba- tiba Rayyan kali ini. "Gemes banget desah kamu barusan!" gregetnya.
Tyas sempat tertawa pelan, sebelum akhirnya keduanya sama- sama mendengar bel pintu yang berdenting. "Ck! Pasti Guntur sama Aul."
Tyas lega, setidaknya karena Aulkafa dan Guntur dia selamat untuk sementara waktu ini.
Rayyan menarik Tyas agar masuk kamar, dia tak mau istrinya dilihat dua sahabat jomblo akut yang sudah masuk kronis. "Sayang di dalam saja, sampai mereka pulang."
"Tapi..."
Rayyan menutup pintu kamar, lalu berjalan gontai ke arah pintu utama. Dan pintu yang baru saja dia buka lekas dia tutup kembali setelah melihat sosok gagah sang Abang.
"Mas Abil?" Rayyan membukanya sekali lagi demi memastikannya, tapi lekas menutup setelah yakin jika itu benar- benar Nabeel.
"Rayyan! Apa- apaan kamu?!" Dari luar Nabeel berteriak kesal. Rayyan kemudian berlari ke kamar untuk mengunci pintunya.
Setidaknya, Tyas takkan tiba- tiba keluar saat Mas Nabeel masih berada di sini. "Ah sialan, ngapain Mas Abil ke sini?!" rutuknya.
Rayyan segera kembali ke pintu utama karena bel pintu terus berdenting. Dan ketika dia buka, jeweran di telinga Rayyan dapati.
"Kamu ngapain hah?!"
"Sakit, Mas!" Rayyan berjinjit demi mengurangi sakit telinga yang ditarik ke atas.
"Lagian ngapain kamu tadi?" Nabeel heran sekali, dua kali membuka pintu, dua kali pula Rayyan menutupnya lagi.
"Ngetes kesabaran, Mas Abil." Rayyan cengengesan, dan itu yang membuat Nabeel kembali menjewer telinga pemuda itu.
"Wangi kamu..." Nabeel mengendus aroma manis di tubuh adiknya. Ada wangi lain, tapi wangi ini cukup familiar di hidungnya.
"Kamu pacaran?"
"Astaghfirullah, dosa Mas! Mana berani Rayyan pacaran. Mimi nanti marah!" Rayyan memang tak mau pacaran, itulah kenapa dia segera menikahi Tyas.
Nabeel membuka jaket, meletakkan secara rapi di sandaran sofa, lalu duduk di sana sambil melirik ke arah adiknya. "Kamu nggak suka Mas datang hm?"
"Sukaaaa banget!" Rayyan melebar senyum, tapi kemudian redup dalam waktu singkat karena dia sama sekali tidak suka. "Mas nggak nginep kan?"
"Tergantung," jawab Nabeel. Lelaki itu meraih ponsel dari sakunya, berselancar kemudian.
"Tergantung apa?" cecar Rayyan.
"Kalo cewek taksiran Mas balas pesan Mas, ya Mas nginep di sini." Nabeel mengakses kontak yang dia pinta secara paksa dari kasir Alpha Mei.
Untuk menyambut baik, Rayyan meraih dua minuman bersoda dari lemari es. Kemudian dia sodorkan salah satunya pada Nabeel.
Mereka duduk bersisian, jujur Rayyan cukup penasaran dengan informasi baru yang Nabeel bawa kali ini. "Cewek siapa emang?"
"Mantan santriwati di pesantren Eyang Kiyai, dulu Mas sering lihat dia diajak Ning Halwa ke mana- mana." Nabeel tersenyum layaknya orang kasmaran pada umumnya.
Rayyan manggut- manggut. Setelah kemarin Mas Syahrul bertunangan dengan Kak Maurin, baguslah kalau satu abangnya lagi sudah punya gebetan, setidaknya dia bisa cepat memperkenalkan Tyas ke keluarganya.
"Ya udah buruan nikah gih pada. Emang siapa nama tuh cewek?" Rayyan meneguk minum, lantas kembali tersembur setelah Nabeel menyebutkan nama 'Tyas'.
"Hati- hati Bungsu!" Nabeel menggosok tengkuk leher adiknya. Yang kemudian membuat Rayyan lebih baik.
"Namanya, bagus juga!" puji Rayyan, mungkin kebetulan, tapi kenapa harus Tyas.
Rayyan segera melirik sebuah ponsel ketika tiba- tiba gawai itu berdering. Nabeel pun ikut mengerling ke arah yang sama.
Karena ponsel tersebut berbunyi beberapa saat setelah dia mendial nomor Tyas. "Hape siapa itu?" tanyanya.
Ponsel biasa, bukan ponsel mahal, itu yang membuat Nabeel bertanya. Karena Rayyan tak mungkin menggunakan ponsel seperti itu.
Namun, ketika tangannya ingin meraih benda pipi tersebut, Rayyan menghalaunya. "Itu hape punya Rayyan!" ketusnya.
Nabeel kembali fokus pada ponselnya sendiri, di mana kemudian dia menunggu panggilan teleponnya diterima Tyas.
Akan tetapi bukan diterima, karena disaat yang sama Rayyan mendelik saat membaca nomor baru yang menghubungi ponsel istrinya.
"Mas nelepon siapa?" Rayyan yakin betul nomor yang masuk ke ponsel Tyas itu nomor Nabeel. Tapi, Rayyan ingin memastikan jika dia salah.
"Tyas gebetan, Mas. Dulu Mas ketemu di Semarang, dia orang Semarang juga."
"What the hell?!" Rayyan sontak berteriak.