Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ambisi Anjas Jatmiko
"Sepertinya, aku terlalu mengikuti kakek terlalu jauh," ucap Denis dengan suara lirih, berdiri di dekat meja makan yang penuh dengan hidangan lezat. Tatapannya kosong, menelusuri setiap sudut meja yang seharusnya menjadi tempat kebahagiaan malam itu.
Wanita yang dikenalkan oleh kakeknya duduk di seberangnya, tersenyum sopan, tapi senyum itu tak mampu menyentuh hati Denis. Semuanya terasa hambar. Bahkan makanan yang biasa ia sukai pun kehilangan rasanya.
"Denis, kamu baik-baik saja?" tanya wanita itu, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Denis tersentak dari lamunannya, menoleh dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Maaf, aku hanya lelah," jawabnya singkat, lalu mengambil gelas anggur dan menyesapnya pelan.
Di sudut ruangan, Anjas Jatmiko memperhatikan cucunya dengan mata penuh harapan. Ia tahu Denis masih bergulat dengan perasaannya, tapi ia percaya waktu akan menyembuhkan segala luka.
Namun, di kepala Denis, bayangan Veltika terus berputar. Malam itu, senyum dan tawa Veltika saat bersama Refal menghantui pikirannya. Bagaimana mungkin aku bisa duduk di sini, berpura-pura, sementara hatiku masih milik orang lain? pikirnya.
"Maaf," Denis akhirnya berkata, berdiri dari kursinya. "Aku harus pergi. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan." Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan tamu dan kakeknya dengan ekspresi bingung.
Di luar, udara malam yang dingin menyentuh kulitnya, tetapi tidak cukup dingin untuk meredakan kegelisahan di dalam dadanya. Denis tahu satu hal—dia tidak bisa lagi terus mengikuti keinginan orang lain. Hatinya sudah memilih, dan langkahnya harus mengikuti itu.
Ambisi besar Anjas Jatmiko selalu terpusat pada satu tujuan: menjadikan Jatmiko Group sebagai perusahaan raksasa yang mendominasi industri properti di tanah air. Bagi orang luar, nama keluarga Jatmiko sudah cukup dikenal sebagai salah satu pengusaha properti paling berpengaruh, tetapi bagi Anjas, itu belum cukup. Ia menginginkan lebih—menguasai pasar internasional, menciptakan kerajaan bisnis yang tak tergoyahkan.
"Denis, kau tahu apa yang selalu aku katakan," ujar Anjas suatu hari dengan nada tegas, tatapannya tajam menembus cucunya. "Kita tidak hanya bertahan. Kita harus menjadi yang terdepan."
Denis hanya diam mendengarkan. Sejak kecil, ia tumbuh dengan prinsip-prinsip ambisius kakeknya yang tertanam kuat. Tapi jauh di dalam hatinya, Denis merasa ada yang hilang. Hidupnya seolah diarahkan seperti bidak catur, selalu harus mengikuti strategi yang telah dirancang kakeknya.
"Proyek cluster baru di luar kota sudah siap diluncurkan, dan aku ingin kau memimpin langsung. Kita akan memperluas pengaruh ke kawasan yang belum tersentuh," lanjut Anjas.
Denis mengangguk pelan, meski pikirannya melayang ke tempat lain—ke Veltika. Wanita itu adalah bagian dari masa lalunya, tetapi Denis merasa ada sesuatu yang masih menggantung di antara mereka. Ambisi keluarga dan cinta pribadi—keduanya saling tarik menarik dalam hidupnya.
"Kita akan menjadi yang terbesar, Denis. Aku ingin kau menikah dengan seseorang yang bisa memperkuat posisi kita di dunia bisnis," tambah Anjas dengan nada yang lebih serius.
Denis tahu maksudnya. Kakeknya ingin menjodohkannya dengan wanita dari keluarga terpandang lainnya, demi memperkokoh kekuasaan keluarga Jatmiko. Namun, di balik senyum sopannya, Denis merasa muak. Bagaimana mungkin semua yang ia inginkan selalu harus dikorbankan demi ambisi keluarga?
"Bagaimana jika aku tidak ingin mengikuti rencana ini, Kek?" tanya Denis akhirnya, nadanya datar namun tegas.
Anjas menatapnya tajam. "Kamu ingin seperti ayahmu? Menikah karena cinta, lalu meninggalkan warisan yang hancur?"
Kata-kata itu menghujam Denis, tetapi ia tidak goyah. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Denis harus memilih jalannya sendiri, meskipun itu berarti melawan ambisi besar kakeknya.
Kegelisahan Denis semakin memuncak malam itu. Bukan hanya tekanan dari ambisi besar kakeknya yang membebani pikirannya, tetapi juga pemandangan yang baru saja ia saksikan di ruang makan—Veltika yang tertawa lepas di depan lelaki yang mengaku sebagai teman lamanya, Refal Samudera.
Denis merasa ada yang aneh. Tawa Veltika malam itu terasa berbeda. Bukan sekadar sopan santun atau basa-basi. Itu adalah tawa yang tulus, sesuatu yang jarang ia lihat sejak mereka kembali bertemu dalam situasi keluarga yang rumit ini.
"Refal Samudera..." gumam Denis pelan sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur. Nama itu terngiang-ngiang di kepalanya. Refal bukan sekadar teman biasa. Dia adalah ancaman.
Denis menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang terus bergejolak. Kenapa melihat Veltika bersama pria lain membuatnya resah? Bukankah sejak awal mereka hanya saudara tiri yang terjebak dalam permainan takdir yang rumit?
Namun, jawabannya begitu jelas baginya: Dia menginginkan Veltika. Bukan sebagai saudara tiri, bukan sebagai sekadar wanita dalam permainan keluarga, tetapi lebih dari itu.
"Apakah aku terlalu terlambat?" pikir Denis, tatapannya kosong menatap langit-langit kamar. Refal datang dengan segalanya yang sempurna—karier cemerlang, pesona, dan hubungan masa lalu yang membuatnya memiliki keunggulan.
Tetapi Denis tidak akan menyerah begitu saja. Veltika bukan hanya sekadar bagian dari rencana kakeknya, dia adalah wanita yang ia pilih—dengan hatinya, bukan dengan logika bisnis atau kehendak keluarga.
Dia meremas tangannya, seolah meyakinkan dirinya sendiri. "Aku akan membuat Veltika melihat bahwa aku bukan lelaki yang akan dia abaikan begitu saja." Denis tahu, ini bukan hanya tentang cinta ini adalah perang, dan dia tidak akan mundur.
Veltika berdiri di depan pintu kamarnya, menggigit bibir bawahnya sambil melirik ke ujung lorong, tempat kamar Denis berada. Biasanya, lelaki itu akan muncul dengan senyum penuh percaya diri atau setidaknya memberikan komentar yang membuatnya kesal. Tapi malam ini, Denis diam. Terlalu diam.
"Apa aku berhasil membuatnya cemburu?" gumam Veltika dalam hati, matanya masih tertuju ke arah pintu kamar Denis yang tertutup rapat.
Ada kepuasan kecil yang muncul di sudut hatinya, tapi juga sepercik rasa khawatir. Denis yang cuek bukanlah Denis yang biasa. Lelaki itu selalu penuh energi, selalu ada cara untuk mendekatinya, bahkan ketika Veltika ingin mengabaikannya.
"Mungkin aku terlalu jauh?" pikirnya sejenak. Refal memang berhasil membuatnya tertawa lepas, tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri—ada bagian dalam dirinya yang tetap bertanya-tanya tentang Denis. Apakah semua ini hanya permainan balas dendam kecil, atau ada sesuatu yang lebih dalam antara mereka?
Veltika mendesah pelan. Tangannya terulur ke gagang pintu, seolah ingin melangkah keluar dan mengetuk kamar Denis. Tapi langkahnya terhenti.
"Kenapa aku harus khawatir? Dia yang harus datang padaku, bukan sebaliknya." Veltika membisikkan kata-kata itu kepada dirinya sendiri, mencoba mengabaikan rasa gelisah yang mulai merayap di hatinya.
Namun, meski ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, tatapannya tetap tertuju pada pintu kamar Denis. Apakah lelaki itu juga merasakan hal yang sama? Atau, apakah Veltika hanya terlalu larut dalam pikirannya sendiri?