“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur lebur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun lamanya, dirinya setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
_______
Bila tak suka, cukup tinggalkan!
Kalau memang terlalu buruk, harap berikan ulasan masuk akalnya!
Kita memang tidak saling mengenal, tetapi ada Malaikat yang selalu mencatat Amal. Ayo ... jaga jemari agar hati tetap bersih. Salam damai selalu 🙏😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
“Tunggu di sini!” Amala memotong kalimat Nirma yang berbelit-belit. Dia berjalan memasuki bangunan rumah dari pintu depan.
Tak berapa lama, Amala sudah berdiri lagi di hadapan Nirma. Menyodorkan kotak beludru berwarna merah hati. “Ini ambil! Jangan lupa suratnya diperiksa! Siapa tahu kalian menaruh curiga, takut aku kurangi beratnya.”
Ragu-ragu Nirma menerimanya. Tanpa tahu malu betulan memeriksa surat emas itu, cincin polos dengan berat satu mayam atau setara dengan 3,3 gram.
“Apa ada barang lainnya yang wajib dipulangkan?” Amala bertanya, netranya memperhatikan gesture Nirma yang terlihat gelisah.
Kenyataannya keluarga Yasir hanya memberikan barang berupa cincin, sebenarnya emas dengan berat segitu sangatlah kecil. Namun, Yasir beserta keluarganya tidak tahu malu. Berani meminta kembali apa yang sudah diberikan.
Jika mengikuti peraturan yang ada, bila pihak laki-laki yang memutuskan pertunangan dikarenakan kesalahannya sendiri, maka emas yang menjadi simbol ikatan mereka seharusnya menjadi hak milik si wanita, karena pihak wanita yang dirugikan. Begitu juga sebaliknya, bila si wanitanya berulah, dia wajib mengembalikan dua kali lipat.
Namun, Amala memilih memulangkan. Dia tidak sudi merendahkan diri hanya demi sebiji barang yang tak seberapa. Sebelumnya juga sudah berniat untuk mengembalikannya, tetapi tidak jadi lantaran terlalu terkejut dihantam kenyataan pahit.
Amala terakhir kali bertemu dengan adiknya setengah tahun yang lalu. Sekarang penampilan Nirma sangat jauh berbeda, busananya tidak lagi longgar, tetapi hampir pas badan. Rambut pendeknya juga diwarnai menjadi coklat gelap. Bukan hanya itu saja, Nirma juga memakai satu set emas berukuran sedang.
“Tidak ada, Mbak. Nirma ingin memberikan ini kepada Mbak dan juga Mamak.” Ia menyodorkan plastik.
“Apa itu?”
“Ini foto copy ijazah kuliah, Nirma. Ada juga kartu undangan, minggu depan kami mengadakan resepsi pernikahan.”
Amala menggeleng kepala, menarik sudut bibirnya ke atas menyunggingkan senyum miring. Adiknya benar-benar sudah berubah, dirinya sampai sulit mengenali.
“Apa maksudmu memberikan foto copy ijazah kepadaku?”
Nirma menarik kembali tangannya, menggenggam erat plastik berwarna putih. Hati dipenuhi oleh rasa kecewa kala sang kakak enggan menerima pemberiannya.
“Nirma hanya ingin menunjukkan bakti kepada mu, Mbak. Berkat Mbak, Nirma berhasil menjadi seorang sarjana. Tolong terima tanda bakti ini!”
“Tidak usah! Aku tidak butuh salinan kertas-kertas itu. Apa yang sudah aku berikan kepadamu, anggap saja sebagai sedekah.”
“Aku bukan pengemis, Mbak! Tega kamu berkata seperti itu!” pekik Nirma, dadanya kembang kempis menahan emosi. Dia tidak terima disamakan seperti pengemis, seolah dirinya begitu rendah.
“Rahang Amala mengetat, sorot matanya begitu tajam. Dia acungkan jari telunjuknya tepat di wajah sang adik.
“Kalau kau memang berniat menunjukkan bakti dan ingin balas budi, bukan duplikatnya yang kau berikan kepadaku, tetapi yang asli. Tindakan mu ini tidak lebih dari sekadar basa-basi. Dari awal kau memang tidak berniat sama sekali.
Tujuan utamamu kesini hanya ingin meminta emas dan menghantarkan kartu undangan. Jadi, jangan berani kau berteriak di depan wajahku, Nirma!”
Sorot mata yang tadi begitu berani, kini bergetar. Nirma menunduk dalam, ternyata sang kakak bisa menebak maksud sebenarnya. “Bukan begitu maksudku, Mbak.”
“Pergilah! Sebelum aku kehabisan rasa sabar.”
“Mbak, mengapa sekarang kamu begitu jahat. Ini masihlah rumahku juga! Tega kamu mengusir ku untuk sekian kalinya. Aku memang bersalah sudah merebut Mas Yasir darimu, tetapi semua itu bukan sepenuhnya salahku. Bisa jadi kalian memang tidak ditakdirkan berjodoh. Tanpa adanya aku pun, hubungan kalian bakalan kandas. Jadi_”
“Hentikan omong kosong mu itu, Nirma! Muak aku melihat dirimu berlakon layaknya wanita tertindas. Alhamdulillah, aku bersyukur tidak berjodoh dengan laki-laki tidak bermoral seperti suamimu itu. Alhamdulillah, aku tidak jadi masuk ke dalam keluarga munafik dan buruk seperti mertuamu itu_”
“Cukup, Mbak! Kau boleh menghina ku, tetapi jangan kau fitnah suami ku apalagi merendahkan keluarganya. Mas Yasir adalah laki-laki yang bertanggung jawab! Dia tidak lari, melainkan begitu berani menikahi. Dan mertua ku itu begitu menyayangi diri ini, mereka rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit demi mewujudkan pernikahan impian ku. Seharusnya Mbak ikutan bersyukur! Berkat mereka, derajat keluarga kita terangkat di mata publik!” dengan begitu berani, Nirma menatap netra coklat sang kakak. Wajahnya dipenuhi binar kepuasan.
“Ha ha ha.” Amala tertawa sumbang. Berulang kali dia menggelengkan kepalanya. “Betapa bodohnya kau, Nirma.”
Amala maju mengikis jarak mereka, dia berdiri tepat satu langkah dari sang adik. Kedua tangannya terlipat di depan dada, ditatapnya lekat wajah sombong saudari kandungnya ini.
“Mertua yang kau banggakan itu, hanyalah wanita picik. Perlakukan mereka ini bukan lagi menjatuhkan derajat keluarga kita, tetapi menginjak-injak martabat almarhum Bapak. Kau begitu naif, seharusnya sebagai seorang wanita yang berpendidikan tinggi, kau menolak diperlakukan tidak adil seperti ini!” cela Amala.
“Pernikahan yang benar itu ialah; Keluarga pihak laki-laki datang kerumah sang mempelai perempuan untuk meminang, meminta izin, berembuk mencari hari baik, melakukan proses lamaran yang benar. Apalagi kita suku Jawa, yang mana sudah menjadi tradisi sebelum hari H, mengadakan siraman, seserahan, pengajian. Namun, tidak satupun yang aku sebutkan tadi dilakukan oleh keluarga Yasir!” Amala menjeda kalimatnya, demi menikmati perubahan ekspresi wajah Nirma yang sekarang seperti mayat hidup, pucat pasi.
“Nirma … Nirma. Kau itu cuma dimanfaatkan! Buka matamu! Sebagai seorang wanita apalagi calon ibu, seharusnya kau belajar untuk berpikir lebih jauh lagi. Yaris itu anak tunggal, tentu saja orang tuanya akan mengadakan resepsi besar-besaran. Tujuannya agar uang yang sudah mereka sumbangkan selama ini ke hajatan di tempat orang lain, kembali lagi ke mereka. Asal kau tahu ... sekarang mengadakan pesta itu sudah menjadi ladang bisnis. Kecuali melarang orang yang datang memberikan amplop ataupun barang!”
“Bohong! Mbak sengaja mau menjatuhkan keluarga Mas Yasir, iya kan?!”
Nirma menggeleng kepala guna melenyapkan kegalauan hatinya. Dia mengusir paksa logika yang hendak menyadarkan dirinya.
“Terserah kau! Sesama wanita, aku hanya kasihan melihat kaumku dibodohi sedemikian rupa,” Amala menghela napas panjang, hatinya begitu lelah berhadapan dengan manusia naif seperti Nirma.
“Aku nggak percaya!” Nirma berlari menuju motornya. Dia meminta sepupunya Yasir, secepatnya memacu kendaraan roda dua mereka.
Begitu motor Nirma tidak terlihat lagi, tubuh Amala limbung, sebelah tangannya menekan kuat batang pohon nangka. Amala terduduk di akar-akar yang menjulur keluar dari dalam tanah.
‘Ya Allah, tolong kuatkan hamba-Mu yang lemah ini,’ batin Amala terus berdoa, dia masih senantiasa menutup mata.
Tanpa Amala sadari, di bawah jendela dapur ada sosok tua yang ikut menangis dalam diam, Mak Syam memukul dadanya. Berharap rasa sesak ini segera pergi, dia mendengar perdebatan kedua buah hatinya.
“Pak … seandainya engkau masih hidup, nasib anak-anak kita pasti tidak akan rumit dan menyedihkan begini, terutama Amala. Anak perempuanmu itu tengah dizalimi saudari kandungnya sendiri. Ibuk harus bagaimana Pak?” Mak Syam bergumam lirih, suaranya begitu parau.
***
Beberapa hari berlalu, kondisi Mak Syam juga sudah kembali sehat. Wanita tua itu bahkan telah bekerja di ladangnya, Amala tidak mampu melarang. Dia paham sang ibu butuh menyibukkan diri agar tidak selalu kepikiran tentang Nirma.
Gosip bertebaran dimana-mana, suara-suara sumbang begitu semangat membahas keluarga Mak Syam. Terlebih resepsi tinggal 3 hari lagi, tetapi pihak keluarga Yasir tidak terlihat mengunjungi rumah orang tua Nirma. Tentu saja hal itu dianggap memalukan, sama seperti aib.
Pihak keluarga Yasir juga tidak ada bertandang, untuk memutuskan tali pertunangan antara Amala dan Yasir secara resmi.
“Amala, jual lah dua ekor Kambing jantan kita! Uangnya belikan emas lalu hadiahkan kepada Nirma,” ucap Mak Syam.
Mereka sedang duduk di samping rumah. Melihat truk yang melintas membawa besi-besi rangka pesta. Keluarga Yasir menyewa jasa dekorasi pernikahan pada Agam. Sungguh perbuatan tidak terpuji, padahal di kampung mereka juga ada tempat menyewa teratak.
“Baik. Kita datang kesana sebagai apa, Mak ...?”
.
.
Bersambung.
jangan kaget siapin jantung karena yang datang bukan nirma melainkan menantu baru