Alya, seorang sekretaris dengan kepribadian "ngegas" dan penuh percaya diri, melamar pekerjaan sebagai sekretaris pribadi di "Albert Group.", perusahaan permata terbesar di kota. Ia tak menyangka akan berhadapan dengan David Albert, CEO tampan namun dingin yang menyimpan luka masa lalu. Kehadiran Alya yang ceria dan konyol secara tak terduga mencairkan hati David, yang akhirnya jatuh cinta pada sekretarisnya yang unik dan penuh semangat. Kisah mereka berlanjut dari kantor hingga ke pelaminan, diwarnai oleh momen-momen lucu, romantis, dan dramatis, termasuk masa kehamilan Alya yang penuh kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zaraaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jawaban yang Dinantikan
David duduk gelisah di salah satu sudut ruangan kantor. Ia terus mengerutkan kening, jarinya mengetuk meja tanpa henti. Anton, yang baru saja selesai menyeruput kopinya, melirik ke arah sahabatnya itu.
"David," katanya sambil mengangkat alis. "Ada apa denganmu? Kau terlihat seperti seseorang yang sedang menunggu surat undangan dari pengadilan."
David mendesah berat, kemudian menatap Anton dengan ragu. "Aku butuh bantuanmu."
Anton menaruh cangkirnya di meja, lalu mendekat dengan senyum penuh minat. "Bantuan apa? Jangan bilang kau ingin aku jadi saksi pernikahanmu."
"Bukan itu," David menggeleng sambil tersenyum tipis. "Aku ingin melamar Alya, tapi… aku ingin melakukannya dengan cara yang unik dan berkesan."
Anton langsung menyeringai. "Oh, jadi akhirnya si David yang tenang ini ingin membuat sesuatu yang besar? Baiklah, izinkan aku memutar otakku."
David memandang Anton dengan penuh harap. "Tapi, jangan terlalu berlebihan, ya."
Anton mengangkat bahu santai. "Berlebihan itu relatif, sobat. Bagaimana kalau kau melamar dia di tengah acara tahunan perusahaan? Panggung besar, semua orang menonton, lampu sorot ke arah kalian. Dramatis banget!"
David menggeleng cepat. "Tidak, itu terlalu ramai. Aku ingin suasana yang lebih intim."
Anton menatapnya, wajahnya penuh pertimbangan. "Kalau begitu, bagaimana kalau kau melamar dia di dalam peti mati? Kau keluar dari sana dengan cincin di tangan, dia pasti kaget dan tidak akan pernah melupakan momen itu!"
David langsung tertawa terbahak-bahak. "Astaga, Anton! Itu terlalu ekstrem. Aku mau dia bahagia, bukan ketakutan."
Anton ikut tertawa sebelum akhirnya menepuk bahu David. "Baiklah, baiklah. Aku serius sekarang. Bagaimana kalau kau melamar dia di tempat pertama kali kalian bertemu? Itu akan jadi momen yang romantis dan penuh kenangan."
David terdiam sejenak, matanya berbinar. "Itu ide yang bagus. Tempat pertama kali kami bertemu… di kafe kecil dekat kantor."
Anton mengangguk puas. "Nah, itu baru ide brilian. Kau tinggal pesan meja, tambahkan bunga, dan mungkin cincin berlian dari koleksi eksklusif perusahaanmu."
David tersenyum lega. "Terima kasih, Anton. Aku akan merencanakannya dengan matang."
Hari itu pun tiba. David membawa Alya ke kafe kecil tempat mereka pertama kali bertemu. Alya sempat bertanya-tanya mengapa David tiba-tiba mengajaknya ke tempat itu, tetapi ia memilih mengikuti saja tanpa banyak bicara. Saat mereka masuk, suasana kafe terasa hangat. Lampu gantung yang temaram memberikan nuansa romantis, dan aroma kopi segar memenuhi ruangan.
"Kafe ini," gumam Alya sambil tersenyum kecil. "Aku ingat. Ini tempat aku menumpahkan kopi ke bajumu di hari pertama kita bertemu."
David tersenyum, menarikkan kursi untuk Alya sebelum duduk di hadapannya. "Benar. Kau bahkan hampir menangis karena merasa bersalah. Tapi, bagiku, itu momen paling berharga."
Alya terkekeh. "Aku tidak menyangka kejadian itu akan membawa kita sejauh ini."
Pelayan datang membawa dua cangkir kopi yang sudah dipesan David sebelumnya. David sengaja memilih kopi yang sama seperti saat pertemuan pertama mereka. Alya memperhatikan detail itu dan tersenyum lebar.
"David," katanya lembut, "kau benar-benar perhatian. Aku merasa ini bukan sekadar makan malam biasa. Ada apa sebenarnya?"
David menarik napas panjang. Ia berusaha menenangkan diri, tetapi tangannya sedikit gemetar saat ia meraih sekuntum mawar merah yang sudah disiapkan di meja. "Alya," katanya, suaranya sedikit bergetar, "ada sesuatu yang ingin kukatakan."
Alya menatapnya, penasaran. "Apa itu?"
David berdiri dari kursinya, lalu berlutut di hadapan Alya. Ia mengeluarkan kotak kecil dari sakunya, membukanya, dan memperlihatkan cincin berlian yang berkilauan.
"Alya," kata David dengan suara penuh emosi, "aku mencintaimu lebih dari apa pun di dunia ini. Kau adalah orang yang membuat hidupku terasa lengkap. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Maukah kau menjadi istriku?"
Alya terkejut. Matanya berkaca-kaca, dan untuk beberapa detik, ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menatap David, yang tampak begitu tulus dan penuh cinta.
"David…" bisik Alya, suaranya bergetar. "Tentu saja, aku mau."
Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya saat ia mengulurkan tangannya untuk mengenakan cincin itu. David tersenyum lega, lalu berdiri dan memeluknya erat. Para pelanggan lain di kafe itu, yang tadinya diam-diam memperhatikan, mulai bertepuk tangan pelan, memberi selamat kepada mereka.
Pemilik kafe, seorang wanita tua yang baik hati bernama Bu Rossi, mendekat dengan senyum hangat. Ia meletakkan secarik kertas kecil di meja mereka. "Ini hadiah dari kami," katanya lembut. "Semoga kalian selalu bahagia."
Alya membaca catatan itu dengan senyum lebar. "Terima kasih banyak, Bu Rossi."
David mengangguk dengan sopan. "Kami sangat menghargainya."
Setelah momen emosional itu, Alya menatap David dengan rasa penasaran. "Bagaimana kau bisa merencanakan ini semua? Bahkan kafe ini, bunga ini… semuanya terasa sangat sempurna."
David terkekeh. "Sebenarnya, ini sebagian besar ide Anton. Dia bilang tempat pertama kali kita bertemu adalah pilihan yang sempurna untuk momen seperti ini."
Alya tertawa, membayangkan Anton dengan ide-idenya yang selalu nyeleneh. "Kalau begitu, aku harus berterima kasih padanya nanti."
David menggenggam tangan Alya di atas meja. "Aku hanya ingin memastikan kau tahu betapa berartinya dirimu bagiku. Aku tidak sabar untuk memulai hidup baru bersamamu."
Alya tersenyum, menatap mata David dengan penuh cinta. "Aku juga, David. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini."
Mereka menghabiskan sisa malam itu dengan berbincang-bincang dan mengenang perjalanan cinta mereka. Di luar, hujan rintik-rintik turun, tetapi di dalam kafe kecil itu, suasana hangat penuh cinta melingkupi mereka.
Di akhir malam, David membawa Alya keluar kafe. Hujan yang turun ringan menyentuh kulit mereka, tetapi mereka tidak peduli. David membuka payung, memayungi mereka berdua sambil berjalan beriringan menuju mobil.
"Alya," kata David pelan, "ini adalah awal dari segalanya. Mari kita buat cerita kita menjadi yang terbaik."
Alya menatapnya, tersenyum lebar. "Denganmu, David, aku tahu segalanya akan sempurna."
Dan di bawah langit malam yang berkilauan dengan rintik hujan, mereka tahu cinta mereka akan bertahan selamanya.