Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 14
Nafisah, Nizam, dan Azzam menghirup udara pengap saat mereka memasuki gedung besar yang tampak megah namun suram. Langit-langit tinggi gedung itu penuh dengan retakan, sementara bayangan-bayangan panjang dari jendela yang pecah menciptakan suasana yang menyeramkan. Suara langkah kaki mereka bergema di sepanjang koridor yang kosong, menambah kesan sepi yang memekakkan telinga. Napas berat Nafisah terdengar, menunjukkan kelelahan dan ketegangan yang tak kunjung mereda.
"Apakah menurut kalian ini aman?" Azzam berbisik, matanya menelusuri setiap sudut ruangan dengan cemas. Jantungnya berdegup cepat, merasakan sesuatu yang tidak beres.
Nafisah, dengan tangan yang sedikit gemetar, menggeser rambut dari wajahnya. "Kita tidak punya pilihan lain. Ini lebih aman daripada di luar," katanya tegas, namun dalam hatinya ia ragu. "Bagaimana kalau di sini lebih berbahaya? Bagaimana kalau kita justru terjebak di sini selamanya?"
Nizam, yang selalu terlihat tenang, mengusap tengkuknya dengan cemas. "Kalau kita tidak berhati-hati, kita bisa berakhir seperti mereka," gumamnya dengan nada gelap, tatapannya tertuju pada jejak-jejak darah yang mengering di lantai. "Ini bukan tempat yang kosong..."
Mereka terus berjalan menaiki tangga berkarat yang berderit di setiap langkah. Nafisah berhenti sejenak, matanya menangkap sesuatu di lantai.
******
Gathan melangkah dengan hati-hati di antara puing-puing yang berserakan di depan rumah Jasmine. Rumah itu, yang dulunya penuh kenangan indah, kini tampak seperti bangunan sunyi dan hancur, dikelilingi oleh bayangan zombie yang berkeliaran. Pandangan Gathan tertuju ke atap, di mana ia bisa melihat sosok Jasmine yang cemas, wajahnya pucat namun masih memancarkan tekad kuat untuk bertahan hidup.
"Jasmine!" serunya setengah berbisik, menahan suaranya agar tidak menarik perhatian makhluk-makhluk di bawah.
Jasmine, yang berjongkok di atap dengan mata penuh waspada, langsung menoleh saat mendengar namanya. Jantungnya berdebar kencang, antara rasa lega dan cemas. "Itu Gathan!" pikirnya. Air mata haru hampir menggenangi matanya, tapi dia tahu ini belum saatnya untuk melepas perasaan.
"Astaga, kau datang... aku pikir—" Jasmine tergagap, suaranya serak setelah berjam-jam menahan ketegangan. "Aku pikir kau... tak akan datang."
Gathan tersenyum kecil, meski hatinya juga diliputi ketakutan. "Aku berjanji kan? Sekarang kita harus segera keluar dari sini." Ia mengamati sekeliling, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menolong Jasmine turun. Pandangannya tertuju pada tali jemuran yang menjuntai dari balkon, yang masih kuat untuk digunakan.
Setelah memastikan tali itu cukup kokoh, Gathan melemparkannya ke arah Jasmine. "Pegang kuat-kuat, aku akan menuntunmu turun," katanya tegas, meski di dalam kepalanya ia terus memikirkan berbagai skenario buruk yang bisa terjadi. "Kalau dia jatuh? Kalau zombie mendengar kita?"
Jasmine mengangguk, tangan gemetarnya memegang tali dengan erat. Dengan napas yang ditahan, dia mulai menuruni tali perlahan-lahan. Setiap gerakan terasa lambat, seolah waktu berhenti, dan suara geraman zombie di bawah semakin membuat jantungnya berdegup kencang.
Saat Jasmine akhirnya menyentuh tanah, Gathan menariknya ke dalam pelukannya. "Kita harus pergi sekarang," bisiknya tajam, matanya mengawasi bayangan-bayangan yang bergerak mendekat.
Tanpa membuang waktu, mereka segera berlari menyusuri gang-gang sempit di sekitar rumah. Suara langkah kaki mereka berpadu dengan suara desisan dan geraman zombie yang semakin mendekat. Reruntuhan bangunan dan mobil-mobil yang ditinggalkan menjadi rintangan di tengah jalan, membuat mereka harus berlari lebih cepat, lebih hati-hati. Peluh mengalir di dahi Gathan, sementara Jasmine terus melirik ke belakang, memastikan mereka belum dikejar.
"Ke mana kita harus pergi?" Jasmine bertanya, nafasnya tersengal-sengal.
"Ke mana pun asal bukan di sini!" balas Gathan, matanya terus memandang ke depan, mencari tempat berlindung sementara. "Semoga saja ada jalan keluar. Kami tak bisa terus begini."
Tiba-tiba, kilatan cahaya terlihat di kejauhan. Cahaya itu menusuk kegelapan malam yang dingin. Gathan berhenti sejenak, keningnya berkerut. "Apa itu?" bisiknya, matanya terfokus pada kilatan yang kini semakin jelas.
"Apa itu tanda pertolongan?" Jasmine bertanya, sedikit harapan muncul dalam suaranya.
Gathan menggenggam tangan Jasmine erat-erat. "Kita tidak punya pilihan. Lebih baik kita cari tahu, daripada mati di sini."
Mereka berdua segera berlari menuju cahaya tersebut, tanpa tahu pasti apa yang menanti mereka di ujung sana. Adakah keselamatan, atau bahaya yang lebih besar?
****
Jalanan itu sunyi, hanya dipecahkan oleh suara langkah kaki Aisyah dan Delisha yang berlari sekuat tenaga. Asap dan reruntuhan berserakan di sekeliling mereka, menggambarkan kehancuran yang melanda kota. Angin dingin berhembus, mengangkat sisa-sisa kertas dan plastik yang tertinggal di jalan, sementara bayang-bayang panjang dari bangunan yang roboh menyembunyikan ancaman di setiap sudut.
Di belakang mereka, suara geraman rendah dan kaki seret terdengar semakin jelas, menandakan kelompok zombie yang terus mengejar. Napas Aisyah mulai tersengal, seolah paru-parunya terbakar. "Aku tidak bisa terus berlari seperti ini," pikirnya.
"Delisha," suara Aisyah bergetar, hampir putus asa. "Aku… aku tidak yakin kita bisa terus seperti ini."
Delisha, yang berada sedikit di depan, menoleh cepat. Matanya yang penuh ketegangan beradu dengan tatapan Aisyah. Dia bisa merasakan kecemasan sahabatnya itu, tapi dia tahu mereka tidak boleh berhenti. Bukan sekarang. "Aisyah," jawab Delisha dengan nada yang penuh tekad, meski keringat membasahi wajahnya. "Kita nggak bisa menyerah sekarang. Lihat ke depan!" Tangannya menunjuk sesuatu di kejauhan, "Kita hampir sampai. Kita harus bertahan!"
Aisyah mencoba memaksa kakinya untuk terus bergerak, meski rasa sakit mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. "Apa kita benar-benar bisa selamat?" pikirnya. Dia melirik ke arah Delisha, kagum dengan ketenangan sahabatnya. Tapi, di dalam kepalanya, Delisha pun bergumul dengan ketakutan. "Aku tidak bisa biarkan Aisyah menyerah. Kami harus menemukan jalan keluar... entah bagaimana."
Ketegangan semakin meningkat saat jarak mereka dengan zombie kian menipis. Bau busuk dari makhluk-makhluk itu menyengat hidung, membuat perut Aisyah terasa mual. Jantungnya berdetak kencang, tidak hanya karena kelelahan tapi juga ketakutan yang terus menghantui pikirannya. "Bagaimana kalau mereka menangkap kami?"
Ketika mereka berbelok di sudut jalan, mata Aisyah bersinar harapan. "Delisha, lihat!" serunya sambil menunjuk ke depan. Di kejauhan, sebuah bangunan berdiri kokoh, terlihat lebih aman daripada apa pun yang pernah mereka temui sejak awal kiamat ini. "Kita bisa berlindung di sana!"
Namun, ketika Delisha memperhatikan lebih seksama, ia melihat gerombolan zombie berkeliaran di antara mereka dan bangunan tersebut. "Tapi Aisyah, lihat... ada puluhan zombie di sana," bisiknya, suara penuh kekhawatiran. Mata Delisha menatap kosong sejenak, mencoba merencanakan langkah selanjutnya.
Aisyah menelan ludah, tubuhnya menggigil bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena ketakutan akan apa yang akan terjadi. "Apa kita punya waktu untuk lari lewat sana?" tanyanya, mencoba tetap optimis meskipun dalam hatinya dia merasa putus asa.
Delisha mengepalkan tinjunya, wajahnya tegang. "Kalau kita lari ke arah mereka sekarang, kita bisa terjebak. Kita harus berpikir cepat..." pikirnya keras-keras, sambil mengamati lingkungan sekitar. "Tidak ada jalan lain... ini pilihan kita. Kita harus memilih antara melawan atau mencari tempat persembunyian sementara."
Di saat itu juga, gerakan tiba-tiba dari sisi kanan menarik perhatian mereka berdua. Pintu sebuah bangunan kecil di sebelah mereka terbuka pelan, mengeluarkan suara berderit yang memecah keheningan. Detak jantung mereka serentak meningkat. Siapa di dalam sana? Atau... apa yang menunggu di balik pintu itu?
Aisyah dan Delisha saling bertukar pandang, ketegangan dan ketakutan tergambar jelas di wajah mereka. Apa mereka akan mengambil risiko ke tempat yang belum mereka ketahui, atau terus maju menuju harapan yang terlihat tapi berbahaya?
******
Langit kota yang penuh asap dan kehancuran tiba-tiba menampilkan kilatan sinyal misterius yang berpendar jauh di atas. Lampu-lampu berkedip, seperti tanda samar harapan di tengah kegelapan yang melanda kota itu. Setiap kelompok yang terpisah mulai memperhatikannya, dan hati mereka dipenuhi pertanyaan—apakah itu tanda kehidupan lain? Ataukah jebakan? Kegamangan menyelimuti tiap langkah yang mereka ambil.
Nafisah, Nizam, dan Azzam duduk di lantai dingin dan berdebu di sebuah gedung tua yang mereka temukan sebagai tempat berlindung sementara. Langit-langit runtuh di beberapa tempat, membuat sinar bulan masuk dengan samar-samar. Napas mereka masih berat, tubuh mereka dipenuhi luka dan keringat dari upaya melarikan diri sebelumnya.
"Apakah kalian melihat itu?" Nafisah mengarahkan pandangannya ke luar jendela retak. Cahaya itu masih berkilauan, membelah gelapnya malam. "Sinyal... mungkin ada orang di luar sana yang bisa membantu kita."
Nizam menarik napas dalam-dalam, meletakkan tangan di lututnya yang gemetar. "Tapi perjalanan menuju sana berbahaya," gumamnya sambil melirik ke arah Nafisah. Mata Nizam dipenuhi kekhawatiran, bibirnya tampak bergetar. Dia bisa merasakan ketakutan yang mencekam pikirannya. "Apakah kita benar-benar ingin mengambil risiko ini?" pikirnya.
"Berbahaya memang," Nafisah menoleh, menatap kedua adiknya. Tatapannya keras dan tegas. "Tapi kita tidak punya banyak pilihan lagi. Kita terjebak di sini dengan zombie yang bisa saja mendobrak kapan saja. Kita harus bergerak. Mungkin mereka, Aisyah dan Delisha, juga melihat sinyal itu. Kalau ada harapan, kita harus mengejarnya," suaranya bergetar penuh keyakinan, meski dalam hatinya, dia merasakan ketakutan yang sama besar.
Azzam, yang sedari tadi diam, akhirnya berbicara. Dia bersandar pada dinding yang lembab, menatap Nafisah dengan tatapan yang tidak mudah terbaca. "Kalau itu jebakan, kita mati," katanya, nada suaranya berat. "Tapi kalau itu bukan jebakan..." Matanya berkedip sekali. "...kita tidak bisa membiarkan mereka sendirian. Kalau ada kesempatan, kita harus ambil risiko."
Nafisah meremas tangannya, jantungnya berdetak kencang. "Azzam benar, tapi kenapa perasaan ini begitu kuat?" pikirnya. Dia menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan ketakutannya. "Kita harus bertemu mereka. Itu saja."
Setelah memutuskan untuk bergerak, mereka mulai menyusuri lorong-lorong gelap dalam gedung itu, berjalan menuju cahaya yang terlihat dari kejauhan. Jalanan di luar sepi dan berbahaya, dengan bayangan yang meliuk-liuk di balik reruntuhan. Setiap langkah terasa seperti perangkap yang siap meledak kapan saja. Suara langkah kaki mereka bergema di antara dinding-dinding kosong.
"Apa menurut kalian, Aisyah dan Delisha juga akan pergi ke arah sinyal itu?" tanya Nafisah, suaranya pelan namun dipenuhi harap.
"Mungkin saja," Nizam menjawab, "Tapi kita tidak tahu pasti. Kita hanya bisa berharap mereka selamat." Dia mengusap dahinya, yang mulai berkeringat dingin.
Tiba-tiba, Azzam yang berada di depan berhenti mendadak. Nafisah dan Nizam menabrak punggungnya. "Apa yang kau lihat?" tanya Nizam dengan bisikan tajam.
Azzam mengangkat tangannya, menunjuk ke arah depan. Dalam keremangan, sebuah siluet misterius muncul, berdiri tegak di kejauhan. Sosok itu terlihat samar, tapi jelas mengawasi mereka. Nafisah merasakan darahnya mendidih, dan tangannya tanpa sadar menggenggam kuat gagang pisau yang ia bawa.
"Siapa itu?" Nafisah berbisik, tetapi suara hatinya berteriak: "Apakah ini akhir dari kita?"
Sosok itu tidak bergerak, hanya menatap mereka dengan intens. Nafisah bisa merasakan ketegangan membangun di dalam dirinya.
"Kita harus putuskan sekarang," bisik Nizam dengan cemas. Detak jantungnya seakan berpacu, hampir menenggelamkan suaranya sendiri.
"Apa kita mendekat atau mencari jalan lain?" Nafisah bertanya, kali ini dengan nada lebih keras, penuh rasa penasaran dan ketakutan.
Sosok itu masih berdiri, tak bergeming. Nafisah merasa ada sesuatu yang aneh... tubuhnya menegang. "Kita tak punya banyak waktu."
Mereka berdiri di antara pilihan hidup dan mati, dihadapkan pada ketidakpastian yang menusuk di malam yang mencekam.