Yasmina Salsabilla atau yang akrab dengan sapaan Billa ini mengalami ketertinggalan dari teman-temannya yang sudah lebih dulu lulus kuliah disebabkan keterbatasan ekonomi dan membuatnya mengambil kuliah sambil bekerja. Akhirnya Billa dibantu oleh pamannya yang merupakan adik kandung dari almarhum ayahnya.
Dikarenakan mempunyai hutang budi, sang paman pun berniat menjodohkan Billa dengan anak salah satu temannya. Dan tanpa sepengetahuan sang paman, ternyata Billa sudah lebih dulu dilamar oleh Aiman Al Faruq yang tak lain adalah dosen pembimbingnya. Bukan tanpa alasan dosen yang terkenal dingin bak es kutub itu ingin menikahi Billa. Namun karena ia tidak mau mempunyai hubungan dengan sepupunya yang ternyata menaruh hati padanya. Aiman pun memutuskan untuk menikahi Billa agar sepupunya tidak mengganggunya lagi.
Bagaimana kisahnya, apakah Billa menerima lamaran dosennya ataukah menerima perjodohan dari pamannya?
Cerita ini 100% fiksi. Skip bila tidak suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisy Faya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggilan telepon tidak jelas
Sejak sepuluh menit yang lalu, Billa perang batin antara menghubungi dosennya atau tidak. Ia sudah menyelesaikan revisian skripsinya dan berniat akan konsul kembali dengan dosen pembimbingnya itu, tapi ia masih ragu untuk bertanya kepada dosennya tersebut, takut akan mengganggu waktu istirahat sang dosen mengingat sekarang sudah malam.
Billa melihat layar ponselnya, disana tertera angka 20.04. Ia kembali membatin jika ini belumlah terlalu malam untuk menghubungi seseorang. Akhirnya ia mengetikkan sesuatu di layar ponselnya dengan wajah sedikit ragu.
“Assalamualaikum, selamat malam pak. Maaf jika saya mengganggu waktu bapak, saya hanya ingin menanyakan apakah besok bapak ada waktu untuk konsultasi skripsi?” Ia memejamkan mata setelah mengirimkan pesan itu, jantungnya berdetak dengan kencang seolah-olah ia telah melakukan kesalahan besar.
Lima menit berlalu, dengan gusar ia memandangi layar benda persegi itu. berharap secepatnya mendapat pesan balasan dari dosennya. Seketika matanya melebar melihat panggilan masuk ke ponselnya, tertera nama “Pak Aiman Dosbing”, ia mengubah posisinya menjadi duduk, tangannya bergetar dan mendadak ia merasakan dingin di sekujur tubuhnya, ia seolah tidak sanggup untuk menggeser ikon berwarna hijau itu untuk menjawab panggilan. Disaat ia sedang menormalkan detak jantungnya, panggilan telepon itu berakhir, membuat ia semakin panik, takut jika dosen pembimbingnya itu akan marah karena ia tidak menjawab telepon.
Belum hilang paniknya, kini ponselnya kembali berdering dan masih menampilkan nama penelepon yang sama, dengan tangan yang dingin Billa mencoba menjawab panggilan telepon itu.
“Assalamualaikum pak.” Billa menahan agar suaranya tidak bergetar.
“Waalaikumsalam.” Suara bariton itu terdengar dari seberang telepon, membuat Billa bergidik mendengarnya.
Billa memberanikan diri untuk bertanya, “Maaf pak, ada apa ya?”
“ Bukankah tadi kamu bertanya kepada saya mengenai waktu konsultasi untuk skripsi kamu.” Billa mengerjap mendengar kalimat yang dikeluarkan dosennya, dalam hatinya ia membatin kesal, “ya balas lewat chat aja kali pak, ngapain pake nelpon segala, bikin orang takut aja”.
“Iya pak, apa bapak ada waktu untuk konsultasi besok?” Billa bertanya dengan ragu dengan intonasi suara yang semakin menurun di setiap katanya.
“ Saya rasa kamu itu tidak pikun kan?”
“Maksudnya pak?” Billa benar-benar bingung menghadapi dosennya yang satu ini.
“Saya sudah mengingatkan kamu untuk tidak memanggil saya bapak, kecuali di depan banyak orang di kampus.” Ucap pria itu datar.
“ Terus saya panggil apa dong pak, kan gak mungkin saya panggil om.” Billa memukul bibirnya yang tidak bisa di rem saat berucap. Ia sudah membayangkan bagaimana ekspresi dosennya itu, pasti sangat mengerikan.
“Kamu mau tidak saya luluskan?” Terdengar suara yang begitu kesal di seberang sana.
“Maaf pak, mulut saya memang sering blong rem nya pak.” Lagi-lagi Billa memukul-mukul bibirnya.
“ Rugi saya menelpon kamu, buat emosi saya naik saja.”
“ Maaf pak, pak halo pak, yah dimatiin teleponnya.” Billa melempar ponsel asal ke atas kasur, kemudian menghempaskan badannya kasar di kasur empuknya.
“ Kenapa sih sama tuh dosen, dia yang nelpon, dia yang marah-marah, kalau gini ceritanya biar tertunda nih Acc sidang gue, argghhhh” Billa mengacak rambutnya kasar.
“Tapi kenapa ya Pak Aiman selalu marah kalo gue panggil bapak, dia maunya gue panggil apa dong, masa iya manggil ibu, kan ga lucu, atau gue panggil sayang aja, pasti gue dijambak.” Ia kembali bermonolog.
Setelah mengumpulkan keberanian, ia akhirnya kembali mengetik pesan untuk dikirimkan ke dosen anehnya tersebut.
“Selamat malam pak, saya minta maaf pak atas kesalahan saya yang sudah membuat bapak emosi.”
Tidak berselang lama, dua centang di pesannya sudah berubah warna menjadi biru yang artinya pesannya telah dibaca oleh dosen tersebut, namun belum ada tanda-tanda jika sang dosen akan membalas pesannya. Satu menit, lima menit, sepuluh menit berlalu namun Billa belum kunjung menerima balasan chatnya.
“Emang rada-rada ya ini dosen, chat gue di read doang gitu.” Billa tak percaya menatap layar ponselnya.
“Gue doain ya pak, semoga bapak nanti akan menemukan jodoh yang menyebalkan tiada tanding, biar kapok bapak.” Billa berbicara ke layar ponselnya.
Dengan kesal yang masih menggunung, akhirnya Billa memilih menyimpan ponselnya di kabinet samping tempat tidur kemudian merebahkan tubuhnya untuk beristirahat. Ia hanya berharap semoga besok sudah ada kabar baik dari dosennya dan menerima konsultasi skripsinya.
***