Dia bukannya tidak sayang sama suaminya lagi, tapi sudah muak karena merasa dipermainkan selama ini. Apalagi, dia divonis menderita penyakit mematikan hingga enggan hidup lagi. Dia bukan hanya cemburu tapi sakit hatinya lebih perih karena tuduhan keji pada ayahnya sendiri. Akhirnya, dia hanya bisa berkata pada suaminya itu "Jangan melarangku untuk bercerai darimu!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Geisya Tin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
“Eh, Deril! Sudah subuh!”
Deril segera bangun dengan wajah yang cemberut. Semalam saat pulang dia mencari Shima di kamar mereka, tapi wanita itu tidak ada. Akhirnya dia menemukan wanita itu di atas sajadah di kamar tamu hingga, terpaksa dia menemaninya tidur di sana. Padahal, dia tidak terbiasa tidur di kamar lain selain kamarnya.
Deril merasa menemani Shima adalah salah satu bentuk pengorbanannya.
“Sebelum kamu pergi, sarapan dulu, ingat kamu punya asam lambung! Biar Candra mengantarmu!” Dia terdengar kesal.
Shima menangkap sesuatu yang ganjil, dia pikir Deril tahu soal penyakitnya. Namun, pria itu hanya mengkhawatirkan dirinya yang memang punya penyakit lambung. Deril tidak tahu kalau ternyata, gejala yang dirasakan Shima bukan karena penyakit itu, melainkan ada penyakit lain dan lebih ganas dari sekedar asam lambung.
“Kenapa kamu buru-buru menyuruhku pergi? Solat subuh juga belum!”
“Jadi, kamu mau tinggal di sini lagi?”
Shina diam karena Deril salah paham lagi.
“Bukan itu maksudku!”
Setelah berkata begitu, Shima turun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi. Dia mengambil air wudhu dan ibadah subuh. Sementara bagi Deril bangun jam lima itu, masih terlalu pagi.
Shima sudah selesai sholat saat melihat pintu kamar kerja Deril yang tidak tertutup rapat. Tempat itu paling keramat baginya saat masih hidup bersama. Deril melarangnya masuk karena di sanalah dia menyembunyikan fakta tentang foto Gani Arta.
Dia tidak tahu apa alasan Deril menyembunyikan tentang fakta itu begitu lama. Lalu, tahu-tahu menuduh ayahnya tanpa mengatakan penyebabnya. Baru saat dia berada di kantornya sepekan yang lalu, Deril membeberkan buktinya.
Shima melangkah dengan hati-hati ke kamar kerja tanpa melepas mukena, dia pikir mungkin ada salinan foto yang disimpan Deril di sana. Dia ingin mengambil bukti itu untuk diserahkan pada Elbara.
Dia melirik ke arah kamar tamu dan Deril masih tertidur pulas.
Namun, setelah beberapa lama mencari, bukti itu tidak ada, laci dan lemari yang ada di sana semuanya terkunci. Nyaris tidak ada yang menjadi petunjuk atas benda yang dicarinya.
Setelah hampir putus asa, matanya menangkap sebuah map yang dia tahu, sebagai surat gugatan cerainya di antara tumpukan buku.
“Kenapa dia belum tanda tangan?” lirih Shima pada diri sendiri. Dia melihat surat yang dibuat bersama pengacaranya itu, ternyata masih belum ditandatangani oleh Deril.
Kalau begitu, kapan surat pengajuan itu bisa masuk ke pengadilan dan entah kapan dia akan mendapatkan surat cerai secara resmi.
Shima marah dan kesal, jarinya menggenggam map itu dengan kuat. Itu tanda kalau Deril sama sekali tidak berniat untuk berpisah, tapi pria itu tidak pernah mengatakan alasannya.
“Apa yang kamu cari?” sebuah suara mengagetkan Shima.
Dia menoleh ke arah sumber suara dan melihat Deril bersandar di pintu sambil menyalakan rokok. Tidak ada kemarahan sama sekali yang terlihat di wajahnya.
Deril sudah memakai piyama beludru warna hitam yang panjang hingga, menutup mata kaki. Penampilan itu membuatnya begitu elegan dan angkuh secara bersamaan. Rambutnya sedikit basah dan acak-acakan, sisa dari air wudhu dan ia baru selesai ibadah.
Deril terlihat begitu tenang dan tidak marah, meski melihat Shima begitu lancang memasuki area terlarang. Dahulu, Shima sering dilarangnya masuk ke tempat itu
Shima justru semakin marah dan berjalan ke arah Deril dengan cepat. Dia lupa tujuan awalnya dan tidak takut akan kemarahan orang yang sudah dianggap sebagai mantan suaminya.
“Berhenti merokok di depanku, Deril!” katanya sambil meraih rokok itu dari bibir Deril.
Dilarang seperti itu, membuat Deril menyeringai tanpa peduli dengan rokok mahalnya yang dibuang Shima ke lantai. Dia meraih pinggang Shima dengan posesif dan memeluknya dengan erat. Shima meronta tapi Deril lebih semangat bahkan, menciumnya.
Setelah selesai mencium, dia tersenyum puas dan berkata, “Kamu masih istriku, jadi aku akan menurutimu! Aku gak akan merokok lagi sekarang!”
Shima membuang muka dan melihat pada map gugatan cerainya. Dia pun berkata, “Kenapa kamu gak tanda tangan?”
Deril mengerti dan melirik surat itu dengan sinis, “Memangnya apa itu penting? Bukan surat tender proyek, kan?”
“Deril! Jangan kekanakan! Lepaskan aku sekarang! Dan cepat tanda tangan!" kata Shima sambil berusaha mendorong tubuh Deril menjauh darinya, tapi usahanya sia-sia.
“Kalau kamu mau aku lepaskan, layani aku dulu, aku merindukanmu, Shima ...!” suara pria itu serak dan terdengar sangat memelas agar Shima mau memuaskannya.
Shima sangat enggan, melihat laki-laki yang pernah menyentuh wanita lain. Apalagi, dia sudah pengalaman, memuaskan Deril di pagi hari sama saja siap melayaninya sampai siang hari. Deril tidak akan selesai hanya satu atau dua jum dan dia akan terlambat pergi bekerja.
Akhirnya, Shima hanya berusaha mengulur waktu dan menenangkan Deril dengan berkata, “Jangan sekarang, aku bisa terlambat nanti, kamu bisa datang ke rumahku, ambil jas dan dasi mu!”
“Ingat, ya! Kamu yang minta!” Deril berkata sambil melepaskan pelukan Shima. Sepertinya dia cukup senang. Dia tidak peduli dengan ucapan Shika yang terkesan ambigu itu.
“Hmm!” Shima hanya berdehem, lalu membereskan berkas yang dia lihat sebelumnya. Tiba-tiba dia merasa dirinya sedang dikejar kembali oleh mantan suaminya sendiri.
“Deril, apa kamu percaya padaku, kalau ayahku gak bersalah atas kematian Kakakmu?”
Mendengar pertanyaan itu, Deril melirik Shima dengan sinis. Lalu, dia menariknya ke luar dari ruang kerja dengan kasar.
“Jangan asal bicara tanpa bukti!” katanya sambil membanting pintu dengan keras.
Brak!
Melihat pintu yang tertutup di hadapannya, Shima hanya menarik napas berat dan berbalik meninggalkan Deril di ruang kerjanya.
Shima pergi dari rumah setelah itu dan Deril masih mengurung dirinya di kamar kerjanya, dia kembali menyalakan sebatang rokok.
Saat sampai di pintu gerbang, dua penjaga saling berbincang membicarakan majikannya di rumah yang mereka jaga.
“Ganti shift hari ini, apa ada yang menarik?” tanya salah satu di antara mereka yang baru datang.
“Ada! Nyonya di rumah sekarang ... dia sudah kembali kemarin, tapi aku melihatnya seperti sedang sakit, Nyonya sangat kurus dan mukanya pucat, aku harap Taun bisa membuat Nyonya sehat lagi!”
“Apa mungkin Nyonya tahu tentang sesuatu, sampai-sampai dia sakit? Aku harap Nyonya segera sadar, betapa Tuan sangat menyayanginya dan Karina hanya wanita yang harus dia jaga karena amanah dari kakaknya!”
“Jangan kamu bilang itu pada Nyonya, kita gak berhak mencampuri urusan mereka, biar bagaimana pun Nyonya hanyalah korban, karena Karina terlalu memanipulasi Tuan!”
“Sudah-sudah, kamu pulanglah!”
Dua penjaga itu berpisah setelah mengucapkan salam. Setelah itu barulah Shima berjalan mendekat.
“Nyonya? Anda mau ke mana pagi-pagi begini?” tanya penjaga yang baru saja memakai seragamnya. Dia membenarkan ucapan temannya yang baru saja pergi, Shima memang terlihat lebih kurus dan pucat.
“Aku mau pergi bekerja.”
Mendengar ucapan Shima, penjaga itu heran, Deril tidak kekurangan uang, tapi kenapa Shina masih harus bekerja.
“Oh, begitu? Apa Anda tidak menunggu Pak Candra? Sebentar lagi dia pasti datang, jadi bisa mengantar Anda pulang!”
“Gak usah, aku sudah pesan taxi online!”
Penjaga tidak bisa berkata-kata lagi, dia membukakan pintu gerbang dan menunduk sopan. Tatapannya kosong ke arah Shima, yang menjauh dengan langkah perlahan.
Shima tidak menuruti Deril yang memintanya untuk sarapan dulu sebelum pergi.
Tak lama berjalan ke sisi jalan, taxi yang dipesan Shima sudah datang. Dia duduk dengan tenang sambil berdzikir, tapi pikirannya masih mencerna ucapan penjaga gerbang, yang bergosip tentang dirinya.
“Benarkah apa yang mereka katakan? Kalau benar, kenapa Deril membiarkannya pergi dari rumah selama setahun? Sebelum itu dia juga tidak menjelaskan apa pun, saat berbulan-bulan di luar negeri mengurus kematian Kak Gani? Justru dia pulang bersama dengan Karina yang sedang hamil besar. Ini sangat gak masuk akal!” gumamnya pada diri sendiri.
Tanpa terasa air mata mengalir di pipinya dan kerinduan pada ibunya begitu besar. Seandainya sang ibu masih ada, tentu dia bisa mencurahkan segala isi hatinya dengan leluasa.
Kerinduan yang sangat menyakitkan adalah, rindu pada orang yang telah pergi untuk selamanya, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain doa.
Suatu saat, kalau rahasia penyakitnya terkuak dan tidak ada yang perlu di tutupi dari mantan suami. Saat itu Shima berharap nama ayahnya sudah bersih. Jadi, dirinya bisa pergi dari dunia ini dengan tenang. Dia akan memilih jalan kematiannya sendiri. Setelah mati, maka dia tidak akan merasakan sakit perut lagi.
Selain itu, takdir kematin tidak ada yang tahu, bukan karena penyakit, kalau Tuhan menghendaki baik Deril atau Shima bisa meninggal kapan saja.
Kalau hal itu terjadi, mungkin penyesalan Deril akan dua kali lipat lebih besar. Namun, sebesar apa pun dia meminta maaf, Shima tidak akan pernah kembali.
Shima segera menghapus pikiran buruknya, saat taxi sudah sampai di depan apartemen. Dia mengganti pakaian dan langsung pergi ke rumah sakit setelah sarapan.
Sementara di rumah Deril, Candra kebingungan mendapatkan laporan penjaga rumah. Dia dengan cepat mencari Deril dan menemukannya sedang duduk melamun di ruang kerjanya.
Candra melihat sobekan kertas berserakan di lantai dan ruang kerja sudah penuh dengan asap rokok.
“Kenapa Tuan begini? Nyonya gak suka asap rokok, kan?” katanya.
“Dia sudah pergi!”
Candra diam sesaat, “Nyonya ...? Nyonya harus bekerja dan harus ke rumah sakit!” Candra berkata sambil memunguti sampah kertas dan membuangnya. Dia tahu kertas apa itu, setelah melihat beberapa tulisan dan tanda tangan Shima di antara sobekannya.
“Dia selalu bilang Si Wisra itu gak bersalah! Apa aku sebaiknya mati juga menyusul Kakak? Candra! Bunuh aku sekarang juga! Biar aku mati nyusul Kakak!"
aku cuma bisa 1 bab sehari😭