Darknight In Jakarta
Suara hiruk-pikuk kota Jakarta bergema di siang hari yang terik. Mobil-mobil berderet di jalan, klakson-klakson saling sahut-menyahut, sementara orang-orang tergesa-gesa melintas di trotoar, menembus keramaian. Di balik gemuruh kota itu, berdiri megah sebuah sekolah modern dengan gerbang tinggi dan dinding kaca yang berkilauan di bawah matahari.
Aisyah melangkah memasuki gerbang sekolah, mengenakan seragam putih abu-abu yang rapi. Wajahnya memancarkan tekad yang kuat. Rambut hitamnya dikuncir sederhana, menambah kesan tenang di balik kesibukannya sebagai siswa berprestasi. "Ini hari biasa," pikirnya, "tapi kenapa rasanya ada yang berbeda?" Ada ketegangan di perutnya yang tak bisa ia jelaskan.
Aisyah menarik napas dalam-dalam saat melewati lorong sekolah, mencoba mengenyahkan perasaan aneh yang membayangi.
“Pagi, Ais!” seru salah satu temannya dari kejauhan, melambaikan tangan. Aisyah membalas senyuman kecil, tapi dalam hati, ia merasa seperti terjebak dalam ritme yang monoton.
“Aku tidak boleh terlalu memikirkan ini,” gumamnya dalam hati.
Di ruang kelas, Aisyah segera disambut oleh Delisha, sahabatnya yang selalu ceria. Wajah Delisha bersinar dengan senyuman lebarnya, seperti biasa, energinya seolah tak pernah habis. "Ais! Akhir pekan ini kita jadi kan ke mall?" tanyanya riang sambil menggoyang-goyangkan tangan Aisyah.
“Tentu saja. Aku sudah janji, kan?” Aisyah tersenyum, meski sedikit dipaksakan. Tatapan matanya sedikit melamun, tapi Delisha terlalu sibuk untuk memperhatikan.
Di sudut kelas, Gathan masuk dengan langkah malasnya, mengguncang rambut kusutnya yang seolah tidak pernah diurus. Dia tersenyum miring, menepuk meja Aisyah. “Hei, kalian udah nyusun rencana? Jangan lupa aku, ya!” ujarnya, lebih sebagai peringatan daripada permintaan.
Aisyah mendengus, menoleh ke Gathan. “Kamu yakin bakal bangun tepat waktu?”
Gathan tertawa kecil. “Kalau aku terlambat, kan kalian bisa belanja duluan.”
"Dia memang selalu begitu," pikir Aisyah, menahan senyuman. Meski tampak malas, Gathan selalu ada ketika mereka benar-benar membutuhkannya. Meski begitu, perasaan aneh di dadanya tak kunjung hilang.
Saat kelas mulai ramai, bel berbunyi, dan suasana seketika berubah menjadi lebih formal ketika Pak Ridwan, guru mereka, melangkah masuk dengan ekspresi serius. “Baik, kelas. Hari ini kita akan membahas topik yang mungkin sedikit di luar kebiasaan,” suaranya bergema di ruang yang mulai sunyi.
Aisyah duduk tegak, memperhatikan dengan seksama. Pak Ridwan memulai ceritanya tentang fenomena aneh yang terjadi di luar negeri. “Ada wabah misterius...,” ucapnya, suaranya melambat, “belum diketahui asalnya, tapi telah menyebar dengan cepat.”
Sejenak, seluruh kelas terdiam sebelum salah satu siswa di belakang tertawa kecil. “Ah, itu pasti cuma hoax, Pak. Media suka melebih-lebihkan,” katanya.
Beberapa siswa lainnya mulai ikut tertawa, menganggap itu tak lebih dari lelucon atau teori konspirasi. Namun, Aisyah tetap diam, matanya menyipit. "Apa benar hanya sekadar sensasi? Kenapa aku merasa... takut?" Ia merasakan ketidaknyamanan yang tumbuh di dalam dirinya, seakan-akan sesuatu yang besar dan gelap sedang mendekat, meskipun ia tak tahu apa itu.
Pak Ridwan melanjutkan, matanya tajam menatap kelas. “Mungkin kalian berpikir ini tidak penting. Tapi, kita tidak boleh meremehkan apa yang terjadi di dunia luar. Kita semua harus waspada.”
Aisyah menelan ludah, tatapannya beralih ke jendela, melihat langit yang cerah, kontras dengan kecemasan yang mulai tumbuh di dadanya. "Apakah aku satu-satunya yang merasa ini aneh?"
Delisha menyikutnya perlahan. “Ais, kamu kok serius banget? Itu cuma berita biasa, santai aja,” katanya sambil terkikik.
Tapi Aisyah tidak bisa menghilangkan firasat buruk itu. "Aku... tidak tahu, Del. Ini terasa aneh. Seperti... sesuatu akan terjadi," jawabnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk temannya.
Gathan, yang tadinya cuek, tiba-tiba menatap Aisyah lebih dalam dari biasanya. "Kamu mikirin apa?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi. “Biasanya kamu nggak begini.”
Aisyah menggigit bibir bawahnya, merasakan detak jantungnya meningkat. "Mungkin cuma perasaanku," jawabnya, mencoba menenangkan diri, meskipun dalam hati ia tahu, ada yang tidak beres.
*******
Jasmine, gadis yang tenang dan artistik, duduk di meja kecil di kamarnya. Tangannya yang lentik lincah menggoreskan pensil di atas kertas, menciptakan dunia imajinasi penuh warna. Sketsa-sketsa bergelantungan di dinding, menghiasi ruangan yang dipenuhi cahaya matahari sore. Namun, meski ruangan itu hangat, ada kesunyian yang menyelimutinya. Jasmine menggigit bibirnya, matanya berkedip lambat seolah merenungkan sesuatu yang jauh di balik kertasnya. “Kenapa akhir-akhir ini aku merasa tidak nyaman?” pikirnya. Seperti ada sesuatu yang mendekat, tapi aku tak bisa melihatnya.
Di sisi lain, Abib berlatih keras di Dojo, gerakan pukulan dan tendangannya menghentak lantai kayu dengan presisi sempurna. Keringat membasahi dahinya, tapi matanya tetap fokus. Setiap pukulan terasa penuh amarah yang terpendam, meski wajahnya tenang.
“Abib, lebih cepat!” seru gurunya, suaranya menggema di ruangan yang kosong. Abib menggertakkan gigi, tangannya semakin cepat menghantam samsak, tapi pikirannya melayang.
"Apa ini perasaan aneh yang sama seperti yang kualami kemarin?" Dia melirik sekelilingnya dengan sudut mata, seolah ada sesuatu yang tak kasat mata mengawasi.
Sementara itu, Arka tenggelam dalam dunia digital. Duduk di depan komputer, dikelilingi berbagai perangkat elektronik, dia mengetik cepat, kode-kode berderet di layar monitor yang menyala. Jarinya bergerak seolah-olah tidak bisa berhenti, namun sesekali, ia berhenti, memasang wajah bingung. "Apa itu suara tadi?" pikirnya. Telinganya menangkap suara samar, seperti dengungan yang datang dari kejauhan, menghilang secepat datangnya. Arka memiringkan kepalanya, mendengarkan dengan saksama. "Mungkin cuma mesin pendingin ruangan…" Tapi firasat buruknya berkata lain, membuat bulu kuduknya meremang.
Waktu terus berjalan. Di kamarnya yang tenang, Jasmine masih fokus dengan gambarnya, tapi matanya sering melirik ke jendela. Suara ketukan samar terdengar dari luar, tapi ketika dia berdiri dan membuka tirai, tak ada apa pun di sana selain kegelapan yang semakin pekat. "Aneh, kenapa aku merasa seperti diawasi?" pikirnya, menelan ludah. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai di luar sana.
Di Dojo, Abib melompat dengan gerakan cepat, kakinya menghantam sasaran dengan keras. Namun di tengah latihan, dia berhenti tiba-tiba, tertegun. Pandangannya terpaku pada sudut ruangan yang gelap. “Ada apa, Abib?” tanya gurunya, keningnya berkerut melihat muridnya mendadak tegang. Abib menggeleng pelan, menarik napas panjang, tapi pikirannya berputar. "Ada yang tidak beres. Aku bisa merasakannya."
Arka, yang biasanya sibuk dengan dunia virtualnya, tiba-tiba tersentak ketika layar komputernya berkedip. Jaringan internetnya mati begitu saja. "Sial..." gumamnya. Dia menekan beberapa tombol, mencoba memperbaiki masalah. Namun, di tengah kesunyian malam, ada rasa gelisah yang mulai merayap di dadanya. "Kenapa semuanya terasa aneh malam ini?" pikirnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Mata Arka menatap kosong ke layar yang gelap, tapi pikirannya jauh, seolah ada sesuatu yang mengusik dari sudut-sudut gelap kamarnya.
Seiring malam semakin larut, suasana berubah drastis. Jasmine terbangun dari tidurnya, merasa ada sesuatu yang memanggilnya. Suara bisikan halus, hampir tidak terdengar, datang dari luar jendela. Dia mengintip ke luar, matanya menyipit berusaha menembus kegelapan. Tidak ada apa-apa, tapi bulu kuduknya berdiri. "Aku pasti cuma bermimpi…" Namun, ketika dia hendak kembali tidur, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Jantungnya berdebar kencang. "Apa itu benar-benar cuma imajinasiku?"
Di rumah Abib, kegelapan menyelimuti seketika saat listrik tiba-tiba padam. Dia baru saja tiba di rumah dari Dojo ketika semuanya menjadi gelap gulita. Jalanan di sekitar rumahnya yang biasanya riuh kini terasa sunyi, hampir mencekam. “Kok bisa mati lampu?” gumamnya, memicingkan mata ke arah jendela. Tidak ada cahaya dari rumah-rumah tetangga, hanya kegelapan pekat. "Ada yang aneh..." Abib merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya.
Arka, masih di depan komputernya, menghela napas frustrasi. Jaringan internetnya tidak kunjung kembali. Dia memeriksa kabel-kabel dan router, semuanya baik-baik saja. "Ini nggak masuk akal," gerutunya, tapi saat dia mencoba memperbaiki, suara asing dari luar rumah menyentak perhatiannya. Suara samar, seperti langkah kaki di atas daun kering. Arka berhenti, napasnya tercekat. "Siapa di luar sana?"
Kota Jakarta, yang biasanya penuh hiruk-pikuk, perlahan tenggelam dalam keheningan yang aneh dan tidak nyaman. Tidak ada satu pun suara klakson atau teriakan orang. Hanya kesunyian yang meresap, semakin dalam, semakin pekat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Kardi Kardi
NEVER GIVE UPPP
2024-10-23
1