Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 20
Udara di dalam gedung tua itu terasa lembap dan berat, baunya seperti kayu lapuk dan debu yang sudah lama tidak tersentuh. Sinar matahari yang memudar menembus jendela-jendela yang sebagian besar pecah, memancarkan cahaya redup yang membuat bayangan mereka terlihat lebih panjang dan menyeramkan. Aisyah dan Delisha adalah yang pertama kali masuk ke dalam gedung, napas mereka masih tersengal-sengal setelah berlari untuk menghindari sekelompok zombie di luar. Keringat mengalir di pelipis Aisyah, namun ia tetap berdiri tegak, berusaha menenangkan dirinya.
"Astaga... akhirnya," gumam Aisyah, tangannya gemetar saat ia merapikan rambutnya yang kusut, mencoba mengendalikan rasa panik yang terus bergejolak di dadanya.
"Apakah mereka ada di belakang kita?" Delisha bertanya dengan napas terengah, suaranya dipenuhi ketakutan yang tertahan.
Sebelum Aisyah sempat menjawab, Gathan dan Jasmine muncul dari arah lain, wajah mereka pucat, terlihat lelah namun lega.
“Kita harus segera berkumpul,” kata Gathan sambil mengamati sekeliling, matanya penuh kehati-hatian. “Tempat ini mungkin aman sekarang, tapi tidak akan lama lagi."
Ketika semua akhirnya berkumpul di dalam ruangan yang sempit, suasana masih terasa mencekam. Dinding-dinding gedung yang retak memberi kesan bahwa bangunan ini bisa runtuh kapan saja. Napas mereka saling bersahutan, satu-satunya suara yang terdengar di antara keheningan yang menghantui.
"Ada sesuatu yang harus kalian dengar," Gathan memulai, matanya memandang tajam ke arah Nafisah, Azzam, dan yang lainnya. Ia terlihat lebih serius dari biasanya, rahangnya tegang, dan ada sesuatu dalam suaranya yang membuat semua orang memperhatikan.
"Apa itu?" tanya Nafisah, duduk di sudut dengan tangan yang meremas lututnya, mencoba menenangkan diri.
"Kami bertemu dengan seorang pria... mantan pekerja laboratorium," Jasmine menambahkan, suaranya pelan tapi terpotong-potong. Matanya berkaca-kaca, penuh dengan rasa takut dan ketidakpastian. "Dia bilang semua ini bukan kebetulan. Wabah ini—zombie ini—hasil eksperimen yang salah."
Mata Nizam membelalak, tangannya mengepal erat di pangkuannya. "Eksperimen?" suaranya bergetar, alisnya berkerut. "Kau serius? Ini... ini lebih buruk dari yang kita kira."
Nafisah menggigit bibirnya, membeku sejenak sebelum berbicara. "Kami juga menemukan sesuatu," katanya, menatap Nizam dan Azzam. "Ada simbol-simbol aneh di beberapa tempat... dan pesan email yang kami temukan. Sepertinya ada organisasi yang lebih besar terlibat dalam semua ini."
"Apa maksudmu?" tanya Arka, yang selama ini duduk diam di sudut, tubuhnya condong ke depan, matanya tak pernah lepas dari Nafisah.
"Aku tidak tahu pasti," Nafisah mengakui, menghela napas panjang. "Tapi organisasi ini... mereka mungkin yang memulai semuanya. Mereka yang bertanggung jawab."
Semua mulai berbicara bersamaan, suara mereka meninggi seiring dengan ketegangan yang meningkat.
"Kita harus keluar dari kota ini sekarang!" desak Azzam, matanya liar, penuh dengan urgensi. "Tidak ada gunanya mencari tahu lebih lanjut! Yang penting kita selamat dulu!"
"Tapi kalau kita lari sekarang, bagaimana kita bisa menghentikan ini?" Nafisah menukas dengan nada tajam, tatapannya menusuk ke arah Azzam. "Jika kita tidak menghentikan mereka, wabah ini akan terus menyebar!"
"Aku setuju dengan Nafisah," tambah Seno, berdiri dan menatap tajam ke arah Azzam. "Kita tidak bisa hanya memikirkan keselamatan kita. Ada sesuatu yang lebih besar di sini."
"Tapi... bagaimana kalau kita semua mati?" Queensha berbisik, tangannya meremas kuat bajunya, tatapannya tertunduk, seolah sedang berperang dengan pikirannya sendiri. "Apa yang terjadi jika kita gagal?"
"Apa kita benar-benar bisa menghentikan ini?" Nafisah berpikir sambil menatap kosong ke lantai. "Apakah aku sedang membuat kesalahan dengan tetap bertahan? Tapi… kalau tidak ada yang melawan mereka, siapa yang akan melakukannya?"
Tiba-tiba, Seno yang berjaga di jendela merasakan sesuatu yang mengganggu pandangannya. Dahi Seno berkerut, matanya menyipit saat ia menatap keluar ke arah jalan yang remang-remang.
"Hei... kalian," bisiknya, suaranya serak, hampir tak terdengar. "Ada... sesuatu di luar sana."
Semua kepala menoleh ke arah Seno. Nafisah berjalan cepat ke arah jendela, rasa cemas merayap di tengkuknya. "Apa maksudmu?"
Seno menunjuk ke luar dengan dagunya. "Lihat. Di sana. Mereka datang."
Saat Nafisah memandang ke luar, jantungnya serasa berhenti berdetak. Di antara kegelapan, bayangan-bayangan mulai bergerak, perlahan namun pasti. Zombie-zombie itu tidak lagi bergerak sembarangan. Mereka berjalan berkelompok, dengan gerakan yang lebih terorganisir.
"Ya Tuhan..." Nafisah berbisik, matanya melebar penuh ketakutan. "Mereka mengepung kita."
Aisyah terdiam, tangannya gemetar saat menyentuh bahu Nafisah. "Kita... kita tidak akan bisa keluar dari sini, bukan?"
"Ini tidak mungkin. Mereka tidak mungkin bisa berpikir seperti itu..." Gathan merasa otaknya berputar, mencoba mencari penjelasan logis. Tapi kalau benar mereka dikendalikan... siapa yang melakukannya?
"Ini buruk," kata Azzam dengan suara serak. Peluh dingin membasahi keningnya, menetes di sepanjang wajahnya. "Kita tidak punya banyak waktu."
"Baiklah, semuanya," Nafisah menarik napas dalam, mencoba menahan ketakutannya. Tangannya mengepal erat, tapi suaranya tegas. "Kita harus bergerak cepat. Kalau kita tetap di sini terlalu lama, kita semua akan mati."
Namun sebelum siapa pun bisa bereaksi, terdengar suara keras dari atap. Semua orang mendongak, mata mereka membelalak, merasakan napas mereka tertahan.
"Astaga..." bisik Delisha, tubuhnya membeku. "Mereka ada di atap!"
Saat bayangan zombie semakin mendekat di luar, gedung tua tempat mereka berlindung terasa semakin sempit. Cahaya senja yang mulai memudar menciptakan nuansa suram di setiap sudut ruangan, dan setiap suara gemerisik membuat mereka semakin waspada. Dinding-dinding yang retak dan atap yang berderak tak menawarkan rasa aman, seolah-olah setiap saat tempat ini bisa runtuh bersama mereka di dalamnya.
"Ayo, kita harus cepat!" seru Arka, tangannya yang besar dengan cepat meraih lemari kayu tua dan menyeretnya ke depan pintu. Otot-otot di lengannya menegang, urat-uratnya tampak menonjol di bawah kulitnya. "Tutup semua akses ke dalam sebelum mereka masuk!"
Wajahnya serius, matanya tajam, dan tanpa banyak bicara, semua orang mulai bergerak mengikuti perintahnya. Rasa takut dan kepanikan masih menghantui mereka, tapi naluri untuk bertahan hidup memaksa mereka fokus.
Aisyah, dengan wajah penuh keringat, menyeret kursi besi yang berkarat ke depan jendela, menutup celah yang menganga. "Apa ini cukup?" tanyanya dengan nada cemas.
"Kita tidak punya pilihan lain," jawab Gathan sambil menghela napas panjang, keringatnya bercucuran. Tangan besarnya dengan cepat meraih batang besi tua, mengujinya sejenak sebelum memutuskan untuk menjadikannya senjata.
"Seberapa lama kita bisa bertahan?" pikir Aisyah, matanya berkaca-kaca melihat kursi besi yang terasa begitu rapuh melawan ancaman sebesar itu. "Aku harus kuat. Tidak ada waktu untuk takut sekarang."
Gathan melangkah maju, matanya menyapu ruangan, menilai situasi dengan cepat. "Kita harus bekerja sesuai kemampuan kita. Nafisah, kamu urus komunikasi. Lihat apa kita bisa mendapatkan sinyal di sini. Queensha, Delisha, lihat apakah ada makanan atau air di gedung ini."
Nafisah, yang terlihat agak pucat, mengangguk. Jari-jarinya gemetar saat ia meraih ponsel yang layarnya retak. "Aku akan mencoba," bisiknya, suara hampir tak terdengar. Ia bergerak ke sudut ruangan, berusaha mencari sinyal dan apa pun yang bisa mereka manfaatkan. Telinganya berdebar, tapi otaknya terus bekerja mencari solusi.
Delisha dan Queensha segera mulai mencari persediaan. Suara langkah kaki mereka menggema di sepanjang koridor kosong, memeriksa setiap ruangan yang mereka lewati. Wajah Queensha tegang, matanya menatap setiap sudut dengan hati-hati, sementara Delisha menggigit bibirnya, tak bisa menyembunyikan rasa takut yang terus menghantuinya.
"Kamu pikir kita akan menemukan sesuatu?" tanya Delisha, suaranya serak.
Queensha berhenti sejenak, matanya menatap langit-langit yang penuh debu. "Aku tidak tahu," jawabnya dengan nada hampa. "Tapi kita harus terus mencoba."
Sementara itu, Azzam, Seno, dan Nizam berjaga di pintu masuk utama. Mereka saling bertukar pandang, mencoba menahan ketegangan yang terus membara. "Kita harus tetap tenang," kata Seno, suaranya rendah tapi tegas. "Kalau kita panik, kita selesai."
Nizam mengangguk, menggenggam erat besi tua yang ia pegang. "Tapi mereka ada di mana-mana..." bisiknya, matanya melirik pintu yang sudah mulai berderak di luar sana.
"Mereka semakin dekat... Kita tidak mungkin bisa menahan mereka selamanya." pikir Nizam, tangannya berkeringat saat memegang senjata. "Aku tidak bisa mati di sini."
Suasana semakin mencekam, dan ketegangan di antara mereka semakin meningkat dengan setiap suara dari luar. Beberapa dari mereka mulai gemetar, sementara yang lain mencoba sekuat tenaga untuk tetap tenang.
Saat semua orang sibuk mengatur pertahanan, tiba-tiba, suara berat dan teratur terdengar dari lantai bawah. Langkah kaki yang berat dan dalam membuat lantai kayu gedung tua itu bergetar. Semua berhenti bergerak. Napas mereka tertahan, jantung mereka berdetak cepat, dan tatapan mereka bertemu, penuh dengan ketakutan.
"Apa itu?" tanya Gathan, suaranya serak, keringat dingin menetes dari dahinya. Ia melangkah ke arah tangga, namun berhenti, otot-ototnya menegang, seperti siap bertarung.
Suara itu terdengar lagi, lebih keras, lebih dekat. Bukan langkah zombie yang tak teratur, tapi langkah yang penuh perhitungan.
"Ini... bukan zombie biasa," Nafisah berbisik, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan yang mencekam.
"Apa yang ada di bawah sana?" pikir Arka sambil menggenggam erat senjatanya, napasnya semakin cepat. "Kita belum siap untuk ini..."
Lalu, tiba-tiba suara berat itu berhenti. Hening.
Semua orang saling berpandangan, wajah-wajah mereka tegang dan pucat. Lalu, terdengar suara langkah yang lain, lebih cepat, lebih panik—dan kali ini, suara itu datang dari dalam gedung, tepat di bawah mereka.
"Astaga... mereka sudah di dalam!" teriak Delisha, matanya melebar, tubuhnya mundur dengan cepat, jatuh ke pelukan Queensha yang sama paniknya.
Aisyah berdiri kaku, tangan gemetar, sementara Arka mengayunkan batang besinya, siap menghadapi apa pun yang muncul dari kegelapan. Udara di ruangan itu seolah membeku, dan hanya suara detak jantung mereka yang terdengar di telinga masing-masing. Mereka menunggu.
"Ini tidak mungkin... kita sudah menutup semua jalan masuk..."