Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Should I Accept It? (1)
Ruangan kantor Jae Hyun, yang biasanya menjadi tempat bekerja dengan suasana profesional, kini terasa lebih berat, hampir sesak. Dinding berwarna netral yang dihiasi dengan lukisan abstrak dan meja kayu besar di tengah ruangan tampak seperti saksi bisu dari percakapan yang tidak biasa. Di seberang meja, Riin duduk dengan tatapan penuh kebingungan dan perasaan campur aduk.
“Menikahlah denganku!” Suara Jae Hyun memecah keheningan. Kata-kata itu sederhana, namun dampaknya seperti petir di siang bolong bagi Riin. Ia memandang pria itu dengan mata membelalak, mencoba memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
“Maaf, tapi saya masih tidak mengerti dengan maksud Anda. Apa hubungannya pernikahan dengan masalah ini?” tanya Riin dengan nada yang menuntut penjelasan. Suaranya bergetar, mencerminkan kebingungan dan ketidakpercayaannya.
Jae Hyun menghela napas pelan, seolah mencoba menenangkan diri sebelum memberikan jawaban. Ia lalu menegakkan tubuhnya, tatapannya serius dan dingin seperti biasanya. “Akan aku jelaskan langsung ke inti permasalahanku. Aku diminta untuk segera membawa kekasihku dan menikah. Jika tidak, maka orang tuaku akan memaksaku untuk mengikuti perjodohan. Dan aku tentu tidak menyukai hal itu,” jelasnya dengan nada tegas.
Riin masih memandangnya dengan ragu, berusaha memahami situasi ini. “Kalau begitu Anda hanya perlu membawa kekasih Anda. Kenapa justru menawarkan sebuah pernikahan pada saya?” tanyanya, nada suaranya semakin tajam.
Jae Hyun menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan sikap santai namun tetap memancarkan aura otoritas. “Jika aku memiliki kekasih, apa kau pikir penawaran ini masih aku ajukan padamu?” balasnya. Ada nada sinis yang tersirat, tetapi juga kejujuran dalam suaranya.
Riin terdiam, mencoba mencerna ucapan itu. Pikirannya melayang sejenak. ‘Apa itu artinya Ah Ri menolaknya?’ pikirnya. Tapi ia segera menggelengkan kepala. Bukan saatnya memikirkan hal itu. Karir dan masa depannya sedang berada di ujung tanduk, dan ia tidak ingin fokusnya teralihkan.
“Sajangnim, pernikahan adalah sesuatu yang sangat penting. Anda tidak bisa menunjuk sembarang orang untuk menikah,” ucap Riin dengan nada yang lebih tegas. Ia berusaha menekan perasaan takut dan kebingungannya.
Jae Hyun menatapnya tajam, bibirnya melengkung sedikit, menciptakan ekspresi dingin yang biasa. “Ini hanya pernikahan kontrak,” ujarnya santai, seolah-olah ucapan itu adalah hal paling wajar di dunia. “Menikahlah denganku selama dua tahun. Dengan begitu, aku anggap kau telah membayar semua kerugian perusahaan akibat kecerobohanmu hari ini. Dan yang paling penting, kau masih bisa tetap bekerja di perusahaan ini.”
Pernyataan itu membuat Riin semakin bingung. “Maaf, tapi aku semakin tidak mengerti jalan pikiran Anda. Apa Anda sedang memanfaatkan kesulitan saya saat ini demi kepentingan pribadi Anda?” nada suaranya kini penuh kekecewaan.
“Hei, yang membutuhkan jalan keluar saat ini bukan hanya aku,” balas Jae Hyun cepat. Nada suaranya terdengar sedikit defensif. Ia tidak terima jika dianggap sedang memanfaatkan keadaan. Baginya, ini adalah solusi terbaik untuk mereka berdua. “Kuberi kau waktu dua hari. Kau terima tawaranku atau kau berhenti dari perusahaan ini,” lanjutnya, kali ini dengan nada yang lebih tegas, hampir seperti ultimatum.
Riin menatapnya dengan mata yang mulai berair. “Dua hari? Apakah itu tidak terlalu cepat? Ini juga berkaitan dengan masa depanku. Aku tidak bisa mengambil keputusan secepat itu,” jawabnya dengan nada penuh emosi.
Jae Hyun terdiam sejenak, seolah mencoba mencari cara untuk membuat gadis itu mau bekerja sama. “Aku tidak memiliki banyak waktu,” katanya akhirnya. Ia memandang Riin dengan tatapan yang lebih lembut, meskipun hanya sedikit. “Selain kau terbebas dari ganti rugi dan risiko kehilangan pekerjaan, aku juga akan memberikan kompensasi yang tinggi setelah kontrak pernikahan selesai,” tambahnya, mencoba membujuk.
Riin menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang kini mulai mengalir. Ia merasa tertekan, dipermainkan oleh keadaan, dan terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Ini bukan soal uang!” serunya, suaranya meninggi, mencerminkan semua frustrasi yang ia rasakan.
Jae Hyun terdiam, tidak menyangka respons emosional itu. Ia menatap Riin dengan pandangan yang sulit ditebak, ada sedikit penyesalan di sana. “Riin-ssi, ini juga bukan hal yang mudah bagiku. Tapi aku mohon, pikirkanlah kembali dalam dua hari ke depan,” katanya, nada suaranya lebih lembut, hampir seperti permohonan.
Riin tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berdiri dari kursinya dan berjalan keluar ruangan. Air matanya masih mengalir, tetapi ia mencoba menegakkan kepala. Di luar, ia berhenti sejenak, memejamkan mata, dan mengambil napas dalam-dalam.
“Apa yang harus kulakukan?” gumamnya lirih, sebelum melangkah pergi dengan perasaan yang campur aduk. Keputusan besar menanti, dan waktu terus berjalan.
***
Kim Seon Ho dan Shin Ah Ri tengah menunggu di meja kerja Riin saat gadis itu kembali dari ruangan Cho Jae Hyun. Ruang kantor itu penuh dengan ketegangan. Cahaya lampu yang memantul di meja kaca menambah kesan dingin, sementara suara AC yang mendengung pelan seolah mempertegas kesunyian yang mencekam. Gadis itu nampak muram, melangkah lesu dengan sisa air mata yang membekas di wajahnya. Seon Ho dan Ah Ri, yang sebelumnya berbincang pelan, langsung terdiam saat melihat kondisi Riin.
"Riin~a, bagaimana?" tanya Ah Ri lembut, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya
"Sajangnim tidak memecatmu, kan?" Seon Ho ikut bertanya dengan nada cemas.
Riin menggeleng pelan sebagai jawaban, seraya terduduk lemas di kursi kerjanya. Pandangannya kosong, seolah seluruh tenaga telah terserap habis oleh pertemuannya dengan Jae Hyun. Pikirannya terus saja mengulang-ulang kalimat yang Jae Hyun ucapkan padanya. Dua pilihan sulit kini tergambar jelas dalam benaknya, seperti jalan buntu tanpa cahaya di ujungnya. Ia berulang kali merutuki dirinya sendiri. Jika saja tadi ia lebih teliti, jika saja ia tidak ceroboh, mungkin ia tidak akan berada dalam situasi ini.
"Riin-ssi, ada apa? Jika Sajangnim tidak memecatmu, kenapa kau terlihat murung seperti itu?" tanya Seon Ho, wajahnya penuh kekhawatiran.
Riin hanya menghela napas berat. Ia tak tahu harus memulai dari mana, atau bahkan apakah ia harus menceritakan semuanya. Tatapannya jatuh ke lantai, menghindari mata Seon Ho dan Ah Ri. "Sajangnim... memberiku pilihan lain. Hanya saja... hal itu terlalu sulit," ujarnya, nyaris seperti bisikan.
"Memangnya apa yang ia tawarkan?" kali ini Ah Ri yang bertanya, rasa penasaran terlihat jelas di matanya. Ia merasa ada sesuatu yang besar sedang terjadi.
Riin menatap Ah Ri sejenak. Ada rasa bersalah yang menggantung di hatinya. Meskipun Jae Hyun yang menawarkan pernikahan, ia merasa seperti merebut sesuatu yang bukan miliknya. Ia tahu perasaan Jae Hyun pada Ah Ri, dan ia tak ingin menjadi penghalang. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan hal ini? Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa ia mungkin harus menikahi pria yang_mungkin saja_mencintai sahabatnya? "Bukan apa-apa. Biar aku yang memutuskannya sendiri nanti," jawab Riin akhirnya, suaranya penuh keraguan. Ia lalu menundukkan pandangannya, mencoba menghindari tatapan keduanya.
"Apa Sajangnim menindasmu?" Seon Ho nampak mulai kehabisan kesabaran. Ia tak tega melihat Riin menanggung beban sendirian. Ia juga merasa bertanggung jawab atas kesalahan yang terjadi hari ini. Ia tahu, jika saja ia bisa lebih sigap membantu, mungkin Riin tak akan berada dalam situasi ini. "Jika kau tak bisa mengatakannya, aku sendiri yang akan menanyakannya pada Sajangnim."
Ah Ri dengan cekatan menahan tubuh Seon Ho yang hendak berdiri. "Jangan gila! Apapun yang kau lakukan saat ini justru akan semakin memperburuk keadaan. Kau tahu bagaimana Cho Jae Hyun saat marah, bukan?"
"Tapi kita juga tak bisa tinggal diam. Riin tak bisa sepenuhnya disalahkan," protes Seon Ho, nada suaranya mencerminkan rasa frustrasi.
"Biar aku yang bicara pada Sajangnim," ujar Ah Ri dengan tegas, mencoba mengambil kendali. "Aku mohon, jangan bertindak gegabah, atau kau akan semakin membuat Riin berada dalam posisi yang sulit."
Seon Ho menggerutu pelan, tapi akhirnya menurut. Ia kembali duduk, meskipun tatapannya masih menunjukkan rasa tidak puas. Riin, yang sedari tadi hanya diam, mengangkat wajahnya perlahan. Matanya yang merah karena menangis menatap mereka dengan rasa terima kasih yang tak terucapkan. Namun di dalam hatinya, ia tahu ini adalah masalah yang harus ia selesaikan sendiri.
***