Mentari dijodohkan oleh ayahnya dengan pria lumpuh. ia terpaksa menerimanya karena ekonomi keluarga dan bakti dia kepada orangtuanya.
apa yang terjadi setelah mentari menikah?
apa akan tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya?
apakah mentari bahagia? atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ristha Aristha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencecar Yanto
"Memangnya ada apa sih? Ini kertas apaan , Dis?" tanya Narti penasaran saat melihat perubahan wajah Gendis menjadi kesal.
Memangnya apa yang harus di kesal kan sih? Kertas ini memang isinya apa?
"Kamu jangan melotot seperti itu, Dis", Narti menyenggol lengan Gendhis lagi.
"Bapak dimana Bu? Biar aku bicara sama dia!" kata Gendis tegas.
"Ya, bapakmu masih mandilah. Memangnya ada apa sih? ngapain kamu ngomong sama dia? Ada perlu apa? Ini kertas apa?" tanya Narti lagi.
Gendis menghela napas panjang, sepertinya mau tidak mau, suka tidak suka... Dia harus mengatakan sejujurnya pada Narti. Ibunya itu harus mengetahui kertas-kertas ini.
"Ibu nggak tahu ini apa?" tanya Gendis memastikan.
"Kayak struk belanjaan gak, sih?" jawab Narti ragu.
Sebenarnya dia bukannya sama sekali tidak tahu, akan tetapi dia ingin kepastian dari Gendis. Sebab Gendis itu anak kuliahan, berpendidikan, jadi tidak mungkin salah. Narti tidak mau mengambil kesimpulan sepihak.
"Ya, memang, Bu. Ini struk belanjaan, dari mall. Tempatnya terkenal, dan dari harga yang tertera saja kita tahu harganya mahal", Gendis menyahut.
"Kalau yang ini apa, Dis? struk belanjaan juga?" tanya Narti pada Gendis, menyodorkan selembar kertas yang nominalnya paling banyak.
"Ini struk dari toko perhiasan, Bu!* jawab Gendis lagi. "Bapak beliin siapa sih? Baju, tas dan juga perhiasan? Sejak kapan dia punya banyak uang?" tanya Gendis lagi .
Selama ini kehidupan mereka di topang oleh gajinya Gendis dan juga Reza, Yanto nyaris tidak pernah memberikan nafkah untuk Narti.
Entah kemana uang gaji laki-laki itu, saat di tanya Narti dan Gendis, Yanto selalu mengatakan gajinya dipotong hutang mereka di koperasi.
Memang dulu Narti dan Yanto sempat berhutang di koperasi untuk pendidikan Gendis, tapi masak sih, hutang itu belum juga lunas? Itu adalah pertanyaan yang sering Narti katakan, tapi Narti selalu marah jika wanita itu mulai mengungkit masalah gaji dan uang.
"Yang pasti bukan beliin Ibu, lah. Sejak kapan bapakmu mau beliin ibu sesuatu? Dari dulu bapakmu itu pelit, medit!" Narti mendengus kesal.
Gendis juga ikutan kesal, jika belanjaan dan juga perhiasan itu bukan untuk Narti, Maka___
"Apa jangan-jangan Bapakmu selingkuh, Dis?" mata Narti membola, ia mengambil kesimpulan dengan cepat. "Duit gak pernah ngasih, eh... tiba-tiba punya struk belanjaan pakaian, tas, sepatu, dan perhiasan. bukan untuk kamu atau ibu, loh. Satu-satunya kesimpulan yang masuk akal, ya bapakmu selingkuh!" pekik Narti lagi.
"Ya, aku juga punya pemikiran seperti itu, Bu!" Gendis menyahut dengan tegas. "Bapak sudah mulai mau main-main kayaknya, sama keluarga pelit, tapi dia berani selingkuh? Wah!" Gendis bertepuk tangan.
"Nggak bisa di biarkan!" Narti gegas beranjak, dan mencari Yanto diikuti oleh Gendis. Kebetulan keduanya melihat laki-laki itu berada di ruangan keluarga, dia tengah menonton televisi.
Narti dan Gendis berdiri berkacak pinggang dengan depan televisi yang tengah menyala, Yanto mengerang kesal serta Putrinya itu dengan mata melotot.
"Kalian apa-apaan sih? Bapak mau menonton Tv, loh!" katanya sambil mendengus.
"Jelaskan dulu, ini apa!" Narti melempar kertas-kertas yang ia bawa ke wajah Yanto, laki-laki itu memejamkan matanya.
Namun, ketika dia membuka mata... Matanya hampir keluar karena melotot sangat lebar, bagaimana bisa kertas-kertas itu ada di tangan istri dan anaknya?.
"K__kok, kertas ini ada di tangan ibu?" tanya Yanto takut-takut.
"Gak perlu banyak tanya kamu, Pak. Sekarang jelaskan pada kami, kamu belanjakan siapa? Siapa yang kamu belikan baju, tas l, sepatu, dan juga perhiasan, hah?" tanya Narti balik, dengan nada nge-gas.
"Jangan coba-coba bohong, Pak. Aku sama Ibu gak bakalan maafin Bapak, kalau bapak berani macam-macam!" Gendis mengancam.
"I____itu.. itu___"
"Kenapa? Gak bisa jawab? Iya?" Narti mengejek. "Susah banget mau jujur? Bilang saja kalau Bapak selingku, dan beliin semua itu untuk selingkuhan, Bapak!" lanjut Narti emosi.
"Ya, ampun, Bu! Kamu kok, nuduh bapak selingkuh, sih? Kamu jangan Suudzon Sam suami, kenapa", sahut Yanto cepat.
"Lalu? Kamu beliin itu semua untuk siapa, Pak? Untu aku? buat Gendis? Mana barangnya?" tanya Narti geram.
"E___eh, itu __"
Yanto menunduk takut, ia tidak bisa melihat wajah Narti dan Gendis. Keduanya membuat dia gemetar, sebab tatapan anak dan istrinya itu seolah hendak menerkam dan mencincang dia saat ini juga.
Disisi lain, Gendis dan Narti semakin tidak sabar. Sepasang ibu dan anak itu saking berpandangan, dan mereka mengambil kesimpulan kalau Yanto sudah mulai berulah.
"Kamu selingkuh sama siapa, Pak? HAH? JAWAB AKU?" Narti berteriak emosi.
"Ya Allah, Bu. Aku gak selingkuh, loh!" jawab Yanto cepat.
"Buktinya sudah ada loh, pak. Masih mau mengelak?" tanya Gendis sambil berkacak pinggang.
"Ya ampun, Nduk. Bapak gak selingkuh", balas Yanto menatap Gendis dengan penuh permintaan pengampunan.
"Lalu, struk-struk itu apa? Bapak membelikan baju, tas, sepatu dan perhiasan Untuk seseorang, loh", Gendis mencecar tanpa lelah.
"Itu sebenarnya punya pak Nurdin, Bu, Dis", jawab Yanto pada akhirnya.
"Hah? Pak Nurdin?" Gendis dan Narti bertanya secara bersamaan.
"Iya" balas Yanto lag.
"Kok bisa , Pak?" Tanya Narti kepo.
Nurdin adalah atasan Yanto, dan juga tetangga mereka, kebetulan Narti dan istrinya Nurdin tidak akur. Mereka berselisih paham ketika mengikuti senam di sanggar senam desa, dan sampai sekarang belum baikan.
"Pak Nurdin selingkuh?" tanya Narti semangat.
Jika benar seperti itu, maka dia punya bahan gosip baru dan bisa membuat rivalnya itu kehilangan muka.
"Inilah dari tadi Bapak gak mau jujur sama kalian, ibu itu suka ikut campur . Takutnya ibu buat masalah sama Bu Yeni, kalau begitu pak Nurdin bisa ketahuan ", keluh Yanto lelah.
"Ya ampun, Pak. Itu bisa ibu jadikan senjata, loh. Soalnya istri Pak Nurdin itu sombong banget, eh taunya suaminya yang sok alim itu
Malah main belakang", ujar Narti sambil tertawa.
"Jangan sampai berita ini bocor ya, Bu. Bapak gak mau ada masalah, janji loh, ya!" Yanto tak menanggapi perkataan Narti, dan malah melempar janji pada istrinya.
"Iya, iya, aman itu", Narti menyahutinya enteng.
"Kalian juga jangan mikir yang aneh-aneh, enak saja menuduh Bapak selingkuh!" Yanto kembali berbicara , dan kali ini Gendis serta Narti hanya bisa nyengir.
...****************...
Rumah Mentari
Saat ini Mentari tengah berada di dalam kamar bersama Dirga, sebenarnya Mentari ingin berbicara dari tadi, tapi ia ragu. Takut Dirga memberikan respon negatif atas topik yang akan dia bicarakan.
Sebenarnya tadi siang Dita memberikan mandat kepada dirinya untuk membujuk Dirga , agar laki-laki itu kembali melakukan terapi. Dita sangat menaruh harapan yang besar kepada menantunya, agar Mentari Bisa membujuk Dirga.
Dirga sudah menghentikan terapinya berbulan-bulan, walaupun dokter mengatakan
kemungkinan Dirga bisa berjalan lagi lumayan besar, tetapi Dirga tidak mau menuruti apa yang dokter katakan.
Alih-alih semangat tetapi agar bisa berjalan lagi, Dirga malah menghentikan tetapi itu dengan dalih ia tidak mau melakukan sesuatu yang sia-sia .
Dita mengatakan kalau Dirga sepertinya tidak mempunyai semangat untuk sembuh, dan Mentari menyetujui hal tersebut.
"Mas, aku mau ngomong sama kamu" kata Mentari dengan penuh hati-hati.
Dirga yang sedang membaca langsung mendongak, dan menatap istrinya itu dengan alis yang terangkat tinggi.
...****************...