Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah salah-satu warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.
Mungkinkah pernikahan itu berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?
•••••
"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara
___--
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 - Kejutan Di Hari Raya
Hari raya tahun ini terasa cukup berbeda, kehadiran Shanum sebagai anggota baru di keluarga Megantara memberikan kesan tersendiri bagi mereka, Azkara terutama. Jika biasanya dia hanya merasakan beberapa jam di hari pertama saja yang dinanti dan istimewa, kali ini Azkara justru sangat menanti hari kedua.
Setelah puas menjalin tali silahturahmi dan bermaaf-maafan dengan seluruh anggota keluarga besar di hari pertama, hari kedua ini mereka akan segera berangkat ke Yogya.
Tidak hanya berdua, tapi Azkara turut memboyong keluarga besarnya yang ada di Jakarta tanpa sisa. Tak peduli mereka berhalangan atau tidaknya, tapi yang jelas sejak H-1 Azkara sudah meminta waktu pada mereka agar bersedia untuk ikut dengannya.
Walau sempat berdebat dengan Zain yang agak tidak setuju karena dia juga memiliki rencana lain di hari kedua, Azkara bersikeras dan memang memaksa tanpa menerima bantahan dari siapapun.
Sengaja dia seniat itu, bahkan rela menjamin akomodasi anggota keluarganya selama di perjalanan hanya demi keinginannya terwujud.
Beralasan agar mengenal dan membangun silahturahmi bersama keluarga istrinya, Azkara dianggap begitu bijaksana di mata opanya. Padahal, tujuan utama Azkara datang ke sana bukan untuk itu, tapi membungkam mulut orang-orang di sana, terutama ibu mertua dan adik iparnya.
Tabiat Azkara yang pendendam dan menjunjung tinggi harga diri sama sekali tidak bisa bisa diubah. Sejak dia remaja hingga dewasa, Azkara masih sama. Alasan utama dia melakukan hal ini bukan karena cibiran dan hinaan yang tertuju padanya, tapi pada istrinya.
Shanum yang dianggap hina oleh tetangga dan diperlakukan layaknya pembantu di rumah itu adalah alasan utama. Selain itu, dia juga datang dengan maksud untuk membuka mata Umi Martika bahwa dia mampu menghidupi Shanum dengan layak.
Tak tanggung-tanggung, Azkara menunjukkan siapa dia dengan kekayaan yang dia miliki. Percayalah, pamer bukanlah diri Azkara sebenarnya. Akan tetapi, untuk membungkam ibu tiri dan adik iparnya yang bersifat seperti langit, Azkara jelas tidak bisa menahan diri.
Demi mencapai tujuannya, Azkara rela membawa serta mobil kesayangan yang baru saja dia beli beberapa bulan lalu. Sebuah tindakan yang sebenarnya Shanum pahami, dan sempat dia larang sejujurnya.
Akan tetapi, sakit hati Azkara agaknya tidak lagi terbandingi sampai dia secongkak ini. Persetan, dia tidak lagi peduli. Dan, apa yang Azkara rencanakan berhasil.
Begitu tiba di kediaman rumah Kiyai Habsyi, tidak hanya Umi Martika dan Sabila saja yang dibuat menganga, tetangga sekitar juga ikutan. Kedatangan Azkara bersama anggota keluarga besarnya sudah seperti kedatangan artis ibu kota, ya memang ada mantan artis di antara mereka.
"Assalamualaikum, Abi, Umi ...."
Sikapnya di hadapan Umi Martika terlihat sangat manis, seolah tanpa dendam dan kedatangannya murni untuk menjalin silahturahmi. Padahal, yang kenyataannya jauh berbeda.
"Waalaikummussalam, ini semua keluargamu, Azka?" balas Umi Martika juga terlihat tak kalah manis, sandiwara dua insan yang sangat amat natural.
Azkara mengenalkan mereka secara sekilas, Kiyai Habsyi menyambut mereka dengan penuh suka cita. Dia juga tidak berpikir jika Azka memiliki tujuan lain datang dengan membawa serta keluarga besarnya.
"Apa kabar Habsyi? Senang bertemu denganmu!!"
"Heih Papa!!" Azkara mencubit lengan papanya lantaran dengan jelas sang papa memanggil Kiyai Habsyi dengan sebutan nama saja.
"Tampaknya putramu terkejut, Evan."
"Hah? Saling kenal?"
Niat hati membuat kejutan, Azkara justru dibuat terkejut dengan fakta yang tengah terjadi saat ini. Kedua orang tua mereka saling mengenal satu sama lain.
"Benar, kami saling mengenal sejak dulu. Papamu donasi aktif di pondok pesantren tempat Abi mengabdi dulunya ... dan selama Abi di sana, Abi yang menjadi perantara, beliau tidak suka disebutkan namanya," jelas Kiyai Habsyi yang membuat semua yang mendengar seketika ber-oh ria.
Sama-sama terkejut ceritanya, dan Papa Evan yang dibahas kebaikannya sontak menunduk karena hal ini adalah rahasia yang dijaga selama bertahun-tahun. Tidak ada satu pun yang tahu, kecuali Mama Mikhayla.
"Masya Allah, tiada kusangka Papa Evan sebaik itu." Mulai, Zean yang terpesona akan sikap kakak iparnya tidak bisa menahan diri untuk tidak memuji.
"Wajar rezekinya mengalir terus, ternyata Kakak kita yang satu ini rajin sedekah," timpal Zeshan turut kagum.
"Tuh, Azka ... coba belajar dari papamu, sesekali sedekah jangan beli mobil melulu."
"Lah?" Mata Azkara membola tatkala dia justru jadi kena getahnya. "Memangnya kalau aku sedekah harus laporan sama Om?"
"Eih, Azka," desis Mama Mikhayla menahan pergelangan tangan putranya yang hampir saja tidak bisa menjaga sikap di hadapan keluarga Shanum usai mendengar ucapan salah-satu omnya.
Siapa sangka, sikap Azkara yang justru terlihat manjanya itu justru semakin menegaskan jika dia bukan anak dari orang sembarangan. "Maaf, Pak Kiyai, Azkara memang agak manja ... karena dia anak bungsu dan ya, gampang emosian juga, tapi percayalah Azkara anak baik kok," ucap Mama Mikhayla merasa tak enak hati.
Kiyai Habsyi yang mendengar penjelasan besannya hanya tertawa pelan. Dia sangat memaklumi, sejak awal tahu bahwa Azkara putra dari Keyvan Wilantara yang dia yakini adalah orang yang menjadi donatur aktif di pondok tempatnya mengabdi dahulu, Kiyai Habsyi sudah menduga menantunya anak baik. Dan, hal itu dia ketahui ketika Azkara ditanya beberapa saat sebelum dilakukan akad nikah.
"Saya tahu dan percaya betul akan hal itu."
.
.
Sebahagia itu Kiyai Habsyi saat ini, tanpa dia ketahui jika di sudut ruangan rumahnya yang lain ada hati yang tengah porak-poranda dan kebingungan tanpa arah.
"Aduh, Umi ... kenapa tidak bilang kalau Kak Azka orang kaya!!"
"Jangan banyak tanya, Sabila, Umi juga tidak tahu."
Setelah beberapa waktu menunggu uminya selesai mendampingi abinya di ruang tamu, Sabila akhirnya punya celah untuk bicara berdua bersama uminya.
Kedatangan Shanum dengan disertai keluarga suaminya tidak hanya membuat mereka terkejut, tapi nyaris pingsan sebenarnya. Sesal, malu, ingin marah dan ya, semuanya jadi satu.
Fakta bahwa Azkara bukan orang sembarangan sukses membuat Sabila kelojotan. Dia bahkan hanya berani keluar sebentar, usai bersalaman segera pamit ke dapur dengan alasan menyiapkan hidangan untuk nanti makan malam.
Padahal, yang terjadi sebenarnya ialah dia berdiam diri di kamar dan merutuki kebodohannya. Pakaian yang berbalut di tubuh Shanum serta perhiasan di jemarinya masih terus terbayang di benak Sabila.
Seolah tidak terima, hatinya benar-benar panas bahkan Shanum bertanya saja tidak lagi Sabila jawab. "Huft, Abi tahu ... mana mungkin Umi tidak," tuduh Sabila justru menyalahkan uminya dan berakhir menjadi sasaran amarah.
"Ck, sudah umi bilang jangan banyak tanya!! Abimu tidak mengatakan apa-apa!!"
Sabila memijat pangkal hidungnya, kepalanya sampai sakit. Sungguh, dia akui bahwa lebaran tahun ini adalah yang terburuk sepanjang sejarah hidupnya.
"Ck, terus kita gimana?"
"Gimana lagi? Satu-satunya cara kita harus tetap bersikap baik pada Shanum, karena dengan begitu maka kita akan diperlakukan baik juga oleh keluarga Azkara," ungkap Umi Martika panjang lebar.
Sabila yang mendengar seketika berdecak sebal, lagi-lagi Shanum dan dia sangat muak. "Kenapa begitu? Bukankah seharusnya dia yang bersikap baik pada kita?"
"Shanum itu bodoh dan ngalir saja orangnya, kalau kita baik maka dia akan melupakan kejadian yang sudah berlalu!! Kamu harus pandai mencuri hatinya, sana samperin ... Umi lihat tadi dia ke kamar, mungkin istirahat," titah Umi Martika pada putrinya itu.
"Oh iya?"
"Iya, cepat samperin!! Seingat Umi kamu belum minta maaf padanya, 'kan?"
"Apa tidak ada cara lain?"
"Tidak, ini satu-satunya ... sudah sana." Sembari mendorong tubuh Sabila keluar kamar, Umi Martika mendesak putrinya menghampiri Shanum untuk meminta maaf secara langsung setelah biasanya Shanum yang memulai.
.
.
- To Be Continued -
kanebo kering manaaaa
gak boleh num-num