Skuel ke dua Sang Pewaris dan sekuel ketiga Terra The Best Mother.
menceritakan keseruan seluruh keturunan Dougher Young, Pratama, Triatmodjo, Diablo bersaudara dan anak-anak lainnya.
kisah bagaimana keluarga kaya raya dan pebisnis nomor satu mendidik anak-anak mereka penuh kesederhanaan.
bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEMARAHAN TERRA
Pagi menjelang, Dahlan mengantar anak-anak bersama Heru, Surya dan Santoso.
Empat pria dengan ketampanan berbeda. Dahlan adalah pengawal senior. Pria berusia mau lima puluh ini masih gagah dan rambutnya tak memutih sama sekali.
Semua anak masuk kelas, begitu juga Gino. Dahlan memilih ikut masuk setelah satu jam pelajaran.
"Eh ... Pak Dahlan, apa kabar?" sapa seorang guru senior yang mengenal pria itu.
"Pak Fildan, Alhamdulillah pak baik!" jawab Dahlan ramah.
Kedua pria itu berjabat tangan. Fildan akan memasuki waktu pensiun. Guru seni era Maisya, Dimas dan Affhan akan berganti dengan guru muda lainnya.
"Pak boleh ketemu sama kepala sekolah?" pinta Dahlan.
"Oh kebetulan Bu Carisa ada di dalam. Silahkan pak!" ujar Fildan.
Dahlan mengangguk, ia pun melangkah menuju ruang guru. Tentu saja hanya ada beberapa guru yang ada di sana.
"Permisi, saya mau ketemu sama kepala sekolah!" ujarnya sambil mengetuk pintu yang terbuka.
"Oh silahkan masuk Pak!" ujar beberapa guru.
Dahlan mengucap terima kasih. Di sana ada satu tempat yang diberi sekat. Perempuan berusia tiga puluhan dengan kerudung coklat tanah dan berkacamata tengah duduk dan membaca serius sebuah laporan di tangannya.
"Bu, ada yang ingin bertemu!" ujar salah satu guru mengagetkan wanita itu.
Kepala sekolah bernama Carisa itu mendongak. Wanita berkacamata itu tertegun melihat pria tampan yang tersenyum datar padanya.
Dahlan yang memang mirip dengan aktor Korea Choi Siwon itu berdiri. Carisa masih setia memandang pria itu.
"Boleh saya duduk?" tanya Dahlan.
"Eh ... ehe ... iya pak! Silahkan!" jawab Carisa kaget jadi gelagapan.
Dahlan duduk, aura tegas dan sangat kuat dipancarkan oleh Dahlan. Sedari tadi ia sebenarnya ingin sekali masuk ke ruang kelas Gino. Tetapi ia mencari tahu dulu siapa wali kelas putranya itu.
Semua perusuh di rumah adalah putranya. Maka jika ada yang mengganggu salah satu atau keseluruhan anak lelakinya. Dahlan tak akan segan-segan mengambil tindakan.
"Bu ... apa ibu tidak mencurigai salah satu pengajar yang sedang berbuat tidak baik pada salah satu murid di sini?" tanya pria itu langsung.
"Apa maksud bapak?" tanya Carisa sambil mengerutkan keningnya.
"Saya merasa putra saya Gino Putra sedang ditekan oleh salah satu guru di sini!" Dahlan langsung pada intinya.
"Bapak jangan sembarangan menuduh tanpa bukti!" tandas Carisa marah.
"Saya bisa menuntut anda dengan pencemaran nama baik!" lanjutnya mengancam.
"Bagaimana jika saya bisa membuktikannya di depan anda kepala sekolah?" tantang Dahlan.
Pria itu tentu sudah menyelidikinya. Bravesmart ponsel sangat membantu pria itu. Ia tersenyum menakutkan hingga membuat perempuan di depannya ketakutan.
Dahlan berdiri, ia menatap jam di lengan kirinya. Anak-anak sudah berhamburan keluar kelas. Harun dan lainnya langsung menuju pengawal untuk pulang.
"Kelas sepi ...," ujar pria itu sambil menoleh sedikit pada Carisa yang ada di belakang Dahlan.
Dahlan keluar ruangan diikuti Carisa, kepala sekolah. Semua kelas sepi tak ada anak-anak. Hanya ada satu kelas, pintunya sedikit terbuka.
"Ayolah Gino!" sentak sebuah suara.
"Kenapa lamban sekali! Ini baru dua lembar soal kau kerjakan!" lanjut suara itu kesal.
Carisa hendak masuk namun sebuah lengan kekar menghalangi. Carisa menatap sosok datar yang memiliki kharisma luar biasa itu. Wanita itu menelan saliva kasar, inti di bawahnya tiba-tiba berkedut.
'Astaga ... hanya melihatnya saja aku bisa memperoleh kepuasan seperti ini!' ujarnya dalam hati tak percaya.
Carisa mengigit kuat bibir bawahnya agar tak keluar suara mende.sah. Wanita itu ingin sekali menarik Dahlan dari sana dan bercumbu di suatu tempat.
"Sial!" umpatnya pada diri sendiri.
"Gino!" bentak Sri di dalam kelas membuyarkan lamunan mesum Carisa.
"Saya lelah Bu," jawab Gino lemah.
"Eh ... masa laki-laki mau nangis!" sentak Sri makin marah.
Uang yang ada di kepala wanita itu sontak lenyap melihat Gino yang pucat. Bocah itu benar-benar tertekan.
"Katanya kamu mau bantu ibu. Ini baru dua, ibu butuh enam soal lagi Nak!" pinta perempuan itu.
"Putra saya tak akan mengerjakan apapun!" ujar Dahlan langsung masuk dan mengagetkan Sri.
Wanita itu buru-buru menyembunyikan kertas jawaban di kolong meja. Ia berdiri hendak mendekati Gino.
"Kan ibu bilang. Ibu nggak butuh bantuan. Kamu sih maksa ... jadi gini kan?" ujarnya pura-pura perhatian pada Gino.
"Abi,' panggil Gino lemah.
"Baby?" Dahlan tampak geram.
Pria itu menatap tajam pada Sri. Wanita itu mundur ketakutan. Carisa menenangkan pria itu.
"Pak ... jangan bertindak gegabah! Mungkin Bu Sri benar. Gino yang ingin mengerjakan soal itu!"
"Diam!" sentak Dahlan pelan namun seperti guntur di telinga dua wanita itu.
"Baby?' Dahlan menoleh, Terra datang sendirian.
Wanita itu memang tak bisa tenang. Ia yakin jika Dahlan tak bisa main tangan pada oknum guru itu.
"Mama," panggil Gino lalu kepalanya terkulai di meja.
"Baby!" teriak Terra dan Dahlan bersamaan.
Terra marah luar biasa. Wanita itu mendekati dua wanita yang ketakutan. Beberapa guru datang untuk melihat apa yang terjadi.
"Kau apakan putraku!" teriak Terra.
Wanita itu mendekati Sri dan melayangkan sebuah tamparan keras, hingga wanita itu terpelanting ke lantai.
Dahlan membiarkan Terra menumpahkan emosinya pada dua wanita itu. Ia memilih mengambil Gino yang pingsan.
Terra juga menampar kepala sekolah yang ternyata ikut andil dalam penekanan pada Gino.
Tak butuh waktu lama sekolah itu kembali jadi sorotan publik. Kisah puluhan tahun lalu kembali terjadi pada keluarga Dougher Young.
"Jadi sekolah ini kembali menjual lembar jawaban ujian?" tanya salah satu wartawan pada pihak penyidik.
"Kami masih memeriksa semuanya!" jawab dewan penyidik.
Carisa dan Sri menjadi tahanan kota. Semua guru diperiksa apakah ada keterkaitan dalam penjualan lembar terjawab itu.
Terra dipeluk oleh Karina. Wanita itu mengucap terima kasih pada Terra.
"Makasih ... makasih kau sangat peduli dengan anak-anak," ujarnya terharu.
"Aku adalah seorang ibu Kak," ujar Terra masih gemetar.
Kejadian puluhan tahun ketika Darren mengalami hal yang sama dengan Gino. Terra memiliki trauma dan ingatan kuat soal itu.
Zhein terduduk di sana. Keluarga besar itu mengajarkan banyak hal. Tetapi, ia masih saja tak mau jauh lebih dekat lagi.
"Baby sudah tidak apa-apa," ujar Lidya setelah memeriksa Gino.
Di kamar, Dahlan memberi banyak petuah pada putranya yang baik hati itu.
"Maaf Abi, telah membuat semuanya khawatir," ujar Gino menyesal.
"Tidak apa-apa sayang. Lebih baik ketahuan sekarang dari pada nanti," ujar pria itu maklum.
"Berbuat baik itu boleh sayang, tapi kamu harus tau berbuat baik itu ada tempat dan orang yang benar-benar membutuhkan," jelas Dahlan.
"Iya Abi ... habis Gino kasian. Ibu Sri pusing sampai menangis pas kerjakan soal. Jadi Gino kasih bantuan," jelas bocah itu.
Ternyata Sri membohongi Gino dengan alasan jika dirinya sedang dimintai pekerjaan menjawab soal-soal. Padahal wanita itu akan menjual hasil jawaban pada oknum orang tua yang menginginkan anaknya naik kelas.
"Sayang ... gimana rasanya menampar wanita tadi?" tanya Virgou pada adik sepupunya.
"Kurang kuat Kak!" decak Terra kesal.
"Ck ... sadar kau nanat sisilan!" desis Virgou.
"Wah ... ahilna ... lada sewet Yan sadhi nanat sisilan!" seru Al Bara bertepuk tangan.
Semua menoleh padanya. Terra kesal pada Virgou. Sedang pria itu memilih kabur sebelum adik cantiknya itu ngamuk.
"Spasa Ata'?' tanya Faza.
"Netnet Teya!" jawab Al Bara menunjuk Terra.
Bersambung.
😁🤭
next?