Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepuluh
"Panggil aku Kak Karin! Bukankah aku terlihat terlalu muda dipanggil Bibi?" kata Karin sambil tersenyum lembut.
Wajar saja jika dia tidak mau dipanggil Bibi karena belum memiliki anak.
“Baiklah, Kakak,” kata Rio sambil membungkuk sopan.
"Kenapa kamu sendirian di sini? Di mana orang tuamu?" Karin bertanya saat melihat Rio berdiri sendirian tanpa ada orang dewasa di dekatnya.
"Aku sedang mencari ayahku. Aku ingin memberinya kejutan," jawab Rio.
"Anak yang pintar. Ayahmu pasti sangat menyayangimu." Karin tersenyum sambil mencubit pipi Rio dengan sayang.
"Di mana ruangannya? Kenapa kamu harus berlarian ke sana kemari?" tanya Karin.
"Ayahku ada di lantai 10. Aku tidak berani naik lift sendirian. Aku takut terjebak seperti di film-film," kata Rio polos dengan aksen khas anak laki-laki seusianya.
Karin tertawa kecil mendengar ucapannya. "Ha ha ha, astaga. Ayo naik lift! Aku akan menemanimu."
Mereka berjalan bersama menuju lift. Rio ternyata mudah bergaul. Baru beberapa menit bertemu, tetapi dia sudah merasa akrab dengan Karin.
“Di mana ibumu?” tanya Karin dengan rasa penasaran, karena anak seusia Rio biasanya masih dalam pengawasan orang tua.
"Ibu sudah pergi setelah membawaku ke sini," jawab Rio sambil tersenyum tipis.
Setelah lift berhenti di lantai 10, Rio menggenggam pergelangan tangan Karin dan menariknya agar mengikutinya.
"Bisakah kamu pergi ke kantor ayahmu sendiri? Aku harus kembali bekerja karena manajer di sini sangat galak," bisik Karin pada Rio.
"Katakan saja pada ayahku agar dia dipecat," Rio berujar sambil tersenyum.
Karin tertawa kecil dan mengusap puncak kepala Rio. "Ah, kamu memang anak yang baik. Nanti aku sampaikan."
"Baiklah. Terima kasih, Kak, sudah mengantarku," kata Rio sambil membungkukkan badannya lalu berlari menyusuri lorong menuju kantor ayahnya.
Karin melambaikan tangan dan segera kembali bekerja. Beberapa hari tidak bekerja membuat tubuhnya terasa pegal-pegal, jadi ia malas-malasan mengerjakan tugasnya.
---
Kantor Raka
“Ayah!” Rio memanggil ayahnya begitu dia membuka pintu.
"Rio! Kau kembali!" Raka segera bangkit dari duduknya dan berjongkok untuk memeluk putranya.
"Ayah, aku sangat merindukanmu," kata Rio sambil berlari memeluk Raka erat-erat.
"Di mana ibumu?" tanya Raka, memperhatikan tidak ada Aeri di belakangnya.
"Ibu sudah pergi. Aku membeli sesuatu untuk Ayah." Rio mengeluarkan sesuatu dari saku mantelnya—sepasang Kokeshi, suvenir khas Jepang yang terbuat dari kayu berukir. Yang satu menyerupai ukiran pria, dan yang lainnya wanita.
"Apakah ini semua untuk ayah?" tanya Raka sambil mengulurkan tangan untuk mengambil Kokeshi tersebut.
"Itu tadinya untuk ibu, tapi dia tidak menyukainya. Aku akan memberikannya kepada seseorang saja." Rio memberikan Kokeshi yang menyerupai wajah pria kepada Raka.
"Untuk siapa?" Raka bertanya penasaran.
"Untuk seseorang yang membawaku ke sini," jawab Rio sambil mengingat-ingat nama Karin, meskipun tidak bisa mengucapkannya dengan jelas.
"Baiklah, sampaikan terima kasihku padanya jika bertemu lagi," ucap Raka sambil membelai rambut Rio dengan lembut.
"Jika aku bertemu dengannya lagi, aku pasti akan mengatakannya," kata Rio sambil mengacungkan jempol.
**"""
Waktu berlalu.
Karin menyusuri trotoar dengan tangan kiri masuk dalam saku kemejanya, berusaha mencari kehangatan di tengah malam yang dingin. Hujan turun perlahan, namun cukup membuat tubuhnya menggigil. Untunglah, pagi tadi ia sempat membawa pakaian hangat.
Dari kejauhan, sebuah mobil tua mendekat, lampunya menyorot ke arah Karin yang sedang menikmati butiran salju yang jatuh di tangannya.
“Karin, ayo naik!” Suara itu familiar, terdengar hangat dan bersahabat. Seorang pria yang seumuran dengannya, Beni, menurunkan kaca jendela, mengundangnya masuk.
Beni sudah menaruh hati pada Karin sejak mereka masih sekolah dulu, meskipun ia tak pernah punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya. Karin menoleh, berharap sekilas bahwa yang datang adalah Raka, tapi begitu melihat wajah Beni, ia menarik napas panjang. Ia tahu bahwa Beni adalah sosok yang baik dan perhatian, tapi sayangnya hati Karin belum berpaling.
“Ah, terima kasih, tapi… aku tidak ingin merepotkanmu, Beni.” Karin mencoba menolak dengan halus sambil menggaruk kepala, merasa sedikit canggung.
Beni tersenyum, meskipun hatinya berdebar kencang. “Karin, sama sekali tidak merepotkan, malah aku senang bisa mengantarmu,” jawabnya gugup.
“Baiklah, aku ikut sampai di depan saja.” Karin akhirnya menyerah dan segera berlari ke kursi penumpang.
Beni mulai mengemudikan mobil sambil melirik ke arahnya. “Kamu masih tinggal di kontrakan, kan?”
Karin menggeleng pelan. “Enggak, sekarang aku tinggal di rumah saudaraku,” jawabnya dengan sedikit tergagap. Ada rahasia yang tak mungkin ia ungkapkan pada Beni.
“Oh, begitu. Di mana itu?” Beni menoleh sebentar, menunggu jawaban.
“Nanti aku beritahu di mana harus berhenti,” Karin menjawab cepat, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ngomong-ngomong, gimana kabar ayahmu? Jean bilang beliau sudah pulang dari rumah sakit.”
“Oh iya, sudah pulih beberapa hari lalu,” Karin menjawab sambil tersenyum tipis. Ia merasakan kehangatan dalam perhatian Beni yang tulus.
“Kamu tahu, kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungiku, ya? Aku akan selalu siap membantu.” Beni menatap mata Karin sejenak, menunjukkan bahwa ia tahu apa yang terjadi dalam keluarga Karin.
“Terima kasih, Beni. Aku sangat menghargainya,” Karin membalas dengan lembut.
Mereka melanjutkan perjalanan dalam hening, hujan masih turun lembut, memberi suasana damai di antara mereka. Setelah beberapa saat, Karin mengangkat topik lain, “Beberapa bulan lagi ada penerimaan mahasiswa baru. Kamu ada rencana daftar?”
“Kalau uangnya cukup, aku pasti mendaftar tahun ini. Gimana dengan kamu?” tanya Beni.
Karin menunduk, ada nada sedih di suaranya. “Aku belum tahu… Kadang iri lihat teman-teman lain masuk universitas, tapi aku harus bertahan dengan situasiku sekarang.”
Beni mendesah pelan. “Semoga tahun ini kita bisa mendaftar bareng. Aku ingin kita bisa terus bersama,” ucapnya tanpa sadar.
Karin mengerutkan kening, menatap Beni dengan heran. “Maksudmu terus bersama?”
“Oh… maksudku, kita kan dulu satu SMA, pasti seru kalau bisa ketemu lagi di kampus yang sama,” jawabnya gugup sambil menggaruk kepala.
Karin tersenyum kecil, mencoba meringankan suasana. “Kamu mau ikut nonton sama aku dan Jean minggu depan? Kami berencana pergi bareng.”
“Oh, tentu saja.” Beni berusaha menyembunyikan kekecewaannya, berharap sebenarnya bisa menghabiskan waktu hanya berdua dengan Karin.
Setelah beberapa waktu, Karin meminta Beni untuk menurunkannya di persimpangan menuju vila. “Rumah saudaraku ada di gang kecil, jadi taksi bisa masuk lebih mudah daripada mobil,” katanya, berharap Beni tidak terlalu banyak bertanya lagi.
°
Di vila.
Ardi, ayah Karin, menatapnya dengan tatapan penuh tanya begitu Karin masuk. “Karin, suamimu di mana?” tanyanya, mendapati bahwa Raka tidak datang bersamanya.
“Eh, dia… sedang ada rapat, rapat penting dengan rekan bisnisnya,” Karin tergagap mencari-cari alasan yang tepat.
Ardi mengangguk, tapi ekspresinya tegas. “Ingat, kau ini bukan cuma istrinya, tapi juga sekretarisnya. Kau seharusnya ikut mengawasi dan mendampinginya.”
“Iya, Ayah. Dia yang memintaku pulang lebih dulu. Sekarang aku mau mandi dulu, ya,” Karin cepat-cepat naik ke lantai atas, mencoba menghindari pertanyaan lebih lanjut.
Dalam hatinya, Karin hanya bisa mendesah panjang. Ia bahkan tidak tahu di mana sebenarnya Raka berada. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa mengikutinya ke mana-mana?
*****
Malam sudah larut. Jarum jam di dinding terus bergerak, menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas. Karin duduk sendirian di ruang tamu, terdiam sambil sesekali melirik ke arah pintu depan yang masih tertutup rapat. Udara malam yang dingin merayap melalui celah-celah jendela, membuat ruangan terasa semakin hening dan sunyi.
Dia bangkit dari sofa, langkahnya perlahan menuju balkon. Di sana, angin malam menyambutnya. Karin merapatkan tangannya di depan dada, mencoba mengusir dingin yang mulai menusuk. Pandangannya mengarah ke garasi yang kosong. Mobil Raka belum ada di sana.
“Ke mana dia?” Karin bergumam pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri, tapi hatinya gelisah. Pikirannya mulai mengembara, membayangkan hal-hal yang tak seharusnya dipikirkan. Hatinya teriris oleh kecemburuan yang muncul entah dari mana. “Pasti dia lagi keluar sama perempuan lain.”
Karin mendesah, merasa kesal pada dirinya sendiri. “Kenapa aku mikirin dia, sih? Ini bukan urusanku,” ujarnya pelan, meski hatinya berkata lain. Rasa khawatir tak bisa ia hilangkan begitu saja, apalagi bayangan tentang Raka yang mungkin sedang bersenang-senang dengan orang lain.
Karin kembali ke dalam, berbaring di sofa, lalu menyalakan televisi. Suara televisi memenuhi ruangan yang sepi, namun sama sekali tak mengusir rasa sepi yang menyesakkan. Dia memejamkan mata, mencoba mengabaikan suara-suara di kepalanya. Namun, semakin dia mencoba, semakin jelas bayangan Raka di pikirannya.
“Kenapa, sih, aku jadi seperti ini?” Karin bergumam, merasa frustasi dengan perasaannya sendiri. Tanpa sadar, ia menggigit bibir bawahnya, menandakan kegelisahannya yang semakin membesar. “Seharusnya aku tidur saja, lupakan dia…”
Dia menarik bantal, menutup kepalanya rapat-rapat, berharap rasa kantuk akan segera datang. Namun, keheningan malam justru membuat perasaannya makin tak menentu.
---
Di sisi lain, malam itu Raka baru saja mengantar Rio pulang. Rencananya, ia akan kembali ke vila secepatnya. Namun, anaknya tampak enggan melepasnya. Bocah itu memandangnya dengan mata memohon, seolah-olah meminta agar ayahnya tetap tinggal.
“Ayah, aku mau tidur sama Ayah malam ini,” kata Rio dengan nada manja.
Raka tersenyum, menepuk kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. “Baiklah, Ayah temani kamu malam ini.” Ia membawa Rio menuju kamar, membaringkannya di atas tempat tidur, lalu menyelimutinya.
Tak lama kemudian, Aeri muncul di ambang pintu kamar. Ia bersandar di sana, memperhatikan interaksi antara ayah dan anak itu.
“Kamu terlalu memanjakannya, Raka. Dia sudah besar, seharusnya dia bisa tidur sendiri,” ujarnya dengan nada yang agak ketus.
Akhirnya, Raka menyudahi cerita pengantar tidurnya dan Rio mulai terlelap. Dia mengulurkan tangan, mengambil selimut di ujung ranjang dan menutup tubuh kecil putranya dengan hati-hati. Dia memperhatikan wajah polos anaknya yang sudah tertidur nyenyak.
Setelah selesai, Raka mengulurkan tangannya mengambil selimut di ujung ranjang, menutup tubuh kecil Rio dengan hati-hati. Ia mengusap kepala anaknya lembut, memperhatikan wajah polos putranya yang sedang tertidur.
Di saat itu, Aeri membuka pintu kamar dan melangkah masuk, mendekat ke Raka.
"Raka... maafkan aku," ucapnya dengan nada lembut sambil berusaha duduk di sampingnya.
Raka menoleh padanya, tatapannya penuh kesabaran. "Kita bicara di luar saja, aku enggak mau Rio terbangun."
Aeri mengangguk dan berjalan lebih dulu menuju kamar mereka. Begitu mereka sampai, Raka mendekati lemari, tapi tiba-tiba Aeri memeluknya dari belakang. Dia menempelkan wajahnya di punggung Raka, lalu mengusap perutnya dengan lembut. Napasnya terdengar berat, menghembuskan kehangatan yang membekas di kulit Raka.
Tubuh Raka terasa tegang, namun ia mencoba mengendalikan diri. Ia memegang tangan Aeri, memindahkannya dari pinggangnya, lalu berbalik untuk menatapnya.
Aeri mulai membuka kancing kemeja Raka perlahan, satu per satu, tanpa melepaskan pandangannya. Raka hanya diam, membiarkan Aeri mengungkapkan perasaannya.
"Raka... aku merindukanmu," bisik Aeri, suaranya nyaris bergetar.
Tanpa menunggu lama, Raka mengangkat tubuh Aeri, membawanya ke tempat tidur. Di sana, Aeri melingkarkan tangannya, tak mau melepaskannya.