Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Leon menatap kedua putri angkatnya yang tengah menikmati makan siang dengan pandangan serius. Ia mengetukkan jemarinya perlahan di atas meja, menarik perhatian mereka. Althea, yang tengah mengunyah potongan sandwich, berhenti sejenak dan menatap Leon sambil mengunyah makanannya, sementara Reina hanya meliriknya tanpa banyak minat.
“Ada tawaran dari perusahaan lain,” Leon memulai dengan nada datar. “Mereka ingin menjodohkan kalian dengan anak bos mereka.”
Reina langsung mendongak, menyilangkan tangan di dada. “Oh, ya? Anaknya tampan atau mirip babi hutan?” tanyanya sinis, sambil mengangkat sebelah alis.
Leon menghela napas panjang. “Sayangnya, pilihan kedua.”
Reina menyeringai tajam. “Bagus. Kasih tahu mereka aku sibuk menikahi diriku sendiri. Lebih baik aku mati kelaparan daripada menikah dengan manusia purba itu.”
Leon hampir tersedak teh yang baru saja diteguknya. “Menikahi dirimu sendiri? Itu ide—”
“—cerdas,” sela Reina cepat dengan nada penuh kemenangan. “Aku tahu, Ayah. Tidak perlu memujiku.”
Althea yang sejak tadi hanya diam, tiba-tiba ikut bersuara sambil mengangkat ponselnya, memperlihatkan layar yang menampilkan gambar karakter anime pria tampan. “Ayah, aku belum bisa move on dari pacarku.”
Leon melirik layar itu dengan ekspresi datar. “Pacarmu seorang... anime?”
Althea mengangguk mantap sambil tersenyum cerah. “Dia sempurna, Ayah. Tidak ada manusia yang bisa menyainginya.”
Leon memijat pelipisnya, berusaha menenangkan diri. “Pilihan bagus,” ujarnya akhirnya dengan nada sarkastis. “Kalau begitu, aku akan kirim bom sebagai ucapan terima kasih kepada mereka.”
Reina terkekeh pelan sambil meraih gelas minumnya. “Ide bagus, Ayah. Pastikan bomnya berisi pesan, ‘Kami tidak butuh manusia purba di keluarga ini.’”
Leon menatap putrinya dengan pandangan lelah. “Aku benar-benar butuh liburan dari kalian berdua.”
Althea dan Reina saling melirik sebelum tertawa bersamaan, sementara Leon hanya menghela napas panjang, mencoba menahan rasa frustrasinya.
Leon akhirnya bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ruang kerjanya sambil membawa cangkir tehnya. Namun sebelum benar-benar keluar dari ruang makan, ia berhenti sejenak dan berbalik menghadap kedua putrinya.
“Oh, dan satu lagi,” ucapnya dengan nada datar, “Kalau kalian benar-benar berniat menikahi anime atau diri sendiri, setidaknya pastikan kalian bisa menghasilkan uang lebih dari cukup untuk hidup tanpa bergantung padaku.”
Reina menyeringai sambil menopang dagu dengan tangan, “Tenang saja, Ayah. Aku cukup pintar untuk mencuri resep rahasiamu dan menjualnya ke pasar gelap.”
Leon memandangnya dengan ekspresi campuran antara jengkel dan tak percaya. “Resep rahasiaku? Memangnya aku ini koki?”
Reina mengangkat bahu dengan santai. “Bukan, tapi aku yakin banyak yang mau membayar mahal untuk tahu bagaimana caramu bertahan hidup dengan dua anak seperti kami.”
Leon memutar bola matanya sebelum mengarahkan pandangannya ke Althea. “Dan kau, apa rencanamu untuk masa depan, selain menikahi gambar 2D?”
Althea menyeringai kecil, sambil menunjuk Reina dengan ibu jarinya. “Rencanaku? Jual Reina ke pelelangan. Aku yakin harganya tinggi karena mulut pedasnya cocok jadi hiburan orang kaya.”
Reina langsung menoleh tajam ke arah Althea. “Oh, jadi sekarang kau sudah berani bicara besar, ya? Kau lupa aku tahu semua rahasia gelapmu?”
Althea memiringkan kepala, pura-pura bingung. “Rahasia apa, Kak? Yang tentang kau menampar preman di jalan karena dia mengomentari rambutmu? Atau waktu kau hampir membakar dapur karena mencoba masak telur setengah matang?”
Reina mendengus kesal, sementara Leon hanya bisa menggelengkan kepala. “Kalian berdua ini benar-benar masalah. Aku seharusnya diberi penghargaan karena berhasil bertahan hidup selama ini.”
“Penghargaan untuk apa, Ayah?” goda Reina, menahan tawa. “Untuk menjadi ayah dengan toleransi terbesar terhadap kebodohan?”
Leon menatapnya dengan tajam. “Bukan. Untuk ayah yang tidak membuang anak-anaknya ke panti asuhan meskipun sering dihina.”
Reina dan Althea tertawa terbahak-bahak, sementara Leon akhirnya melangkah keluar ruangan dengan napas berat, bergumam pelan, “Mungkin aku benar-benar harus mempertimbangkan pensiun lebih awal.”
✨
"Leon, aku dengar kabar dari Althea kalau kau sedang terluka," suara Alan tiba-tiba memecah kesunyian di ruang tamu. Pria itu menerobos masuk tanpa permisi, wajahnya penuh kecemasan seperti seorang dokter yang mendengar pasiennya kritis.
Leon yang sedang sibuk dengan ponselnya, mendongak dengan alis terangkat. "Aku tidak terluka," jawabnya singkat, tatapannya langsung berubah penuh kecurigaan. Lalu ia mendongakkan kepala lebih jauh ke arah tangga. "Althea!" panggilnya dengan nada berat.
"Ya, Ayah!" suara Althea terdengar nyaring dari lantai atas, disusul oleh bunyi langkah cepat menuruni tangga. Gadis itu muncul beberapa detik kemudian, dengan dandanan cosplay yang lengkap: wig biru cerah, baju prajurit fantasi, dan bahkan pedang plastik besar yang tergantung di punggungnya.
Leon memandang anak angkatnya dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan dingin yang hanya bisa diartikan satu hal: sarkasme. "Kau benar-benar tidak mengecewakan, ya, Thea. Aku terluka... di harga diri sebagai ayah saat melihat anakku berdandan seperti badut karnaval."
Althea langsung mengangkat pedang plastiknya dengan gaya dramatis. "Ayah, ini bukan kostum badut! Ini adalah prajurit suci dari anime favoritku! Lagipula, om Alan terlihat khawatir. Lihat, dia bahkan datang seperti pahlawan yang ingin menyelamatkanmu!"
Tatapan Althea langsung berbinar saat melihat Alan yang masih berdiri, wajahnya seperti menemukan mangsa empuk. "Wah, kebetulan Om mampir kemari," ucapnya dengan seringai penuh arti yang membuat Alan mundur setengah langkah.
"Apa lagi kali ini?" tanya Alan dengan nada waspada, menatap gadis itu seperti dia sedang memegang rencana jahat yang sudah matang.
Althea tidak menggubris kewaspadaan Alan, malah mendekat dengan langkah ringan, wajahnya ceria. "Bagaimana kalau Om dandan jadi karakter pria favoritku? Pasti cocok banget!" katanya, sambil menatap Alan dari atas sampai bawah dengan antusias.
Alan mengerutkan kening, jelas mulai tidak nyaman. "Karakter pria favoritmu? Tunggu... apa maksudmu cosplay? Tidak, tidak, aku tidak akan—"
"Om, dengar dulu!" potong Althea, sambil mengangkat tangan seperti seorang guru yang hendak memberi pelajaran penting. "Kau tinggi, gagah, dan wajahmu lumayan... yah, kalau dipoles sedikit, kau bisa jadi karakter utama anime favoritku! Kau pasti akan terlihat keren dengan rambut putih dan mantel hitam panjang."
Leon, yang duduk di sofa sambil mengawasi interaksi mereka, akhirnya membuka suara dengan nada sarkastis. "Kau ingin dia terlihat seperti karakter anime atau vampir yang baru bangkit dari kubur?"
Althea hanya terkikik, mengabaikan komentar ayah angkatnya. "Keduanya bagus, Ayah!"
Alan memijat pelipisnya, jelas menyesali keputusannya datang ke rumah itu. "Althea, aku ke sini untuk memastikan Ayahmu baik-baik saja, bukan untuk jadi boneka cosplaymu."
"Tapi Om pasti cocok!" desak Althea dengan mata berbinar, lalu menoleh pada Leon. "Ayah, Om Alan pasti setuju kalau Ayah mendukung ideku, kan?"
Leon hanya mengangkat bahu dengan datar. "Kalau dia setuju, aku akan membayar dia untuk segera keluar rumah ini sebelum dia lebih terlibat dengan keanehanmu."
"Om Alan, ayo, ini hanya sekali seumur hidup!" ujar Althea dengan nada memohon, sambil memasang ekspresi penuh harapan.
Alan akhirnya mendesah panjang, jelas sudah menyerah pada kegigihan gadis itu. "Baiklah... tapi kalau aku terlihat konyol, kau harus ingat ini akan menjadi pertama dan terakhir kalinya."
Althea bersorak kegirangan, berlari ke kamarnya untuk mengambil perlengkapan cosplay, sementara Alan memandang Leon dengan pandangan memelas. "Aku pasti akan menyesali ini."
Leon hanya tersenyum tipis, mengangkat cangkir tehnya. "Kau sudah menyesali ini sejak pertama kali berteman denganku."
Beberapa menit kemudian, Althea kembali dengan tangan penuh perlengkapan cosplay—mantel hitam panjang, wig putih, sarung tangan kulit, bahkan lensa kontak merah. Alan memandang tumpukan benda itu dengan tatapan penuh duka.
“Althea,” ucap Alan sambil menunjuk wig putih yang berkilauan di tangan gadis itu, “aku bukan badut sirkus.”
“Tentu saja bukan, Om! Om lebih mirip pangeran kegelapan,” sahut Althea sambil tersenyum ceria.
Leon, yang masih duduk di sofa sambil membaca koran, mendengus sambil menyisipkan komentar tajamnya. “Pangeran kegelapan? Maksudmu lebih seperti penjahat figuran yang mati di episode pertama?”
Alan menatap Leon tajam. “Kau tidak membantu.”
Leon hanya mengangkat bahu tanpa rasa bersalah. “Aku tidak diminta membantu. Aku di sini hanya untuk menonton drama gratis.”
Althea mendekat ke Alan, meletakkan mantel hitam di bahunya dengan hati-hati. “Ayo, Om, berdiri di depan cermin! Lihat saja, hasil akhirnya pasti luar biasa!”
Alan mendesah panjang, tapi akhirnya berdiri. “Baiklah. Tapi kalau aku terlihat seperti vampir gagal, aku keluar dari rumah ini dan tidak kembali.”
Saat Alan mengenakan mantel dan wig putih, Althea mengatur posisinya di depan cermin besar di ruang tamu. Matanya berbinar ketika Alan akhirnya memandang refleksinya sendiri.
“Om Alan!” seru Althea dengan nada kagum. “Kau benar-benar cocok! Lihat, ini sempurna!”
Alan menatap dirinya di cermin dengan ekspresi bingung. “Aku terlihat seperti—”
“Seperti karakter anime yang keren!” potong Althea sebelum Alan sempat menyelesaikan kalimatnya.
Leon mengintip dari balik koran dan langsung tertawa kecil. “Keren? Itu lebih seperti pahlawan yang gagal menyelamatkan dunia. Kau lupa memberi dia pedang plastik untuk melengkapi penampilan itu.”
Alan memutar matanya. “Aku bersumpah, Leon, suatu hari aku akan membalas semua ini.”
“Tentu saja,” balas Leon dengan nada santai. “Tapi untuk saat ini, nikmati peran barumu sebagai figuran dalam fantasi aneh Althea.”
Althea hanya terkikik sambil mengambil ponselnya. “Baiklah, Om Alan, pose sekarang! Aku harus mengambil foto untuk dokumentasi!”
Alan menatap Althea tajam. “Foto? Althea, jangan berani-berani mengunggah ini ke mana pun.”
“Oh, tentu saja tidak, Om. Ini hanya untuk koleksi pribadi kok,” sahut Althea dengan senyum polos yang sama sekali tidak meyakinkan.
Leon menyandarkan tubuhnya ke sofa, menikmati pemandangan itu seperti sedang menonton komedi langsung. “Koleksi pribadi? Tunggu saja, Alan. Sebentar lagi foto itu akan jadi meme di seluruh internet.”
Alan hanya menghela napas panjang, menyesali setiap keputusan yang membawanya ke titik ini.
✨
"Brakkk!!"
Leon segera bergegas keluar rumah setelah mendengar suara keras yang memecah kesunyian. Begitu sampai di depan, ia hanya bisa menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. Di hadapannya, sebuah mobil sport milik Alan tampak dengan bumper depan remuk. Althea dan Alan menyusul tak lama kemudian, namun pemandangan itu langsung membuat Alan membeku sejenak sebelum meluncur ke mobilnya dengan tangisan penuh drama.
“Mobilkuu!!” jerit Alan histeris, memeluk kap mobil yang penuh goresan sambil terisak. “APA KAU TAHU BERAPA HARGA MOBIL INI, REINA?! INI BUKAN MAINAN! INI MAHKOTA HIDUPKU!”
Leon mengalihkan pandangan pada Reina yang berdiri beberapa meter dari sana, cengengesan sambil memegang kunci mobil. Gadis itu mencoba mengelap noda di cat mobil dengan tisu basah yang jelas tidak membantu sama sekali.
“Reina,” suara Leon datar dan penuh tekanan, “apa kau tahu cara mengemudi sebelum memutuskan untuk drifting?”
Reina mendongak dengan wajah canggung. “Tenang, Yah. Aku nonton tutorialnya dulu di TikTok. Kata mereka gampang.”
“Dia nonton TikTok?!” Alan berteriak lebih keras, air matanya hampir memercik ke mobil. “Dan kau membiarkan dia menyentuh mobilku?!”
Leon menatap Alan dengan dingin. “Aku bahkan tidak tahu dia menyentuh mobilmu sampai aku mendengar suara ‘bruk’ dari depan rumah.”
“Itu bukan bruk, Ayah,” potong Reina, suaranya berusaha santai meskipun jelas gugup. “Itu lebih ke gedebuk. Aku cuma... yah, sedikit terlalu cepat masuk tikungan. Mobilnya nggak biasa dengan kecepatanku.”
Alan semakin histeris. “Mobilnya nggak biasa?! Ini mobil performa tinggi! Kau bahkan nggak biasa dengan... REM!” jeritnya sambil memegang kepala, seolah sedang mengalami tragedi terbesar dalam hidupnya.
“Om Alan, kau terlalu berlebihan,” ucap Althea mencoba menenangkan. “Kalau tidak mau mobilnya lecet, kenapa tidak beli tank saja?”
Alan memutar tubuhnya ke arah Althea, menatapnya dengan air mata berlinang. “TANK?! Apa aku terlihat seperti kolektor militer?!”
“Kalau tank, Reina nggak mungkin bisa drifting,” lanjut Althea polos, membuat Alan semakin ingin pingsan.
Leon memandang ke arah langit dengan penuh kelelahan, lalu berkata pada Reina. “Kembalikan kunci mobil Alan, sekarang. Dan kau,” lanjutnya sambil menatap Alan yang masih meringkuk di samping mobil, “mobil itu masih bisa diperbaiki. Berhenti drama.”
“Tentu saja masih bisa diperbaiki,” jawab Alan, suaranya setengah patah. “Tapi aku juga perlu memperbaiki harga diriku setelah ini.”
Reina tersenyum tipis sambil menyerahkan kunci mobil pada Alan. “Om Alan, maaf soal mobilnya. Kalau mau aku bisa bikinkan video permintaan maaf. Viral, lho.”
Leon hanya bisa menutup wajah dengan telapak tangannya sambil menghela napas panjang. “Tuhan, beri aku kekuatan untuk bertahan dengan dua anak ini.”
Alan berdiri dengan gemetaran, menatap Reina yang masih tampak santai meski baru saja menghancurkan “mahkota hidupnya.” Dengan suara bergetar, ia menunjuk ke arah gadis itu.
“Reina,” katanya, “kau benar-benar musuh bagi seluruh investasi hidupku. Kau tahu itu, kan?”
Reina hanya mengangkat bahu, lalu dengan santai berkata, “Om Alan, investasi itu harus fleksibel. Mobil cuma benda, nggak usah terlalu cinta. Kata influencer keuangan, diversifikasi aset itu penting.”
“DIVERSIFIKASI?!” Alan hampir tersedak mendengar jawabannya. “Kau bahkan tidak tahu arti kata itu, Reina!”
Althea yang sejak tadi hanya menonton tiba-tiba tertawa kecil. “Om Alan, sepertinya mobil Om lebih baik diupgrade lagi kalau mau Reina kendarai. Tambahkan teknologi anti-hancur atau self-driving.”
“ALTHEA! Jangan ikut-ikutan menghina teknologinya!” Alan berteriak dengan wajah yang sudah memerah seperti tomat.
Leon akhirnya memotong keributan itu dengan suara datar, “Alan, cukup. Mobil itu bisa diperbaiki. Kau juga butuh istirahat. Kalau kau terus begini, aku harus mencari psikolog untukmu.”
“Tapi, Leon! Ini bukan tentang mobil saja!” Alan mulai meratap lagi. “Reina adalah ancaman bagi kemanusiaan! Dia merusak semua yang dia sentuh! Mobil, kedamaian, bahkan hidupku!”
Reina menyeringai, memasukkan tangan ke saku celananya. “Om Alan, kalau aku ancaman bagi kemanusiaan, bukankah kau harusnya bangga? Kau bisa bilang pada semua orang kalau kau selamat dari bencana global.”
Alan hanya bisa mengeluarkan erangan kesal sambil menatap Leon dengan tatapan memohon. “Tolong kendalikan anak ini, Leon. Atau aku akan benar-benar mengalami serangan jantung sebelum usia empat puluh!”
Leon mengangkat bahu santai. “Kau tahu aku tidak pernah bisa mengendalikan mereka. Dan jujur, kau pantas mendapatkannya karena kau yang membiarkan mereka menyentuh barangmu.”
Alan tampak terpaku, lalu menghela napas panjang. “Baiklah. Aku menyerah. Aku akan pulang. Tapi tolong pastikan dia tidak mendekati mobilku lagi.”
Sebelum Alan pergi, Reina dengan suara riang berkata, “Om Alan, kalau kapan-kapan mobilnya selesai diperbaiki, aku boleh pinjam lagi, ya?”
Alan memutar tubuhnya perlahan, menatap Reina dengan tatapan penuh teror. “Kalau kau sampai menyentuh mobilku lagi, aku akan memanggil polisi. Bahkan, aku akan pindah negara.”
Reina hanya tertawa kecil. “Jangan khawatir, Om. Kalau aku bosan, aku mungkin akan beli mobil sendiri. Jadi santai saja.”
“Reina, kau benar-benar harus belajar menghargai barang milik orang lain,” kata Leon tanpa menoleh, lalu menambahkan dengan nada sarkastik, “Kalau tidak, setidaknya biarkan Alan tetap hidup sampai dia punya cukup uang untuk membeli mobil baru.”
"Om Alan, jangan lupa kostum ku!" Seru Althea tiba-tiba.
Alan yang baru saja masuk ke mobilnya tiba-tiba berhenti mendengar teriakan Althea. Dengan wajah kebingungan dan sedikit trauma, ia menoleh ke arah gadis itu.
“Kostum? Kostum apa lagi sekarang?” tanya Alan dengan suara putus asa.
Althea tersenyum lebar, menunjukkan pose penuh semangat sambil menunjuk dirinya sendiri. “Kostum karakter favoritku, tentu saja! Bukankah Om janji mau jadi Zerion the Dark Emperor untuk acara cosplayku nanti?”
Wajah Alan langsung pucat seketika. “Althea… itu sebelum Reina menghancurkan mobilku. Aku bahkan belum pulih dari trauma ini, dan kau ingin aku memakai… kostum aneh itu?”
Reina yang berdiri di sebelah Althea hanya menyeringai. “Ayo, Om Alan. Kau pasti tampak cocok. Zerion kan tokoh yang dingin dan penuh wibawa, tapi sedikit pecundang. Mirip sekali denganmu.”
“Reina!” seru Alan, melotot. “Kalau aku tokoh itu, maka kau pasti musuh utama di cerita itu, kan? Si penghancur segalanya?”
“Tentu,” sahut Reina santai. “Tapi jangan khawatir, Om. Kau tetap tokoh pendukung.”
Alan memegangi kepalanya yang terasa seperti akan meledak. Namun sebelum ia bisa memprotes lebih jauh, Althea menambahkan dengan suara manis, “Om Alan, kalau Om nggak jadi pakai kostum itu, aku akan sangat sedih. Aku bahkan sudah pesan kostum pasangan untuk Reina dan Ayah. Mereka jadi karakter rival Zerion!”
Alan membeku sejenak. “Tunggu, apa? Leon juga terlibat?”
Leon yang baru keluar dari dalam rumah dengan segelas es teh herbal hanya mengangkat alis mendengar namanya disebut. “Tunggu. Apa aku barusan dijadikan bagian dari kekacauan ini?”
“Benar, Ayah!” Althea menyahut penuh semangat. “Kau jadi Kaelios the Righteous King! Musuh abadi Zerion! Reina jadi Iris the Shadow Huntress! Aku sudah memesan semua kostumnya, jadi kalian nggak bisa kabur.”
Reina tertawa kecil sambil menepuk pundak Alan. “Selamat, Om. Kau akhirnya punya kesempatan jadi raja. Meski cuma raja pecundang.”
Alan menghela napas panjang, lalu menatap Leon dengan tatapan penuh penderitaan. “Leon, aku memohon. Selamatkan aku dari anak-anak ini.”
Leon hanya mengangkat bahu dengan datar. “Kau yang memulai ini, Alan. Nikmati konsekuensinya.”
Alan menyerah dan kembali duduk di mobilnya, menggumamkan sesuatu tentang pergi ke terapi sambil melirik Althea yang masih tersenyum cerah. “Baiklah, aku akan ambil kostummu. Tapi jangan pernah libatkan aku lagi dalam kekacauan seperti ini.”
“Tentu, Om Alan! Sampai jumpa besok!” seru Althea sambil melambaikan tangan.
Saat Alan pergi, Reina menatap Althea dengan senyum kecil. “Kau benar-benar manipulatif, Thea. Aku bangga padamu.”
Althea mengangkat bahu santai. “Apa gunanya jadi anak Ayah dan Kak Reina kalau aku nggak belajar sedikit soal taktik?”
Leon hanya bisa menghela napas panjang sambil masuk kembali ke dalam rumah, merasa dirinya sudah terlalu tua untuk menghadapi kelakuan mereka.