"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketidakpedulian Niklas
Aku sudah bangun sekitar setengah jam lalu. Namun, aku memilih duduk di kisi jendela, menikmati suasana pagi yang masih tenang. Terlalu malas turun untuk bertemu Niklas yang bisa saja masih ada di rumah. Sebab Jeep-nya masih terparkir di halaman depan.
Kejadian semalam mengusik pikiran dan perasaanku. Bukan! Aku tidak marah karena merasa dikhianati, tetapi aku marah karena Niklas melakukan hal menjijikkan seperti itu setelah Elma pergi. Dia mengkhianati Elma. Wanita yang sangat disayanginya.
Sejak kapan tepatnya Niklas bermain gila dengan perempuan lain? Apa saat Elma masih hidup dan berjuang melawan penyakitnya?
"Non Tsania, ayo sarapan. Hari ini Non akan ke sekolah, 'kan?" Suara Bu Hesti terdengar dari luar kamar.
Oh, ya! Aku hampir lupa akan pekerjaanku. Walaupun sebenarnya aku pasti akan terlambat. Tak boleh lemah begini, aku turun dari kisi jendela dan bergegas keluar untuk sarapan. Pergi dari rumah dan bekerja adalah pilihan yang tepat. Meski hanya sebentar, tetapi setidaknya pikiranku akan tenang.
"Sarapannya sudah siap dari tadi, lho, Non," ucap Bu Hesti dibarengi seulas senyum.
"Maaf, Bu. Saya agak telat bangunnya." Padahal aku sudah bangun dari tadi.
Aku dan Bu Hesti lantas menuruni anak tangga. Namun, saat melihat Niklas berada di meja makan, aku terkesiap kaget. Sungguh tidak mau melihatnya pagi ini.
Tak fokus, langkahku limbung ke depan. Kakiku terbentur pada dinding pembatas anak tangga. Sehingga tubuhku mendarat cepat pada lantai marmer yang dingin. Suara keras terdengar saat aku jatuh ke lantai.
"Astaga, Non Tsania," seru Bu Hesti yang tergopoh-gopoh mendekat. "Non, Ya Allah. Nggak apa-apa, Non? Sini saya bantu berdiri."
"Nggak, Bu. Nggak apa-apa, saya yang nggak fokus jalan."
Mataku terarah pada Niklas yang tampak tak acuh. Sibuk dengan kopi dan gawai di tangannya. Dia hanya melirik sekilas, lalu melengos tidak peduli.
Aku memang tidak berharap ditolong atau melihatnya panik. Namun, sikapnya itu makin membuat Niklas terkesan brengsek! Semalam dia benar-benar sudah memperlihatkan sikap brengsek dan kurang ajarnya.
"Kaki Non perlu diurut kayaknya, takut keseleo, Non," kata Bu Hesti seraya membantu memapahku ke ruang makan.
Sedikit meringis menahan sakit pada kakiku, aku duduk di depan Niklas. Dia sama sekali tidak terusik oleh keberadaan aku dan Bu Hesti. Layar gawai lebih menarik di matanya. Mungkin saja dia sedang asyik bertukar kabar dengan wanita yang semalam dia bawa ke rumah ini.
Bajingan gila! Andai Elma masih ada, apa dia akan melakukannya juga? Maksudku, membawa perempuan lain ke rumah ini atau jangan-jangan memang pernah?
"Tsania, tentang yang semalam ...."
"Jangan bicara padaku." Aku memangkas ucapannya dengan cepat.
Niklas menyipitkan mata. "Semalam itu ...."
"Cukup!" Aku berteriak lagi. Pagi-pagi begini dia sudah memancing emosiku. "Kubilang jangan bicara padaku, Niklas. Urus saja urusanmu dan aku sama sekali nggak mau ikut campur."
Dari gerak matanya, Niklas meminta Bu Hesti menjauh dari kami. Selepas Bu Hesti pergi, Niklas menatapku—lagi-lagi dengan ekspresi dingin yang tidak bersahabat.
"Lalu kenapa kamu sangat marah? Bukankah aku bilang jangan terbawa perasaan dan jangan bersikap seperti seorang istri," kata Niklas.
"Kamu mengkhianati kakakku, brengsek!"
"Jangan menyebutku seperti itu, Tsania!" Niklas tak mau kalah. Suaranya yang keras membuatku terkejut.
Aku berdiri dari tempat setelah mendorong kursi ke belakang dengan gerakan kasar. "Lalu, apa sebutan yang pantas? Kamu jelas-jelas membawa perempuan lain ke rumah ini! Sejak kapan kamu melakukannya? Apa sejak kakakku sakit? Kamu bermain dengan perempuan saat Elma masih hidup dan berjuang melawan penyakitnya."
"Demi Tuhan, jaga bicaramu, Tsania!"
"Nggak!" Lagi-lagi aku berteriak. Lebih keras dari suara Niklas sebelumnya. "Aku akan mengatakannya pada ibumu! Pada keluargamu."
Niklas tampak terkejut mendengar ancamanku. Oh, mungkin saja tidak sekedar ancaman. Aku mungkin akan mengatakannya pada Ibu Julia dan Ayah Sandy. Ya, mereka harus tahu kelakukan anaknya yang kurang ajar.
Dengan kaki yang nyeri, aku menyeret langkah. Berjalan cepat, tetapi harus hati-hati. Kakiku yang terasa nyeri menghalangi langkah. Aku berpegangan pada pembatas anak tangga saat nyaris saja terjatuh lagi.
"Non Tsania." Bu Hesti lagi-lagi mendekat dan memegang lenganku agar tidak terjatuh.
Mataku terasa panas untuk ke sekian kali. Akhir-akhir ini mendadak aku merasa menjadi sangat cengeng. Mungkin karena Niklas juga? Entahlah.
Waktu mengubah seseorang dengan cepat. Seperti Niklas yang sekarang membenciku. Dahulu dia sangat hangat dan penuh perhatian, tetapi sekarang tidak kutemukan lagi hal itu dalam dirinya. Niklas benar-benar berubah.
———oOo———
Tadinya aku berpikir kakiku akan baik-baik saja. Namun, ternyata saat petang mulai menyapa, rasa sakitnya makin parah. Sebenarnya tidak keseleo, tetapi kakiku sampai sedikit lebam dan bengkak. Hal itu membuatku sedikit sulit bergerak. Jadi, hari ini aku izin ke sekolah. Walaupun terasa berat untuk sekali saja tidak datang ke sana.
Aku suka tawa anak-anak di tempat itu. Mengingatkan aku akan kenangan masa lalu, saat masih di panti. Bedanya, anak-anak di sekolah tersebut memiliki orang tua. Sedangkan kami, anak-anak panti, tidak tahu di mana orang tua kami berada.
"Tsania, astaga! Kenapa bisa begini kaki kamu?" tanya Ibu Julia yang langsung datang saat Bu Hesti mengabarinya.
Kini aku tahu bahwa Bu Hesti rupanya bukan hanya sekadar asisten rumah tangga. Namun, mata-mata Ibu Julia. Kusebut begitu karena dia selalu melaporkan apa yang terjadi kepada ibu mertuaku.
"Aku nggak apa-apa, Bu. Hanya tergelincir. Besok juga sudah baikan, tadi Bu Hesti yang bantu aku ke klinik terdekat," ucapku.
"Ya ampun, lain kali kamu harus hati-hati. Oh ya, di mana Niklas?"
Sebelum aku menjawab, suara mesin mobil terdengar dari luar. Itu Niklas karena kami bisa melihatnya dari jendela lebar yang masih terbuka. Tumben dia pulang cepat. Mungkinkah karena takut akan ancamanku?
Bagus! Ibu Julia ada di sini dan aku bisa saja melaporkan apa yang terjadi semalam.
Niklas masuk dan terlihat kaget karena Ibu Julia ada di ruang tengah. "Ibu ... kapan Ibu datang?" Sepasang mata Niklas terbagi antara aku dan ibunya.
Mungkinkah dia berpikir aku sudah membeberkan kelakuannya?
"Kenapa? Ibu tidak boleh datang?" Ibu Julia berdiri mendekati anaknya. "Niklas, kamu ini bagaimana, sih? Lihat, istrimu sedang cedera dan kamu baru pulang? Seharusnya kamu di rumah saja, ambil cuti dan habiskan banyak waktu dengan Tsania. Kalian ini kan pengantin baru. Lebih baik kalian rencanakan perjalanan berdua, maksud Ibu ... pergilah berbulan madu."
Niklas menghela napas. Sementara aku terkejut oleh ucapan Ibu Julia. Bisa-bisanya wanita itu tetap membahas hal yang bahkan tidak pernah terpikir olehku dan Niklas. Seakan-akan dia ingin membuat kami ini adalah sepasang pengantin bahagia yang dimabuk asmara.
"Tidak ada perjalanan seperti itu, Ibu. Saya sibuk dan Tsania juga tidak bisa meninggalkan pekerjaannya," kata Niklas.
"Bukan berarti kamu tidak bisa mengambil cuti, Niklas. Peresmian cabang baru retail ayahmu masih tiga bulan lagi. Apa yang perlu disibukkan?" tanya Ibu Julia.
Aku berdecih samar, tetapi mengalihkan atensi Ibu Julia dan Niklas. Sadar bahwa mereka memperhatikan, aku berdeham singkat. "Tentu saja dia sibuk, Bu," tukasku.
"Tsania," tegur Niklas. Terkesan tidak mau aku bicara macam-macam. Tentang kejadian semalam misalnya.
"Pekerjaan Niklas kan tidak hanya di kantor," ucapku makin memicu kegeraman yang terlihat kentara dari sorot matanya. "Di luar juga pasti ada pekerjaan yang penting. Iya kan, Niklas?"