Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Tak Mengungkapkan Jati Diri
Airin tertegun. "Lampu?" tanyanya pelan, tetapi pria itu tidak menjawab. Ia mulai terlihat panik, kedua tangannya meraba-raba tanah di sekitarnya. "Hei, tenang. Kamu aman sekarang," kata Airin dengan nada lembut.
"Aku... tidak bisa melihat!" teriak Kaivan tiba-tiba, suaranya dipenuhi kepanikan. "Kenapa gelap? Apa aku masih hidup?"
Airin terhenyak. Ia menggenggam tangan Kaivan lebih erat, mencoba menenangkan. "Kamu masih hidup. Kamu hanya... mungkin mata kamu butuh waktu untuk pulih. Tolong tenang dulu," ujarnya, meskipun hatinya sendiri diliputi kekhawatiran.
Kaivan menggeleng, napasnya tersengal. "Tidak, tidak! Aku tidak bisa melihat apa-apa!"
Airin menggigit bibir, lalu berusaha berpikir cepat. "Mungkin kamu perlu istirahat. Lukamu cukup parah. Aku akan membawamu ke rumahku," ujarnya penuh keyakinan.
Kaivan tetap tidak tenang, tetapi tubuhnya yang lemah tidak memberinya banyak pilihan selain menyerah pada Airin. "Siapa... siapa kamu?" tanyanya dengan suara yang mulai melemah.
"Aku Airin," jawab gadis itu lembut. "Dan kamu, siapa?"
Pria itu terdiam beberapa saat sebelum berbisik, "Aku... aku.. Ivan."
Airin menghela napas panjang, menyadari beban besar yang akan ia tanggung. Ia memandang tubuh pria di hadapannya, Kaivan, yang terlihat lemah, dengan wajah penuh luka dan pandangan kosong. "Baiklah, aku akan membawamu ke rumahku," gumamnya pelan, meski suara hatinya dipenuhi keraguan.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Airin meraih tangan Kaivan, mengangkatnya ke bahunya. "Tolong tahan sedikit, kita harus berjalan menuju rumahku," ujarnya dengan nada lembut, meski tubuhnya bergetar menahan berat badan pria itu.
Kaivan tak merespon, wajahnya terlihat bingung dan tak berdaya. "Aku... aku tidak bisa melihat," bisiknya lagi, suara lirihnya hampir tenggelam dalam gemericik sungai di kejauhan.
"Jangan khawatir, nanti aku panggil bidan desa untuk mengobati lukamu dan memeriksa matamu," jawab Airin mencoba meyakinkan, meskipun ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa dengan keadaan pria ini.
Langkah demi langkah, Airin membawa Kaivan menyusuri jalan setapak yang licin akibat hujan semalam. Sesekali kakinya terpeleset, tetapi ia menggigit bibir dan tetap bertahan memapah Kaivan. Ember kecil berisi ikan yang tadi ia bawa tertinggal di tepi sungai, tetapi saat ini keselamatan pria itu adalah prioritasnya.
Kaivan yang dipapah Airin terdiam, langkahnya berat dan penuh kebingungan. Setiap kali ia mencoba meresapi keheningan, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang tidak terjawab. "Kenapa aku bisa jadi seperti ini?" batinnya, merasa semakin terpojok dalam ketidakpastian.
Ia menggigit bibirnya, mencoba mengingat kejadian semalam, namun ingatannya bagaikan kabut yang sulit untuk ditangkap. "Apa aku terbentur keras oleh sesuatu? Atau mungkin ini akibat gulungan batang pohon besar yang menimpaku saat terhanyut di sungai?" batinnya. Ia teringat betapa kerasnya tubuhnya terbanting, seakan dihantam sesuatu yang tidak bisa dipahami.
Namun, benarkah itu yang menyebabkan kebutaan ini? Atau mungkin air sungai yang keruh dan penuh sampah itu, yang menggenang dan mengalir deras, telah mengandung sesuatu yang membahayakan matanya? Air itu begitu kotor, bercampur tanah dan benda asing lainnya. Bisa jadi, justru inilah yang merusak saraf penglihatannya.
Kaivan terdiam lebih lama, dan meskipun ia merasa cemas, dia berusaha tetap tenang. "Apakah aku akan tetap buta selamanya?" pikirnya. Namun ia tak bisa menemukan jawaban pasti, hanya rasa bingung yang terus menyelubungi. Dalam kebisuannya, tanpa sadar ia menggenggam tangan Airin yang masih memapahnya, mencoba mencari sedikit kenyamanan dalam ketidakpastian ini.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, Airin tiba di depan rumah sederhana miliknya. Ia membuka pintu yang berderit pelan, lalu memapah Kaivan masuk ke dalam. "Nenek! Nek, tolong bantu aku!" panggilnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Seorang wanita tua dengan wajah penuh kerutan muncul dari dapur, meski sudah tua, wanita itu terlihat masih sehat. "Astaga, Airin! Siapa dia? Apa yang terjadi?" tanyanya terkejut.
"Dia terhanyut di sungai, Nek. Aku menemukannya di dekat akar pohon. Tapi... dia tidak bisa melihat," jelas Airin sambil menurunkan tubuh Kaivan perlahan ke atas dipan sederhana yang ada di ruang tamu.
Nenek Airin mendekat, menatap pria itu dengan cermat. "Lukanya cukup parah. Airin, ambilkan kain bersih dan air hangat. Kita harus membersihkan lukanya dulu," ujarnya dengan nada tegas namun penuh perhatian.
Airin mengangguk cepat, bergegas mengambil yang dibutuhkan. Sementara itu, neneknya duduk di samping Kaivan, menyentuh pelipis pria itu dengan lembut. "Tenang, Nak. Kau aman sekarang. Kami akan merawatmu," kata nenek itu, mencoba menenangkan Kaivan yang masih terlihat bingung dan cemas.
Airin kembali dengan kain dan baskom kecil berisi air hangat. Ia berdiri di samping Kaivan, mulai membersihkan lumpur dari wajah Kaivan. "Maaf kalau terasa sakit," ujarnya sambil melirik wajah pria itu yang masih tampak tegang.
Nenek Asih membantu Airin membersihkan tubuh Kaivan. Dengan lembut menyeka luka di lengan Kaivan menggunakan kain hangat. "Nak, maaf kalau sedikit perih, tapi ini harus dibersihkan agar tidak infeksi," ujarnya pelan, suaranya penuh keibuan.
Airin, yang berdiri di sisi lain, memeras kain basah sebelum mengusapkannya ke wajah Kaivan yang penuh lumpur. Sesekali matanya menatap Kaivan, mencoba menebak siapa pria asing ini. "Kalau ada yang sakit atau tidak nyaman, bilang saja," katanya hati-hati, tak ingin membuat Kaivan tersinggung.
Kaivan tetap diam, hanya sesekali menghela napas panjang. Tubuhnya tegang,, batinnya bergejolak. "Mereka ini orang biasa, kenapa repot-repot menolongku? Apa mereka sungguh tulus, atau ada maksud tertentu?" batinnya.
Nenek Asih menatap Kaivan dengan perhatian, tangannya beralih mengikat rambut pria itu yang gondrong. "Nak, bisa kau ceritakan siapa namamu? Atau dari mana asalmu?" tanyanya lembut, mencoba menggali sedikit informasi.
Kaivan terdiam sejenak, matanya yang kosong seolah mencari-cari jawaban di dalam pikirannya. Setelah beberapa detik, ia menghela napas pelan sebelum menjawab. "Aku... namaku Ivan. Aku berasal dari ibukota."
Airin yang berdiri di samping, memerhatikan Kaivan dengan cermat. "Apa ada keluargamu yang bisa kita hubungi?" tanyanya dengan penuh perhatian, berharap dapat membantu pria ini.
Kaivan kembali terdiam, pikirannya bergulir cepat, namun ia memilih untuk tetap tenang. "Aku... aku belum berkeluarga," jawabnya pelan, suara itu terdengar seakan ada yang disembunyikan. "Tidak ada yang bisa dihubungi," lanjutnya, berusaha untuk menghindari lebih banyak pertanyaan. Ia tidak ingin mengungkapkan jati dirinya yang sesungguhnya, masih waspada terhadap orang asing.
Airin berhenti membersihkan luka Kaivan, menatapnya dengan iba. "Apa pun yang terjadi padamu, kau sekarang aman di sini. Kami akan membantumu sebisa mungkin."
Kaivan tersenyum tipis, ekspresinya datar meski wajahnya pucat. "Terima kasih... meskipun aku tidak tahu kenapa kalian repot-repot membantu seseorang seperti aku."
Nenek Asih senyum lembut. "Kau manusia, Nak. Kami tidak bisa begitu saja meninggalkanmu."
Kaivan menghela napas panjang, suaranya rendah dan serak. "Kalian telah menyelamatkan aku. Bagaimana aku harus berterima kasih pada kalian?"
Nenek tertawa pelan, mencoba membuat suasana lebih ringan. "Berterima kasih nanti saja, Nak, kalau kau sudah sehat. Sekarang, fokuslah pada pemulihanmu."
Airin mengangguk, mengganti kain lap dengan yang baru. "Nenek benar. Fokus pada langkah kecil dulu. Aku akan menyiapkan bubur hangat setelah ini. Kau pasti butuh tenaga."
Kaivan perlahan menoleh, meski pandangannya kosong, tidak ada emosi yang jelas terlihat. "Airin... namamu Airin, 'kan? Aku... tidak tahu apa lagi yang bisa kukatakan selain... terima kasih."
Airin mencelupkan kain ke dalam baskom berisi air hangat, kemudian memerasnya dengan hati-hati. Namun, gerakannya terhenti saat pandangannya jatuh ke pakaian Kaivan yang lusuh dan robek di beberapa bagian.
"Emm... Kak Ivan, bajumu..." Airin mengangkat wajah, ragu melanjutkan kata-katanya.
Nenek Asih, yang berada di sampingnya, ikut memperhatikan pakaian Kaivan. Wajahnya tampak khawatir.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso