Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Pintu Gerbang Jakarta
Truk tua itu akhirnya memasuki jalanan Jakarta, melaju pelan di tengah kemacetan pagi yang sudah mulai terasa. Raka menatap gedung-gedung pencakar langit yang semakin dekat, menyadari bahwa kota ini bukan hanya penuh dengan harapan, tetapi juga penuh dengan bahaya yang siap menghadang mereka kapan saja.
Nadia duduk diam di sampingnya, matanya masih terfokus ke luar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Meskipun mereka telah berhasil melarikan diri dari pengejaran di hutan, mereka tahu bahwa musuh yang lebih besar menunggu di kota ini. Mereka tidak hanya berhadapan dengan orang-orang yang mengejar mereka, tetapi juga dengan sebuah sistem yang ingin menutupi kebenaran yang mereka bawa.
"Jakarta nggak pernah tidur," kata Raka, hampir bergumam pada dirinya sendiri. "Di sini, kita harus hati-hati. Setiap langkah bisa jadi langkah terakhir."
Pak Hasan mengangguk pelan. "Kota ini punya banyak wajah, Raka. Yang kita hadapi sekarang bukan cuma orang-orang yang ngejar kita, tapi juga semua yang ada di balik layar. Mereka nggak akan berhenti sampai mereka dapat apa yang mereka mau."
Truk itu berbelok ke sebuah gang sempit, dan sopirnya memberi isyarat agar mereka turun. "Ini tempatnya. Kalian harus berhati-hati. Gue nggak bisa nganterin kalian lebih jauh."
Raka, Nadia, dan Pak Hasan turun dengan cepat, memeriksa sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mengawasi mereka. Di depan mereka, sebuah gedung lama berdiri, terlihat tak terawat dan terlupakan, namun di balik dindingnya, ada informasi yang bisa merubah segalanya.
"Ini tempat yang kita cari," kata Nadia, suaranya penuh keyakinan meskipun ia tahu betapa berbahayanya situasi ini. "Semua bukti yang kita bawa... kita harus pastikan semuanya sampai ke tangan yang tepat."
Pak Hasan menatap gedung itu dengan hati-hati. "Jangan remehkan tempat ini. Banyak hal buruk yang terjadi di sini, dan banyak orang yang nggak akan senang kalau kita ngungkapin semuanya."
Raka memandang kedua temannya dengan tekad yang lebih kuat. "Gue tahu risikonya. Tapi kita nggak punya pilihan lain. Kalau kita nggak bertindak sekarang, semuanya akan sia-sia."
Mereka melangkah perlahan menuju pintu gedung yang sudah terlihat usang, suara langkah kaki mereka bergema di lorong sempit yang sepi. Setiap detik terasa semakin tegang, seakan waktu terus mempersempit ruang gerak mereka.
**Di Dalam Gedung**
Pintu gedung terbuka dengan pelan, dan mereka memasuki ruangan yang remang-remang. Bau debu dan kelembapan menyambut mereka. Di dalamnya, hanya ada beberapa meja kayu tua dan tumpukan dokumen yang terlantar. Tiba-tiba, suara derap kaki terdengar dari belakang.
Raka sigap berbalik, memegang sebatang besi yang ia temukan di dekat meja. Namun, yang muncul bukanlah musuh yang mereka duga, melainkan seorang pria tua dengan kacamata tebal dan rambut putih yang sudah mulai memudar.
"Raka, Nadia, Pak Hasan," pria itu menyapa mereka dengan suara serak namun penuh keyakinan. "Aku tahu kalian akan datang."
"Siapa... siapa Anda?" tanya Nadia, matanya sedikit terkejut namun penuh rasa penasaran.
Pria itu tersenyum tipis, wajahnya penuh kerut yang menandakan usia, namun matanya penuh dengan kebijaksanaan. "Saya Victor. Orang yang bisa membantu kalian mengungkap semua ini."
Raka menatap pria itu, merasa cemas meskipun ada rasa harapan yang muncul. "Tapi siapa yang akan percaya sama kita, Pak? Mereka udah mengejar kita sepanjang jalan. Bahkan di Jakarta, kita nggak aman."
Victor mengangguk, berjalan perlahan menuju meja di sudut ruangan. "Kalian benar. Tapi di sini, ada orang yang peduli. Kalian cuma perlu tahu siapa yang bisa kalian percayai. Dan yang terpenting, kalian harus menyampaikan bukti itu pada orang yang tepat."
"Siapa mereka?" tanya Pak Hasan dengan suara rendah.
Victor menoleh, matanya tajam dan penuh makna. "Mereka yang sudah lama bersembunyi di balik kekuasaan. Mereka yang mengendalikan semuanya. Tapi kalian… kalian bisa menjadi kunci untuk menghentikan mereka."
---
**Penutupan Bab 21**
Di dalam gedung yang kumuh itu, ketiganya menyadari bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Bahkan, ini mungkin baru permulaan dari pertempuran yang jauh lebih besar. Mereka kini berada di persimpangan jalan yang penuh ketidakpastian, tetapi satu hal yang mereka yakini: mereka tak akan mundur. Dengan bukti yang mereka bawa, mereka bertekad untuk mengungkap kebenaran, meskipun harus berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.
Raka menatap Victor dengan penuh harapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Victor menatap mereka satu per satu, lalu mengangguk pelan. "Sekarang, kita mulai merencanakan langkah kita. Jakarta bukan kota yang mudah ditaklukkan. Tapi dengan kalian bertiga, kita punya peluang."
Dan di dalam ruangan gelap itu, di bawah bayang-bayang kekuasaan yang tersembunyi, sebuah rencana besar mulai terungkap—dan tak ada yang tahu seberapa jauh kebenaran akan mengungkap rahasia yang telah terkubur begitu lama.
Victor memandang ketiga orang di hadapannya dengan tatapan tajam namun penuh kehangatan. Wajahnya yang dipenuhi kerut menandakan usia yang tak muda lagi, tetapi matanya masih menyimpan semangat yang kuat. Ia berjalan perlahan menuju meja kayu besar yang ada di tengah ruangan, mengambil beberapa dokumen yang tersembunyi di balik tumpukan kertas.
Dengan hati-hati, ia meletakkan dokumen-dokumen itu di atas meja dan menunjuk ke arah sebuah peta besar yang tergantung di dinding.
"Ini peta lama Jakarta," ujar Victor sambil menyentuh peta itu. "Ini adalah pusat-pusat kekuatan yang selama ini mengendalikan kota ini dari balik layar. Kalian tidak bisa melawan mereka dengan cara biasa. Kalian harus tahu siapa musuh sebenarnya, dan di mana mereka bersembunyi."
Raka menatap peta itu, matanya menelusuri garis-garis yang membagi Jakarta menjadi beberapa wilayah. "Maksud lo, ada orang-orang yang mengendalikan seluruh kota ini?"
Victor mengangguk pelan.
"Bukan hanya kota ini. Mereka juga mengendalikan politik, ekonomi, dan banyak aspek kehidupan lainnya. Mereka sudah lama mengatur permainan di sini, dan mereka tahu setiap langkah yang kita ambil."
Nadia merasakan ketegangan yang mulai merambat di udara.
"Jadi, lo tahu siapa mereka? Dan apa yang harus kita lakukan?"
Victor menarik napas dalam-dalam, matanya seolah menerawang ke masa lalu.
"Saya tahu lebih dari yang kalian pikirkan. Saya adalah bagian dari mereka dulu. Tapi saya memilih untuk keluar, karena saya tahu apa yang mereka lakukan sangat salah. Saya sudah mempersiapkan banyak hal untuk menghadapi mereka, dan kini saatnya kalian mengambil alih."
Pak Hasan yang selama ini diam, akhirnya berbicara. "Tapi, Victor... Jika mereka sudah begitu kuat, bagaimana kita bisa melawan mereka? Apa yang bisa kita lakukan dengan hanya bukti yang kita bawa?"
Victor menatap Pak Hasan, senyum tipis terukir di wajahnya. "Bukti kalian adalah awal dari segalanya. Dengan bukti itu, kalian bisa membuka banyak pintu yang tertutup rapat. Tapi kalian juga harus siap menghadapi konsekuensi dari tindakan ini. Mereka tak akan diam begitu saja."
Raka merasa ketegangan di dalam dirinya semakin menguat. "Kita nggak punya pilihan lain, Pak. Kalau kita nggak maju, mereka akan terus menguasai Jakarta, dan kita nggak bisa biarin itu terjadi."
Victor mengangguk setuju. "Benar. Kita akan mulai dengan langkah kecil, merangkai potongan-potongan kebenaran yang tersembunyi. Tapi ingat, kita harus bergerak cepat. Waktu kita terbatas."
Ketiganya saling bertukar pandang, merasakan beban yang semakin berat di pundak mereka. Jakarta, kota yang penuh dengan harapan dan juga bahaya, kini menjadi medan pertempuran mereka. Dan meskipun mereka hanya tiga orang, dengan bukti yang mereka bawa dan bimbingan Victor, mereka mulai melihat secercah harapan bahwa mereka bisa melawan kekuatan besar yang mengendalikan kota ini.
Victor menambahkan, "Kalian harus siap. Dunia yang kalian hadapi di luar sana lebih rumit dari yang kalian bayangkan. Tapi saya percaya kalian bisa melakukannya."
Dengan kata-kata itu, mereka tahu bahwa mereka telah melangkah ke dalam pertempuran yang lebih besar dari sekadar bertahan hidup. Kini, perjuangan mereka adalah tentang mengungkapkan kebenaran dan memberi keadilan bagi mereka yang telah lama terpinggirkan.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)