Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#10•
#10
(Silsilah keluarga Adhis, bisa kalian baca di novel Restu, silahkan mampir, jika berkenan) ✌
Flashback
Semilir angin sore menerpa pendopo bergaya khas tradisional jawa, indah dengan berbagai ornamen ukiran, seperangkat gamelan, serta lampu gantung antik yang membuat ruangan tersebut terlihat semakin klasik dan indah.
Indah dan klasik jika orang luar melihat pendopo tersebut, namun tidak demikian dengan seseorang yang hatinya selalu hancur setiap kali berada di ruangan tersebut. Bagaimana tidak hancur, jika ia selalu mendengar sindiran serta kalimat pedas dari Bu Dewi, beliau adalah Ibu dari suaminya alias Ibu mertuanya.
Di awal pernikahan anaknya, Bu Dewi adalah seorang Ibu mertua yang baik dan penyayang, bahkan sangat terbuka menerima kehadiran sang menantu di tengah keluarga besarnya. Terlebih sang Menantu juga bukan sembarang orang, Adhisty Putri Narendra adalah cicit dari Baskoro Narendra, bangsawan terkemuka di Yogyakarta.
Kini setelah 5 tahun berlalu, kasih sayang tersebut seolah pudar termakan usia, senyum ramah kini berganti dengan sindiran pedas, setiap kali mertua dan menantu tersebut bertatap muka.
Belum hadirnya anak diantara Adhis dan Raka adalah pemicunya, Raka adalah putra satu satunya di keluarga Adikusumo, 5 tahun telah berlalu, serta usia Raka yang kini tak lagi muda membuat Ibu Dewi semakin gencar menuntut hadirnya cucu di tengah rumah tangga anak dan menantunya.
Bu Dewi meletakkan selembar foto di hadapan Raka, bukan pertama kali namun kali ini sudah yang ke 5 kalinya dalam bulan ini. Satu lagi Foto seorang gadis dari keluarga bangsawan yang Ibu dewi pilih sebagai calon istri kedua Raka.
Adhis hanya bisa meneteskan air matanya, ia meremas ujung gaunnya hingga buku-buku jarinya memutih. jika bukan karena ajakan Raka, sudah sejak lama Ahis enggan menjejakkan kaki di rumah mertuanya ini. Tapi Raka selalu berhasil membujuknya agar ikut dengannya mengunjungi kediaman keluarga besar Adikusumo.
“Namanya Raden Roro Prameswari, usianya 25 tahun, putri dari …” Bu Dewi terus berceloteh menjelaskan asal usul keluarga dari gadis yang kali ini ia pilih sebagai calon menantu keduanya.
Sementara Raka hanya bisa membeku menatap lara serta kecewa di wajah sang istri, ia sangat mencintai Adhis, lebih dan kurangnya sudah ia terima dengan ikhlas, termasuk diantaranya jika mereka tak akan pernah beroleh keturunan.
Tapi desakan, bahkan sindiran Ibu Dewi kali ini benar-benar membuat Amarah Raka meluap.
“Ibu !!!” pekiknya tanpa sadar dengan lengkingan suara yang hampir membuat gendang telinga pecah, bahkan Ibu Dewi terbelalak tak percaya, karena sepanjang hidup mendidik Raka, belum pernah sang putra berteriak dengan suara sekencang itu.
“Sudah berapa kali Raka katakan, bahwa Raka tak akan pernah menikah lagi!” seru Raka kembali menegaskan penolakannya.
“Barani kamu membentak Ibumu?” lirih Bu Dewi dengan wajah sendu dan air muka sedihnya.
“Jika saja Ibu tak terus menerus menyuruhku menikah lagi, aku pun tak akan bersikap begini pada Ibu,” jawab Raka masih belum ingin menurunkan nada suaranya.
Sentuhan lembut di lengan kirinya membuat Raka menoleh, menatap wajah sendu sang Istri, “Mas …” panggilan itu sedikit meredakan emosi Raka, padahal Adhis hanya mengedipkan kedua matanya, sebagai pertanda agar Raka menghentikan kemarahannya.
“Semuanya demi kebaikan kamu Lé (sebutan untuk anak laki-laki dalam bahasa jawa).”
“Kebaikan yang mana? Kebaikan apa yang Ibu maksud?” Raka kembali menjawab kalimat Bu Dewi, “Rumah tanggaku dan Adhis baik-baik saja, kami rukun, dan saling mencintai, nyaris tak pernah ada perdebatan hebat yang merenggangkan hubungan kami … “
“Tapi tak ada anak diantara kalian.” Bu Dewi memotong kalimat Raka.
“Berapa kali harus aku katakan Bu … anak itu sepenuhnya hak Tuhan, seberapa keras ikhtiar seorang hamba, jika Tuhan tak menghendaki, anak itu tak mungkin hadir, Bu.”
Raka sungguh tak tahu harus bagaimana lagi memberi pengertian pada Bu Dewi, karena ia dan Adhis juga sudah menempuh berbagai macam cara agar bisa beroleh keturunan, mulai dari cara tradisional, suntik hormon, hingga program bayi tabung yang bahkan sudah menghabiskan nominal tidak sedikit, tapi tahun-tahun berlalu tanpa hasil, membuat Raka semakin sedih.
Bukan sedih karena kegagalan, melainkan sedih karena kegagalan tersebut membuat Adhis semakin tertekan secara mental. Tak ada lagi senyum lembut yang menyejukkan seperti dulu, atau canda tawa manja yang meramaikan hubungan mereka. sebaliknya Adhis lebih suka melamun dan menyendiri, menghabiskan hari harinya di halaman rumah sambil menyesali diri, karena belum mampu memberikan seorang anak bagi suaminya.
“Tapi bisa di ikhtiarkan, diusahakan, termasuk diantara poligami, halal dan legal … ibu tak meminta kalian bercerai kok,” cetus Bu Dewi, yang masih tetap dengan pendiriannya, menginginkan cucu sebagai penerus keluarga. Bukan hanya Bu Dewi, namun Ayah Suryo pun sependapat dengan sang istri, karena Raka adalah anak lelaki satu satunya, maka harapan melanjutkan nasab ada di pundak Raka.
•••
yang sudah baca kisah orang tuanya adhis, pasti bisa jawab pertanyaan othor.
#dimana ciuman pertama Bima dan Sherin? 😁