seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 34
Raka, Ayana, Iris, dan anak-anak mereka tiba di rumah sakit dengan tergesa. Wajah mereka menyiratkan kekhawatiran yang mendalam, terutama Ayana yang tampak pucat begitu mendengar nama dirinya disebut dalam konteks pertengkaran orang tua mereka.
Raka menggenggam ponsel, wajahnya tegang
"Aku sudah tanyakan pada Bibi Ratmi, katanya mereka bertengkar di kamar. Tapi... Ayah menyebut namamu beberapa kali, Ayana."
Ayana terdiam, tangannya bergetar memegang tas kecilnya. Raka memperhatikan perubahan ekspresi di wajah adiknya, tapi tidak mendesaknya lebih jauh.
Ayana berbisik pelan, hampir tidak terdengar
"Apa... karena aku?"
Iris memegang bahu Ayana dengan lembut
"Kita belum tahu, Ayana. Jangan menyalahkan diri sendiri dulu. Yang penting sekarang adalah memastikan Ayah mendapatkan perawatan terbaik."
Mereka duduk di ruang tunggu, suasana hening kecuali suara langkah para dokter dan perawat yang sesekali melintas. Ayana menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang perlahan membanjiri pikirannya.
Flashback Pertengkaran di Rumah
Dalam bayangan yang diceritakan oleh Bibi Ratmi, suasana kamar orang tua mereka terasa berat. Ayah mereka, dengan napas terengah-engah, terlihat mencoba menenangkan diri, sementara Ibu mereka berdiri dengan tangan di pinggang, nada suaranya penuh emosi.
Ibu
"Ayana selalu menjadi duri dalam hidup kita! Keputusan yang kau ambil dua puluh tujuh tahun lalu lihat akibatnya sekarang!"
Ayah dengan suara lemah, berusaha menahan amarah
"Jangan bawa Ayana ke dalam ini. Dia sudah cukup menderita."
Ibu mendengus, memalingkan wajah
"Kau terlalu lunak padanya, selalu membela dia. Kau tidak pernah berpikir bagaimana semua ini memengaruhi keluargamu!"
percakapan berikutnya tak terdengar begitu jelas sebelum akhirnya bi ratmi mendengar percakapan yang terakhir di ucapkan tuannya itu
"Ayana hanya ingin bahagia... dan aku hanya ingin melihatnya bahagia."
Napasnya mulai terengah-engah lebih berat. Dia memegangi dadanya dengan ekspresi kesakitan.
Ibu terkejut, melangkah mendekat dengan panik
"Kamu kenapa? Jangan bercanda seperti ini!"
Ayahnya jatuh ke kursi terdekat, memegangi dada dengan kedua tangan. Ibu segera berteriak memanggil Bibi Ratmi, yang akhirnya memanggil ambulans.
Kembali ke Rumah Sakit
Seorang dokter keluar dari ruang ICU, membawa kabar bahwa kondisi Ayah mereka stabil sementara waktu, tetapi masih dalam pengawasan ketat.
Dokter menjelaskan dengan serius
"Beliau mengalami serangan jantung yang dipicu oleh stres berat. Kami sudah melakukan tindakan, tapi beliau membutuhkan ketenangan dan dukungan dari keluarga."
Raka mengangguk, wajahnya tegang. Ayana menggigit bibir, hatinya tidak tenang.
Raka menghampiri dokter
"Apa kami bisa menemuinya sebentar?"
Dokter berkata "Hanya satu orang, dan tidak boleh lama."
Raka mengangguk dan melihat Ayana.
"Ayana, mungkin kamu yang masuk. Nama kamu disebut-sebut saat Ayah drop, mungkin ada sesuatu yang ingin beliau sampaikan."
Ayana menatap Raka dengan bingung, matanya penuh ketakutan. Namun, dia tahu ini adalah saatnya menghadapi apa pun yang mungkin terungkap. Dia menghela napas panjang dan melangkah masuk ke dalam ruang ICU.
Ayah mereka terbaring dengan wajah pucat, alat-alat medis menempel di tubuhnya. Ayana mendekat perlahan, duduk di kursi di sebelah ranjangnya.
Ayana suara pelan, hampir berbisik
"Ayah... aku di sini."
Mata Ayah terbuka perlahan. Senyumnya tipis, tapi terlihat ada banyak beban di sana.
Ayah dengan suara lemahnya "Ayana... Maafkan Ayah... Kalau saja waktu itu Ayah lebih tegas, kamu tidak akan mengalami semua ini..."
Ayana air mata mulai mengalir, menggenggam tangan Ayah dengan lembut
"Ayah, jangan bicara seperti itu. Aku baik-baik saja... ini semua bukan salah Ayah."
Ayahnya menarik napas perlahan, seolah ingin mengatakan sesuatu yang berat.
"Kamu berhak bahagia, Ayana... Jangan biarkan siapa pun menahanmu lagi..."
Ayana hanya bisa menangis, menggenggam tangan ayahnya lebih erat, tanpa mampu berkata apa-apa. Di dalam hatinya, ia merasa ayahnya tahu segalanya—dan itu membuat rasa bersalahnya semakin dalam.
Ayana berdiri di luar ruang ICU, matanya merah karena tangis yang tidak bisa ditahan. Raka berdiri di sampingnya, memberikan dukungan tanpa kata. Namun, meskipun ayah mereka dalam kondisi kritis, suasana di antara mereka semakin tegang.
ibunya tiba tiba berdiri dengan terisak, wajahnya penuh kemarahan dan kebencian. Meskipun Raka mencoba untuk menenangkan, ibu mereka tidak bisa menahan amarahnya.
Ibu berbicara dengan suara bergetar penuh emosi
"Semua ini gara-gara kamu, Ayana! Kenapa kamu tidak bisa memahami betapa hancurnya keluarga ini karena keputusan bodohmu? Ayahmu hampir mati karena semua masalah yang kamu timbulkan!"
Ayana terdiam, wajahnya terasa seperti diserang. Kata-kata itu melukai, meskipun ia tahu ibunya masih dalam keadaan emosional, namun tetap saja kata-kata tersebut menyentuh hatinya dengan tajam.
Ayana berusaha menahan air mata, suara bergetar
"Apa maksud Ibu? Apa yang Ibu katakan? Aku tidak pernah berniat membuat ini semua terjadi..."
Ibu tidak sabar, mengangkat suara
"Kamu harusnya tahu tempatmu! Kamu bukan anak yang pantas mendapat perhatian, apalagi cinta. Ibu menyesal sudah membesarkanmu dengan cara yang salah!"
Raka mencoba untuk menenangkan ibunya, namun ibu mereka tetap tidak mau mendengarkan.
Raka dengan suara keras
"Ibu, hentikan! Apa yang terjadi pada Ayah lebih penting sekarang. Jangan tambah bebani Ayana dengan perkataan yang tidak perlu!"
Ibu terdiam sesaat, lalu dengan nada penuh kebencian
"Dia sudah membuat keluarga kita hancur, Raka! Kamu tahu apa yang aku rasakan! Dia bahkan tidak tahu siapa dirinya, asal usulnya. Aku menyesal, sangat menyesal!"
Ayana merasa tubuhnya kaku, kata-kata ibu seperti batu yang menimpanya. Ia menatap ibunya, untuk pertama kalinya merasa benar-benar sendirian dalam keluarga ini. Tidak ada cinta, hanya tuntutan dan penyesalan.
Di ruang rumah sakit yang sunyi, hanya suara deru mesin dan langkah kaki yang terdengar, Ayana berdiri di depan ibunya, masih terguncang dengan kata-kata yang baru saja terucap. Tanpa bisa menahan diri, ia akhirnya melontarkan pertanyaan yang telah mengganggu pikirannya.
Ayana suara serak, mencoba menahan emosinya
"Ibu... apa maksud Ibu mengatakan bahwa aku tak jelas asal-usulnya? Aku tidak mengerti... apa yang Ibu katakan?"
Ibunya terdiam sejenak, seakan ragu. Wajahnya tampak semakin keras, seolah mencari kata-kata yang lebih tajam untuk mengungkapkan ketidaksenangannya.
Ibu dengan nada marah, tetapi lebih tenang
"Kamu tidak akan mengerti, Ayana. Aku hanya... merasa kecewa. Dari awal kamu sudah menjadi masalah, dan aku tidak pernah tahu siapa dirimu sebenarnya."
Ayana menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Kata-kata ibu seperti pisau yang mengiris jantungnya. Ia merasakan ketidakpastian yang mendalam dalam dirinya, seperti ada sesuatu yang selama ini disembunyikan.
Ayana lebih tegas, tetapi suaranya bergetar
"Tolong jelaskan, Ibu. Aku ingin tahu. Mengapa Ibu mengatakan seperti itu?"
Ibunya menghela napas panjang, matanya melirik ke arah Raka yang sedang berdiri di sisi lain. Seperti sedang mempertimbangkan,raka yang juga menatapnya dengan tatapan memohon menggelengkan kepalanya seolah isyarat kumohon jangan katakan akhirnya berteriak cukup keras "bu cukup"
Namun pada akhirnya ibunya tetap memilih mengatakannya dan berbicara dengan nada yang lebih datar.
Ibu terdengar lebih muram
"Ayahmu... tidak pernah tahu tentang siapa sebenarnya keluargamu, Ayana. putriku meninggal di waktu bersamaan kau di lahirkan, aku terpukul dan ayahmu yang melihatku hampir depresi mengambil seorang bayi yang juga berasal dari rumah sakit bersalain yang sama, bayi itu di telantarkan ibunya sendiri."
Ayana terdiam, kata-kata ibunya mengusik kenyamanan yang selama ini ia rasakan tentang dirinya. Selama ini, ia merasa bahwa dirinya adalah anak yang sah dari keluarganya, tetapi kini, kata-kata ibunya membuat semua itu terasa penuh keraguan.
Ayana merasa tercekik oleh kata-kata ibu yang menjelaskan asal usulnya . Seakan-akan ada sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap lagi menantinya di depan.
Ayana menunduk, menahan air mata
"Kenapa Ibu tidak pernah memberitahuku tentang ini?"
Ibunya menghindari tatapan mata Ayana, seolah tidak ingin berbicara lebih banyak. Sementara itu, Raka mendekat, meletakkan tangan di pundak Ayana dengan penuh pengertian.
Raka lembut, menenangkan
"Ayana... mungkin ini bukan waktunya untuk memikirkan itu. Yang penting sekarang adalah Ayah. Jangan terlalu banyak memikirkan kata-kata Ibu."
Ayana tidak bisa berpikir jernih Perasaan hampa dan kebingungan terus membebaninya, rasa sesak menghantam dadanya.
Ayana menahan air mata, dengan suara pelan,pada akhirnya Ayana meminta maaf atas semua hal kacau semenjak kehadirannya sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari tempat itu
"Saya minta maaf, Ibu... saya tidak pernah bermaksud membuat Ibu merasa seperti ini."
Ibu mereka hanya terdiam, tidak mengucapkan sepatah kata pun setelah itu. Ayana merasa sangat terluka, Ia menatap Raka yang memberikan pandangan penuh kecewa kepada ibunya.
Ayana berbalik perlahan, suaranya berat
"Maaf, ka... aku perlu waktu sebentar."
Raka hanya mengangguk, melihat Ayana menjauh dengan langkah lemah. Dalam hatinya, Raka merasakan perasaan marah yang sama terhadap ibunya. Namun, ia juga tahu bahwa Ayana membutuhkan ruang untuk menerima semua yang baru saja terjadi.
Ayana berjalan keluar dari rumah sakit, menatap malam yang gelap, sementara Raka menatap ibunya dengan penuh kebingungan dan kesedihan.