Sebuah kejadian yang membuat seorang Anaya Putri (23tahun) harus hamil tanpa seorang suami. Naya harus merelakan kehormatannya ketika insiden tidak disengaja yang ditimbulkan karena salah alamat dan menjadi cinta satu malam bersama dengan pria asing.
Naya hidup sebatang kara, dia harus melahirkan, membesarkan dan merawat anaknya. Saat sang anak sudah besar, ternyata dia memiliki sifat yang sangat genius dan berusaha menyatukan kedua orangtuanya.
Mampukah Anaya menjalani kehidupannya?
Akankah kebahagiaan menyapanya di akhir kisah nanti? Dan siapa pria yang sudah membuat Naya menjadi berbadan dua?
YUK SIMAK KELANJUTANNYA 🥰
JANGAN LUPA SELALU MEMBERIKAN JEJAK MANIS DI SETIAP BAB NYA 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom AL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab #4
Dua bulan kemudian.
Naya terlihat berubah mulai dari bentuk tubuh, sikap, kebiasaan dan penampilan. Dirinya selalu mual saat ingin makan dan dia lebih sering merasa masuk angin dan perutnya tidak enak. Naya merasa itu semua memanglah masalah sakit bukan hal apapun, tetapi yang dia bingung'kan dirinya terlambat datang bulan. Ketakutan Naya semakin menjadi saat dia tidak suka dengan bau wangi parfumnya sendiri, melupakan hal itu Naya mencoba berpikir positif.
Hal berbeda yang Naya pancarkan tidak luput dari pandangan Bibi Rohimah, dia selalu memperhatikan gerak gerik Anaya selama beberapa bulan terakhir ini dan Naya terlihat sangat berbeda. Naya lesu, mudah lelah, pucat dan tubuhnya juga terlihat berisi. Rohimah curiga dengan Naya, terlintas dibenaknya tentang hal yang Sarah katakan tempo lalu jika Naya akan menjadi pemuas lelaki hidung belang karena uang yang tidak mencukupi.
Rohimah mencoba menepis semuanya karena biar bagaimanapun Naya tetaplah keponakannya, anak kandung dari kakaknya. Imah mencari cela untuk mengetahui tentang perubahan Anaya selama ini.
Seperti sekarang, Imah memanggil Naya yang sedang menyapu halaman.
"Nay, kamu libur kerja 'kan?"
Naya hanya mengangguk.
"Temani Bibi ke bidan dong, Bibi merasa pusing dan sepertinya meriang." Imah berpura-pura lemas dan menggigil.
Tanpa berpikir panjang, Anaya langsung mengangguk.
"Ayo, Bi. Naya akan menemani, tetapi Naya ganti baju dulu."
Imah mengangguk dan tersenyum senang karena rencananya berjalan lancar.
Mereka berdua pergi menuju rumah bidan yang tak jauh dari rumah Imah.
Beberapa saat kemudian.
Anaya dan Rohimah sampai di puskesmas, mereka segera masuk dan bertemu dengan Bidan.
Rohimah berpura-pura mengatakan keluh kesah yang sedang dia rasakan seperti halnya orang sakit. Bidan mendengarkan keluhan Imah, dia mengangguk dan memberikan obat berbentuk butiran pil kepada Imah.
"Apa Ibu mau disuntik?"
Imah dengan cepat menggeleng karena dia tidak suka disuntik.
"Beri saya obat saja, Bu Bidan."
Bidan menambahkan beberapa butir pil berwarna merah jambu sebagai tambahan untuk stamina tubuh Rohimah.
Saat hendak pulang, Rohimah berbasa-basi mengatakannya keadaan Naya.
"Tunggu, Naya!"
Anaya yang hendak keluar langsung menghentikan langkahnya, dia menoleh dan kembali mendekati sang Bibi.
"Ada apa, Bi?"
"Bibi melihat jika beberapa bulan terakhir ini ada yang berubah dari kamu, apa kamu sakit atau merasakan sesuatu hal yang aneh?"
Naya menelan ludah dengan kasar. "Naya baik-baik saja, Bi. Ayo kita pulang!"
Naya ingin berbalik pergi tetapi Imah mencegah.
"Kita periksakan kondisi kamu terlebih dulu, Bibi tidak akan tenang jika belum tahu keadaan kamu yang sebenarnya." Imah tetap memaksa.
"Tapi, Bi—" ucapan Naya terpotong karena Bidan dengan cepat menarik tangan Naya dan memeriksa.
"Apa kamu sakit? Saya lihat wajah kamu memang pucat dan lesu. Jika ada sesuatu hal yang menyerang kesehatan kamu sebaiknya kamu mengatakan kepada Bibimu agar tidak semakin serius." ucap Bidan dengan lembut.
"Saya baik-baik saja, Bu." Naya tetap berkilah.
Bidan menatap wajah Naya dengan serius, kemudian dia tahu raut-raut seperti Naya saat ini.
"Naya, saya minta agar kamu buang air kecil disini." Bidan memberikan wadah seperti tutup botol besar dan itu khusus tempat urine sebagai pengecek kehamilan.
Naya menghela nafas, dia tidak ingin sang Bibi curiga dan dirinya pun menuruti ucapan Bidan. Naya berdoa agar tidak terjadi sesuatu hal buruk setelah ini, semoga saja apa yang dia pikirkan tidaklah benar.
Beberapa detik kemudian, Naya keluar dengan membawa air seni nya dan meletakkan di meja.
Bidan mengambil testpack dan mencelupkan ke dalam wadah itu.
Menit kemudian.
Rohimah sudah penasaran dengan hasil yang akan Bidan katakan, dia tidak menyangka jika Bidan sampai akan melakukan hal itu.
Bidan memasang raut wajah sedih dan memberikan testpack itu kepada Anaya.
Naya menerima dengan tangan gemetaran, dia melihat ada dua gadis merah disana yang menandakan dirinya positif hamil.
"Saya sedikit kecewa dengan kamu, Naya. Banyak orang yang mengatakan jika kamu adalah gadis yang baik, polos dan sangat tahu tata cara bergaul serta sopan santun. Lalu apa ini, Naya?"
"Ada Bu Bidan?" Imah maju mendekati Anaya.
"Anaya positif hamil, Bu."
Imah melotot tidak percaya, dia melirik Naya dan merebut testpack itu dari tangan Naya. Bibirnya gemetaran, rahangnya mengeras dan dia sangat ingin menjambak rambut Naya saat ini.
"APA-APAAN INI, NAYA? LAKI-LAKI MANA YANG SUDAH BERANI MENGHAMILIMU, HAH? KATAKAN PADA BIBI! KAMU BENAR-BENAR TIDAK TAHU MALU!" Imah marah besar dan sangat emosi.
Naya hanya menangis sambil tertunduk. "Maafkan Naya, Bi. Naya tidak tahu siapa pria itu, semua ibu karena kesalahpahaman."
Plak!
Imah bisa menahan amarahnya.
"Perempuan murahan kamu! Bagaimana bisa kamu tidak tahu laki-laki itu, jangan-jangan selama ini kamu banyak menghabiskan waktu bersama dengan pria hidung belang, iya?" bentak Imah memaki Anaya.
Anaya hanya menggeleng.
Imah menarik rambut Naya dan menjambaknya dengan kencang hingga Naya kesakitan.
"Ampun, Bi. Maafkan Naya, berikan Naya kesempatan."
Imah menghempaskan tubuh Naya keluar dari puskesmas.
"Tidak tahu malu! Pembawa aib! Pergi kamu, saya tidak akan menganggap kamu sebagai keponakan lagi. Kamu ingat ucapan saya waktu itu 'kan? Saya tidak akan sudi mempunyai keponakan kotor seperti kamu! Pergi!" teriak Imah seperti kesetanan.
"Bi, tolong maafkan Naya. Berikan Naya kesempatan untuk memperbaiki diri, Naya tidak punya siapa-siapa lagi selain Bibi. Ini semua juga bukan kemauan Naya, Bi." Naya terus memohon.
"PERGI!'' teriak Imah semakin kencang hingga urat lehernya menegang.
Naya hanya menangis dan dia pergi berlalu, dirinya tidak ingin masalah ini menjadi panjang dan akhirnya Naya akan dihina, dicaci, serta direndahkan oleh seluruh masyarakat.
Bidan Anna mendekati Imah, dia mengelus pundak Imah dan mencoba menenangkan.
Satu jam kemudian.
Anaya melangkah menyusuri jalanan yang sangat padat karena masih banyak orang berlalu lalang untuk pergi bekerja. Naya saat ini tidak punya tujuan, dia hanya membawa beberapa pakaian, tabungan, dan ponsel jadulnya.
"Aku harus kemana? Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi dan hidup sebatang kara, ini semua bukan salahku dan aku juga tidak mau seperti ini." Naya menunduk sambil menangis.
Anaya sangat tidak bersemangat untuk menjalani hidup, dia ingin mati jika bunuh diri tidaklah berdosa.
"Aku sangat merindukan Ayah dan Ibu, aku ingin bersama kalian." Naya semakin terisak.
Saat Anaya hendak menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah mobil Alphard melaju dari arah depan dan Naya dengan cepat menutupi kepala karena mobil itu sudah sangat dekat dengannya. Sementara sang sopir, dia kaget bukan kepalang ketika mengetahui ada yang menyeberang jalan karena kala itu sopir ingin mendahului mobil besar di depannya.
Untung saja dia dengan sigap menginjak pedal rem dan membuat kecelakaan tidak sempat terjadi.
Seseorang yang duduk di kursi belakang heran dengan mobil yang berhenti tiba-tiba, orang itu menoleh ke depan dan melihat seorang wanita sedang berdiri di depan mobilnya dengan kedua tangan yang menutupi kepala.
•
•
**TBC