Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
"Maya.. Maya.."
Gerry merasakan hasrat yang luar biasa. Mereka berada di puncak asmara terlarang. Tapi mereka sudah tidak memperdulikannya.
Bibir dan lidah Gerry terus bermain di dada Maya, membuat rintihan Maya tidak kunjung berhenti. Gerry merasa gila mendengar rintihan Maya yang terdengar begitu erotis. Ia merasa tubuhnya panas terbakar. Begitu juga Maya.
Keringat sudah membasahi keduanya padahal suhu kamar sangatlah dingin.
"Aku tidak tahan lagi untuk menyatukan diri Kita, May." Gerry terengah.
"Lakukanlah, Sayang.." Maya mengerang seraya memejamkam matanya. Ia terlihat pasrah.
Dirga bergerak maju, menembus belantara milik Maya dengan penuh kelembutan. Walhasil, ia merasa terjepit dalam seribu kenikmatan.
"Oouuuh! Mayy.. Mmmh.." Maya menggigit dada Gerry saat benda terlarang itu memasukinya. Mereka mulai berpacu. Memberi hentakan penuh kenikmatan. Berpacu dalam dosa baru yang dilakukan Maya.
Apa ia menyesal?
Tentu saja tidak! Syaithon justru membuat mereka ketagihan dan ingin melakukannya lagi. Dan lagi.
Gerry mengecup kening Maya setelah pendakian mereka sampai pada puncaknya.
"Kamu sangat nikmat, May." ucap Gerry dengan nafas masih memburu.
"Kamu nakal!" ketus Maya yang di sambut dengan remasan pada bukit kembarnya.
"Gerry!" Maya merujuk tapi dengan nada manja. Tiba - tiba Gerry teringat sesuatu.
"Cepat Kita bersih - bersih sebelum yang lain datang." Maya merasa enggan bangun dari tempat tidurnya hingga Gerry membopongnya ke kamar mandi. Mereka jadi seperti sepasang pengantin yang baru melewati malam pertama.
"Gerry~?" desah Maya. Gerry kembali menghujani lehernya dengan kecupan - kecupan panas. bagaimana tidak, Maya terlihat begitu menggoda di hadapannya.
"Aaaahhh.." lenguhan yang keluar dari bibir Maya membuat Gerry mendorong Maya ke dalam bathtub. Mereka mulai bergumul di bawah curahan shower. Kali ini Maya yang tersadar,
"Nanti mereka.."
"Sekali lagi.." geram Gerry.
Sebenarnya Maya juga ingin melakukannya lagi di kamar mandi jika saja ia tidak ingat teman - temannya yang lain akan segera tiba.
"Ger, nanti mereka keburu datang!"
Gerry menghentikan aksinya,
"Ayok, cepat." ia menarik Maya keluar dari kamar mandi setelah mereka selesai membersihkan diri.
Terdengar suara lirih percakapan di luar kamar.
"Mereka datang! Bagaimana ini?" Maya panik. Gerry berpikir cepat dan menarik Maya ke tempat tidur.
"Kita pura - pura tidur aja." bisik Gerry sambil menutupi tubuh mereka dengan selimut.
Tidak lama kemudian Yuli memasuki kamar. Ia terkejut melihat Gerry dan Maya tidur dalam satu ranjang. Lampu kamar yang temaram membuat Yuli tidak menyadari kalau rambut mereka berdua basah.
"Gerry! Ger! Kenapa Kamu malah tidur di sini, sih?" Yuli mengguncang tubuh Gerry.
Gerry pura - pura terbangun dan menguap.
"Apa, sih?" katanya malas, seakan tidak menyadari kebersamaannya dengan Maya.
"Kok Kamu malah tidur di sini? Ingat, Kamu punya istri! Maya juga punya suami!"
Gerry berdecak kesal seraya bangun dari tempat tidur.
'Kenapa Dia jadi ngingetin Aku sama mayat hidup itu, sih?' sungut hatinya.
"Apa, sih? Kan cuma tidur bareng doang? Maya nggak bangun - bangun jadi Aku ikut tiduran di sini buat nemenin Dia, eh malah ketiduran!" Maya menahan senyumnya dari balik selimut.
Yuli menghela nafas.
"Emang Maya tuh, kebluk banget!" omelnya.
'Sialan!' hati Maya mengumpat.
"Udah sana! Kembali ke kamarmu!" usir Yuli pada Gerry.
"Emang Kamu udah hangat?" tanya Gerry.
"Aku udah minum wedang jahe, minum sekoteng juga."
Yuli mengangguk. Ia juga sudah memakai jaket double. Jaketnya dan jaket Rangga, suaminya.
Sementara Maya menggerutu dari balik selimutnya.
"Sialan si Yuli! Bawain, kek! Bikin kepengen aja!"
Dengan malas Gerry beringsut keluar. Tapi sebelum itu ia menempelkan bibirnya oada telinga Maya,
"Minggu depan Kita datang lagi ke sini. Berdua aja." bisiknya. Maya seakan berhenti bernafas.
"Bisikin apa, Kamu? Dibangunin aja nggak bangun!" sentak Yuli.
"Aku bisikkin biar tidur nyenyak sampai pagi. Jangan terganggu sama nenek - nenek bawel di sebelahmu!"
"Sialan!" bantal melayang ke kepala Gerry yang menerimanya dengan tawa lepas.
"Keluar nggak!" sentak Yuli galak. Kembali Maya menahan senyumnya.
Gerry keluar. Yuli masih bersungut - sungut.
"Heran. Maya kenal di mana sih, sama orang itu? Tengil banget!"
******************
"Kemana rencana kita hari ini?" tanya Dirga yang merasa hatinya sungguh tidak enak sejak semalam. Ia nyaris tidak tidur semalaman.
Tikno melihat mata Dirga yang merah.
"Biasa. Ke Jatibarang. Ada pesanan pasir dalam jumlah banyak. Mungkin Aku akan bawa 2 truk." Dirga mengerjapkan matanya. Ini kesempatan buatnya.
"Aku yang bawa, ya?"
"Apanya?"
"Truk satunya. Sopirmu kan cuma 1?" Tikno menatap Gerry.
"Apa Kamu punya sim B?" Dirga menggeleng. Semangatnya pupus sudah. Andai dia yang membawa mobil, penghasilannya sudah pasti jauh lebih besar daripada hanya membantu menaik turunkan pasir.
"Lagipula Aku udah manggil sopir cabutan." Tikno menepuk bahu Dirga.
"Lain kali, ya?"bujuknya seperti pada anak kecil.
"Tapi Aku nggak punya SIM B." keluh Dirga.
"Gampang. Nanti Kita bikin sama - sama." Dirga menatap Tikno. Tikno mengerti arti tatapan sahabatnya ini.
"Aku yang modalin!"
"Jangan, ah! Nanti Aku aja yang usahain sendiri." tolak Dirga. Ia merasa malu hati.
"Udahlah, kayak sama siapa aja, sih..!" Tikno memukul bahu Dirga perlahan.
Dirga tersenyum kecut.
"Aku malu, Tik."
"Malu apa, sih? Malu ama siapa? Emang Kamu ketahuan maling jemuran?"
"Sialan!" mereka tertawa terbahak - bahak.
"Jangan ketawa mulu. Nanti masuk angin." celetuk Kirana yang tiba - tiba datang membawa 2 gelas kopi dan sepiring kue lumpur.
"Ganjel perut dulu." katanya lagi.
"Makasih, Kirana." ucap Dirga dengan penuh ketulusan.
"Dengan senang hati." Kirana tersenyum.
"Mana punyaku, Sayang?" tanya Tikno. Kirana memegang salah satu gelas.
"Yang ini. Tanpa gula, kan?"
"Makasih, Sayang Embeb." katanya mesra. Kirana melempar senyumnya sebelum kembali ke dalam.
"Kok Kamu suka banget sih, kopi tanpa gula? Pahit, kan?" Dirga membuat ekspressi bila meminum jamu godogan.
"Aku melihat Kirana saja semuanya jadi terasa manis." gombalnya. Dirga tertawa melihat kebucinan sahabatnya ini.
"Ayok Kita habiskan dulu apa yang Kirana sediakan. Baru Kita berangkat."
Dirga mengangguk dan mulai menghirup kopinya.
"Kamu masih terus masukkin lamaran?"
Dirga tetap melayangkan lamaran pekerjaan lewat online. Tapi belum juga ada tanggapan. Bahkan ia juga melamar lewat link yang dikirimkan oleh Arka dan Galih, sahabatnya semasa di kantor dulu. Tapi ia memang masih belum beruntung.
"Masih. Tapi hasilnya," Dirga menautkan jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk bulatan.
"Sabar, jangan menyerah. Demi anak - anak dan Maya."
Dirga tersenyum pahit. Demi anak - anak mungkin iya, tapi demi Maya? Rasanya Dirga sudah tidak dapat menggapainya lagi.
Mereka menikmati sarapannya dengan cepat.
"Ga, Aku ikut mobil yang ini, ya? Kamu yang itu." pinta Tikno.
"Kenapa Kita tidak 1 mobil seperti biasanya?" tanya Dirga heran. Perasaan insecurenya tumbuh dengan sendirinya. Apa Tikno bosan bersamanya?
****************