DITALAK Karena Mendesah
"Aku mau, Sayang.." bibir Dirga nyosor seperti soang. Maya menahan bibir sang suami yang mengarah ke lehernya.
"May, Sayang?" mata Dirga meredup karena hasratnya. Bibirnya nyosor lagi. Kali ini Maya tidak menolak. Ia membiarkan bibir Dirga memagut lehernya.
"Ahh.." suara desahan yang lolos dari bibir Maya, membuat Dirga tidak tahan lagi. Ia ingin melanjutkan aksinya,
"Kamu mau, Pa?"
"Hmmm..."
"Aku juga mau."
Dirga mendorong istrinya. Maya terjatuh di pembaringan. Tapi ia langsung bangkit lagi.
"Dengerin Aku dulu, Pa. Aku mau apa emangnya?"
"Mau.. Itu, 'kan?" Maya mendorong wajah sang Suami.
"Aku mau kalung seperti punya Mbak Safira." tubuh Dirga membeku sesaat. Itu lagi yang diminta Maya. Dari kemarin, kemarinnya lagi, kemarin - kemarinnya lagi..
"May, Kamu tau Kita ini lagi susah.." Dirga terkejut karena Maya langsung meledak,
"Aku nggak bisa begini terus!"
"Terus Kamu maunya gimana, May? Kamu tau, sekarang Aku ini cuma pekerja serabutan! Ngerti, dong! Kamu ini terlalu lebay! Kamu nggak mau ngerti keadaanku sekarang!" hasrat Dirga bukan hanya buyar tapi hilang terbang seiring rasa kecewanya.
"Aku nggak lebay, Pa! Kamu jadi Suami yang nggak bisa membahagiakan istri! Kamu payah! Nggak berguna!!"
"Hati hati kalau ngomong!" tangan Dirga terangkat.
"Tampar! Tampar aja! Memang Kamu itu nggak ada gunanya!" Maya bergegas keluar dari kamar.
Brakk!
"May!" tangan Dirga terkepal. Maya, istrinya yang cantik dan bahenol itu sudah keluar dari rumah seraya membanting pintu.
Maya melenggang keluar rumah dengan marah. Ia berjalan tergesa meski belum tau arah tujuan.
"Mau ke mana, May?" tanya Bu Ranti, tetangga sebelah rumah.
"Mau ke mana aja juga bolleeh..! Yang penting keluar dari neraka dunia ini!"
"Astagfirullaah..!" Bu Ranti terkaget - kaget.
Dirga keluar dari rumah dengan wajah merah padam.
"Berantem lagi, Ga? Kok berantem terus, sih? Padahal Kalian dulu romantis banget, lho."
"Maya ke manain, Bu?" alih - alih menjawab pertanyaan tetangganya Dirga justru balik bertanya.
"Ke sanain, tuh!" Bu Ranti menunjuk dengan dagunya. Tangannya memegang selang air untuk menyiram tanaman.
"Mau ke mana Dia, ya?" desis Dirga tapi masih terdengar oleh telinga Bu Ranti yang tajam, setajam silet! Namanya juga biang gosip.
"Paling juga ke rumah Putri!"
"Putri? Putri itu siapa, Bu?"
"Masa' Kamu nggak tau? Putri itu tenar banget, lho!"
"Memangnya Dia itu selebritis?"
"Bukaaan!"
"Selebgram? Tiktoker? You tuber? Lalu apa?" desak Dirga karena Bu Ranti terus menggeleng. Tangannya juga ikut bergerak ke kanan dan ke kiri. Air selang pun memancar kian kemari.
"Putri itu orang yang jualan duit!"
Jualan duit? Dirga semakin bingung.
"Kalau duit yang dijual, bayarnya pakai apa?" tanya Dirga bodoh.
"Ya pakai duit juga, lah. Tapi berlipat lipat." Dirga tercengang. Untuk apa beli duit? Mana harus bayar berlipat lipat, lagi.
"Bagaimana?" tanya Dirga. Ia benar - benar tidak mengerti.
Bu Ranti tersenyum geli melihat wajah Dirga yang terlihat bodoh karena bingung.
"Putri itu rentenir, Ga."
'Astaghfirullaah.' batin Dirga mengeluh. Buat apa Maya menemui rentenir? Apa Ia tetap ingin membeli kalung itu?
"Satu juta jadi satu juta dua ratus."
"Apanya?" kepala Dirga seperti berputar.
"Bayarnya dalam waktu sebulan aja. Kalau lewat waktunya, ada dendanya."
Denda?
"Ibu pernah beli?" lagi - lagi pertanyaan yang bodoh.
Bu Ranti mengibaskan tangannya dan otomatis air dari selang juga bercipratan tak tentu arah.
"Sebenarnya Ibu juga,"
Bu Ranti mematikan keran air dan meletakkan selangnya begitu saja. Ia ingin menghampiri Dirga untuk berbicara lebih lanjut tapi Pak Budi, sang suami, bergegas keluar dari rumah dan menarik tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah seraya berkata,
"Maaf ya, Ga. Bapak ada perlu sama Ibu, nih."
"Oh iya, Pak. Mangga." Dirga melihat Bu Ranti yang seperti di seret masuk ke dalam rumahnya.
"Apaan sih, Pak." masih terdengar suara protes Bu Ranti. Setelah itu tidak terdengar apa - apa lagi.
Dirga menghela nafas. Bagaimana kalau Maya berurusan dengan yang namanya Putri itu?
"Kenapa Aku nggak tanya rumahnya si Putri itu di mana?" Dirga menepuk jidatnya.
*************
"Ya. Satu juta jadi satu juta duaratus." Maya mengangguk membenarkan tanpa sungkan lagi.
"Kamu pinjem, May?"
"Pinjam? Mau bayar pakai apa?" Maya melengak. Dalam hati Dirga bersyukur. Istrinya ini masih memiliki kesadaran. Tapi Maya belum selesai,
"Nggak tau kalau kepepet,"
"Jangan, May. Ingat anak - anak."
"Justru itu buat mereka! Kamu emang bisa memenuhi kebutuhan mereka?"
"Tapi dulu Aku kan.."
"Itu 'kan, dulu! Emang Kita hidup dengan masa lalu?"
"Jangan, May. Plese, jangan. Kamu mau Aku mati berdiri?"
"Kalau mati 'kan tinggal di kubur!"
Plak!
Dirga spontan menampar Maya.
"Kamu!" Maya memegang pipinya yang terkena tamparan. Dirga tersadar dan berusaha mengusap pipi Istrinya itu.
Maya langsung mundur beberapa langkah.
"Maaf May, Aku.."
"Tampar aja sampai Kamu puas!" jerit Maya kalap. Pertengkaran dimulai lagi. Selalu begitu.
Sejak perusahaan tempat Dirga bekerja mengurangi jumlah karyawannya dan Dirga termasuk yang terkena pengurangan karyawan itu, kebahagian mereka hanya tinggal kenangan. Padahal posisi Dirga sudah cukup bagus dan gajinya juga besar.
Dirga juga mendapat uang kompensasi yang cukup besar, tapi kebiasaan hidup mereka yang boros hanya mampu menghidupi mereka selama sekian bulan. Mereka mulai menjual harta benda mereka seperti mobil dan perhiasaan. Hanya tersisa rumah yang mereka tempati sekarang.
"Aku bosan begini terus! Aku mau seperti dulu lagi! Kamu dengar, Pah?"
"Sabar, May. Aku kan tetap berusaha!"
"Sabar! Sampai kapan? Sampai Aku jadi nenek - nenek?"
"May! Kamu.."
Kali ini Dirga yang memilih keluar rumah untuk menenangkan diri. Tapi ia tidak kemana mana. Ia memilih duduk di teras.
"Kenapa Kami jadi begini?" Dirga mengacak rambutnya kasar.
Kehidupn mereka dulu begitu sempurna.
Mereka memiliki sepasang anak. Rania dan Raka yang masih duduk di kelas 4 dan 3 sekolah dasar. Mereka belum pulang sekolah
sekarang.
Brang! Breng! Brukk! Prang!
Maya juga nemiliki hoby baru yaitu melempar - lempar barang saat ia marah.
"Habis ya habis, lah!" gigi Dirga gemelutuk menahan marah.
Nanti, setelah amarah Maya mereda, ia sendiri yang akan membereskan kekacauan yang ia buat.
Dirga merasa perutnya perih. Dari pagi perutnya belum terisi apa - apa. Ah, tidak. Sebelum marah Maya sempat membuatkan kopi untuknya. Itu juga ditambahi dengan ucapan,
"Ini kopi yang terakhir, Pa. Kopinya habis." tapi Dirga masih dapat menyeruput kopi itu dengan nikmat tanpa memperdulikan tatapan pedas istrinya.
Hasratnya bangkit melihat istrinya hanya mengenakan kaos ketat dan celana pendek setelah mandi. Dadanya yang membusung dan pantat semoknya membangkitkan kelelakiannya yang hampir mati suri belakangan ini.
"padahal Aku udah berusaha terus untuk mendapat pekerjaan yang layak agar Kita bisa kembali seperti dulu. Kalau Aku masih belum berhasil, apa Aku salah?"
Dirga tersenyum pahit. Sepahit kehidupannya saat ini.
"Aaaaaa!!" jeritan Maya mengejutkannya.
**********************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Lucielxv
terpukau dengan plot yang rumit namun teratur.
2024-09-02
1