"Ada rahasia yang lebih dalam dari kegelapan malam, dan ada kisah yang lebih tua dari waktu itu sendiri."
Jejak Naga Langit adalah kisah tentang pencarian identitas yang dijalin dengan benang-benang mistisisme Tiongkok kuno, di mana batas antara mimpi dan kenyataan menjadi sehalus embun pagi. Sebuah cerita yang mengundang pembaca untuk menyesap setiap detail dengan perlahan, seperti secangkir teh yang kompleks - pahit di awal, manis di akhir, dengan lapisan-lapisan rasa di antaranya yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup sabar untuk menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pantulan dalam Waktu
Cermin Kedua melayang di udara, berkilau dengan cahaya yang seolah berasal dari masa lalu dan masa depan sekaligus. Mei mengulurkan tangannya yang bebas, jari-jarinya gemetar saat hampir menyentuh permukaan cermin yang beriak itu. Namun sebelum dia bisa meraihnya, suara retakan keras memenuhi udara.
"Jangan!" Wei An berteriak, tapi sudah terlampau terlambat.
Lantai pagoda di bawah kaki mereka mulai retak, pola-pola yang terbentuk tampak seperti jaring laba-laba yang terbuat dari cahaya keemasan. Dari dalam retakan itu, kabut keperakan merayap naik, membawa aroma yang mengingatkan Mei pada teh melati yang sudah terlalu lama diseduh—manis dan pahit sekaligus, dengan jejak kesedihan yang dalam.
"Mereka bangun," Madam Lian berbisik, wajahnya yang awet muda kini menunjukkan usia yang sebenarnya untuk pertama kalinya. "Para Pengembara."
"Pengembara?" Mei bertanya, masih menggenggam Cermin Pertama dengan erat sementara Cermin Kedua tetap melayang di hadapannya.
Master Song melangkah maju, sisik-sisik di kulitnya berkilau lebih terang dari sebelumnya. "Mereka yang tersesat dalam celah waktu," dia menjelaskan, suaranya dalam dan bergema. "Jiwa-jiwa yang terjebak antara masa lalu dan masa depan saat kami pertama kali mencoba ritual pengikatan."
Dari dalam kabut, bayangan-bayangan mulai terbentuk. Sosok-sosok manusia yang tampak setengah transparan, bergerak dengan cara yang tidak alami—seolah mereka berenang melawan arus waktu itu sendiri. Wajah mereka terus berubah, dari muda ke tua dan kembali muda lagi, seperti bulan yang berganti fase dalam hitungan detik.
"Lima ratus tahun yang lalu," Wei An melanjutkan, matanya yang retak memantulkan cahaya dari kedua cermin, "ketika kami mencoba mengikat kekuatan Naga ke dalam diri kami, tidak semua orang dalam ritual itu adalah Penjaga." Dia berhenti sejenak, rasa bersalah terlihat jelas di wajahnya. "Beberapa adalah... eksperimen."
Mei merasakan dingin yang menusuk tulang merambat di punggungnya. "Eksperimen?"
"Kami membutuhkan cara untuk memastikan tubuh manusia bisa menampung kekuatan Naga," Madam Lian mengakui, suaranya penuh penyesalan. "Sebelum mencobanya pada diri kami sendiri."
Salah satu bayangan dalam kabut bergerak mendekati Mei. Saat sosok itu mendekat, Mei bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas—seorang gadis muda, mungkin seusianya, dengan mata yang tampak terlalu tua untuk wajahnya yang belia. Gadis itu mengulurkan tangan, jari-jarinya yang transparan hampir menyentuh permukaan Cermin Kedua.
"Liu Xian," Master Song berbisik. "Putri seorang pedagang teh yang mempercayai janji-janji kosong kami."
Bayangan gadis itu—Liu Xian—menoleh ke arah Master Song. Bibirnya bergerak membentuk kata-kata, tapi yang keluar hanyalah suara derak es yang retak. Ekspresinya berubah-ubah antara kesedihan mendalam dan kemarahan yang membara.
"Apa yang terjadi pada mereka?" Mei bertanya, meski sebagian dari dirinya takut mendengar jawabannya.
"Ritual pertama kami gagal," Wei An menjawab. "Alih-alih mengikat kekuatan Naga ke dalam diri mereka, ritual itu mengikat mereka ke dalam celah waktu—tempat di mana masa lalu, kini, dan nanti berbaur menjadi satu." Dia mengangkat tangannya, mencoba menyentuh bayangan Liu Xian, tapi gadis itu menjauh dengan gerakan yang terlalu cepat untuk mata manusia. "Mereka menjadi Pengembara, terjebak dalam momen yang sama selama lima ratus tahun, tidak bisa mati tapi juga tidak benar-benar hidup."
Lebih banyak bayangan bermunculan dari kabut, masing-masing bergerak dengan cara yang berbeda namun sama-sama menyakitkan untuk dilihat. Beberapa tampak seperti sedang berlari di tempat, yang lain seolah terjebak dalam gerakan yang terus berulang—menuang teh yang tak pernah habis, membaca gulungan yang tak pernah selesai.
"Dan sekarang mereka bangun," Madam Lian menambahkan, "karena kedua Cermin telah bersatu kembali. Mereka merasakan kesempatan untuk bebas."
Tiba-tiba, lantai pagoda bergetar lebih keras. Retakan-retakan cahaya merambat naik ke dinding, membentuk pola yang mengingatkan Mei pada guratan-guratan dalam daun teh yang telah diseduh—seolah bangunan itu sendiri adalah cangkir raksasa yang sedang dibaca.
"Kita kehabisan waktu," Master Song berkata, nadanya mendesak. "Mei, kau harus membuat pilihan sekarang."
"Pilihan apa?" Mei bertanya, frustrasi dalam suaranya. "Kalian masih belum menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sini!"
Wei An melangkah maju, matanya yang retak kini berkilau dengan warna yang berbeda di setiap pecahan. "Lima ratus tahun yang lalu, kami membuat kesalahan dengan mencoba menjadi sesuatu yang tidak seharusnya. Kami mencoba mengambil kekuatan para Naga untuk diri kami sendiri, menggunakan orang-orang tak berdosa sebagai percobaan." Dia menunjuk pada bayangan-bayangan yang terus bermunculan. "Ini adalah harga dari keserakahan kami."
"Tapi kau," Madam Lian melanjutkan, "kau adalah anomali yang tidak kami prediksi. Dalam setiap lintas waktu, dalam setiap kemungkinan, selalu ada satu jiwa yang bisa menerima kekuatan itu secara alami—tanpa paksaan, tanpa ritual."
"Dan jiwa itu selalu muncul dalam bentukmu," Master Song menyelesaikan. "Seorang gadis yang bisa membaca kenangan dalam teh, yang memiliki tanda Naga sejak lahir."
Mei menatap kedua Cermin di hadapannya—yang pertama di tangannya, yang kedua masih melayang di udara. Dalam pantulan keduanya, dia melihat versi-versi berbeda dari dirinya: seorang guru teh di masa lalu yang jauh, seorang pendeta kuil di masa depan yang belum terjadi, dan ribuan kemungkinan lain yang berkedip seperti kunang-kunang dalam malam.
"Jika aku adalah jiwa itu," Mei berkata perlahan, "lalu apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku bisa membantu mereka?" Dia menunjuk pada para Pengembara yang jumlahnya terus bertambah.
"Kau bisa menggunakan kedua Cermin untuk membuka jalan bagi mereka," Wei An menjawab. "Memberi mereka kesempatan untuk melanjutkan perjalanan mereka—entah ke masa lalu atau masa depan."
"Tapi," Madam Lian menambahkan dengan nada peringatan, "melakukan itu berarti membuka celah dalam waktu itu sendiri. Dan celah seperti itu... bisa menarik hal-hal lain untuk masuk."
"Hal-hal seperti apa?" Mei bertanya, meski dia mulai menduga jawabannya.
"Para Naga," Master Song menjawab. "Yang selama ini tertidur dalam lukisan, menunggu kesempatan untuk kembali ke dunia."
Lantai pagoda bergetar semakin keras, dan bayangan-bayangan para Pengembara mulai bergerak lebih cepat, lebih putus asa. Liu Xian, yang masih melayang di dekat Mei, mengulurkan tangannya lagi—kali ini dengan gerakan memohon yang menyayat hati.
Mei menatap tangannya yang menggenggam Cermin Pertama, lalu beralih pada tanda di pergelangan tangannya yang kini bersinar dengan cahaya keemasan. Lima ratus tahun sejarah, ribuan kemungkinan takdir, dan semua bermuara pada momen ini—pada pilihan yang harus dia buat.
"Bagaimana aku bisa yakin bahwa ini adalah pilihan yang benar?" dia bertanya, lebih kepada dirinya sendiri.
"Kau tidak bisa," Wei An menjawab jujur. "Seperti teh yang belum diseduh, masa depan selalu menyimpan misteri."
"Tapi seperti air yang selalu menemukan jalannya," Madam Lian menambahkan, "waktu juga selalu menemukan keseimbangannya sendiri."
Master Song melangkah maju, sisik-sisik di kulitnya kini membentuk pola yang sama dengan retakan di lantai. "Yang perlu kau tanyakan pada dirimu sendiri adalah: apa yang akan kau lakukan dengan kekuatan untuk mengubah waktu?"
Mei memejamkan mata, mencoba merasakan aliran energi dari kedua Cermin. Dalam kegelapan di balik kelopak matanya, dia melihat ribuan kemungkinan bermain seperti film yang diputar terlalu cepat: dunia di mana para Naga tidak pernah tertidur, dunia di mana ritual tidak pernah gagal, dunia di mana teh tidak pernah menyimpan kenangan.
Tapi di antara semua kemungkinan itu, satu visi berdiri paling jelas: sosok Liu Xian yang tersenyum, bebas dari kutukan waktu, menikmati secangkir teh di kedai yang familiar.
Perlahan, Mei membuka matanya.
"Mungkin," dia berkata, suaranya lebih mantap dari yang dia duga, "ini bukan tentang membuat pilihan yang benar." Dia mengangkat Cermin Pertama, mengarahkannya ke Cermin Kedua yang masih melayang. "Tapi tentang membuat pilihan yang kita bisa hidup dengannya."
Saat kedua Cermin mulai beresonansi satu sama lain, kabut di sekeliling mereka berputar semakin cepat, membawa aroma teh yang semakin kuat—seperti ribuan cangkir yang diseduh sekaligus, masing-masing menyimpan cerita yang berbeda.
Dan di tengah pusaran waktu yang mulai terbuka, Mei Zhang membuat pilihannya.