Aruna, namanya. Gadis biasa yatim-piatu yang tidak tau darimana asal usulnya, gadis biasa yang baru memulai hidup sendiri setelah keluar dari panti asuhan di usianya yang menginjak 16 tahun hingga kini usianya sudah 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandri Ratuloly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sebelas
Belum sampai jarum jam pendek menunjuk angka delapan malam. Cafe malam ini sudah tutup tepat pukul jam tujuh, hari ini pelanggan tak begitu banyak makanya di tutup cepat. Baru jam enam, pelanggan yang ada cuman terisi dua kursi saja, setelahnya tidak ada satupun pelanggan yang masuk, daripada menunggu yang tidak pasti, akhirnya Arjun memerintah untuk menutup cafe lebih awal saja.
"Mas Arjun, Aruna. Aku balik pulang dulu ya. " pamit Kinan terlebih dahulu setelah pindah belakang cafe sudah di kunci dengan baik. Membunyikan klakson motornya sebentar kemudian pergi meninggalkan Arjun dan Aruna.
"Iya, hati-hati di jalan kak, Kinan. " seru Aruna pada perempuan berumur dua puluh dua itu, tangannya melambai singkat pada Kinan kemudian beralih pada Arjun yang sibuk mengecek barang bawaannya, takut ada yang kelupaan.
"Udah, mas? " tanyanya.
Arjun mengangguk, menaiki motornya terlebih dahulu. "Yok, naik. " pintanya.
Aruna naik dibelakang jok motor, setelah merasa semuanya siap dan aman. Arjun melajukan motornya dengan kecepatan sedang, sedikit menikmati suasana malam yang tampak begitu ramai dengan manusia-manusia yang sibuk berlalu lalang, beberapa gerobak jajanan begitu ramai akan pembeli yang mengantri.
Aruna cukup menikmati dengan semua pemandangan yang jarang sekali dilihatnya ini, angin malam yang menerpanya membuat Aruna memejamkan matanya sejenak.
"Aruna, mampir bentar ke penjual martabak manis dulu ya, buat nyemil nanti dirumah sama ibu. " suara Arjun samar di dengarnya karena angin malam membawanya, tapi masih di dengar baik oleh Aruna dibelakang.
"Iya, mas. " jawabnya simpul, hingga motor dikendarai Arjun berhenti di salah satu gerobak martabak yang tidak begitu panjang antriannya.
Aruna turun dan kemudian di susul Arjun setelahnya. Aruna duduk di salah bangku kursi kayu, sepertinya akan sedikit memakan waktu untuk menunggu, dengan keadaannya yang berbadan dua. Aruna tidak kuat untuk berdiri lama.
"Mas, martabak manis yang original satu sama coklat kacang satu, ya." ujar Arjun, melepaskan helm di kepalanya dan ikut duduk di sebelah Aruna.
"Dingin? " tanyanya pada Aruna, melihat perempuan itu memeluk tubuhnya sendiri.
Aruna mengangguk kecil, "Tapi sejuk, mas. Aku suka. "
"Kamu mau jajan, gak? Beli sana, beli yang kamu mau. " Arjun menyenggol kecil tangan Aruna dari samping, melihat perempuan itu tampak asik sekali menatap sekeliling yang begitu ramai dengan para pembeli yang mengantri, gerobak penjual berbagai macam berjejer rapi di sepanjang pinggiran jalan.
"Gak usahlah, mas. Mas Arjun kan udah beli martabak manis. " tolak Aruna sambil menggeleng kepalanya-menolak.
"Gapapa." Arjun membuka tas kecil hitam yang sering dibawanya, mengeluarkan uang berwarna biru dan diberikan pada Aruna. "Kamu beli jajan sana, mas tau kamu ada yang kepengen mau beli, kan? "
Aruna menatap sebentar uang yang disodorkan Arjun kemudian beralih menatap wajah laki-laki itu, "Seriusan, gapapa mas? " tanyanya memastikan.
"Gapapa lah, emang kalau mas kasih uang segini sama kamu, mas langsung kehabisan uang apa? Belanjain buat adek, gapapa kali. "
Aruna menebarkan senyum lebarnya, menerima uang di berikan Arjun dengan senang hati. "Makasih banyak ya, mas. Kalau gitu aku ke sana dulu. " pamit perempuan kecil itu sambil menunjuk asal kearah gerobak di depan sana.
Arjun cuman menggeleng-geleng kepalanya dengan tingkat lucu Aruna.
"Adeknya ya, mas? " tanya mas penjual martabak, yang ternyata sedari tadi menyaksikan keduanya tadi.
Arjun merekah senyumnya, "Iya, mas. Adek saya. "
Setelahnya obrolan semakin berlanjut, entah membahas apa saja, laki-laki memang cepat sekali akrab. Hingga akhirnya Aruna datang dengan tangan yang menenteng satu plastik jajan yang Arjun gak tau apa isinya.
"Udah jajannya? Beneran cuman beli itu aja, gak mau nambah yang lain? " tanya Arjun saat Aruna sudah duduk kembali di sampingnya, perempuan itu tampak mengendus-endus aroma harum dari jajanan di belinya.
"Gak, mas. Aruna cuman kepengen makan ini aja, ini uang kembaliannya mas. " Aruna menyerahkan uang kembalian pada Arjun. "Makasih banyak ya, mas Arjun yang ganteng. " setelah mengucapkan itu Aruna kembali mengendus-endus kantong plastik itu.
Sepertinya perempuan hamil itu tidak sabar sampai rumah dan menikmati jajanannya.
"Ini, mas. Pesanannya."
Arjun sontak berdiri saat pesanannya telah jadi, memberikan uang pas pada mas penjual. Mengucapkan terimakasih kemudian keduanya kembali naik ke atas motor dan melaju menuju rumah Arjun.
Beberapa menit kemudian. Motor di kendarai Arjun telah masuk di pagar rumah minimalis. Aruna di belakang langsung turun, menenteng belanjaan mereka tadi. Dia masuk ke dalam rumah meninggal Arjun yang tengah memarkirkan motornya di bagasi, tidak lupa juga mengunci pintu pagar dengan rapat.
"Aruna sayang, anak mama. Akhirnya kamu datang juga kerumah, kamu nginap di sini kan malam ini? " Mama Arjun menarik pelan tangan Aruna menuju meja makan, dia baru saja menyelesaikan masak untuk makan malam. "Kamu belum makan malam, kan? Kita makan bareng-bareng ya, kebetulan juga mama ada masak ayam rica-rica kesukaan kamu. "
Arjun yang baru masuk dan menuju ruang makan langsung menghela nafas. Mamanya kalau udah lihat Aruna pasti dirinya selalu di anak tirikan, menyimpan tas serta jaket di atas sofa. Arjun melangkah untuk gabung bersama dua perempuan beda generasi itu.
"Aruna doang nih yang di sambut sama di siapin makan, Arjun gak nih? " protesnya melakukan sesi pura-pura ngambeknya.
Mama yang sedari tadi sibuk pada Aruna menoleh, menatap anak semata wayangnya yang tampak cemberut karena di duakan oleh sang mama. "Iya. Ini mama siapin makanan buat kamu, gak usah ngambek ih muka kamu langsung jelek tuh. " ejek mama, yang membuat Aruna tertawa begitu puas, beda lagi dengan Arjun yang semakin ngambek. Beneran ngambek kali ini, karena dikatain jelek.
"Gak usah ngambek gitu ih, mama cuman becanda tadi. Makan yang banyak ya, habis itu langsung bersih-bersih, Aruna juga, nanti pakai baju mama aja gantinya. " ujar mama. Aruna cuman ngangguk aja, mulutnya sibuk mengunyah dengan nikmat. Masakan mama tidak ada tandingan, selalu enak dan pas di lidahnya.
Selesai dengan acara makan malam dan membantu membereskan dan mencuci piring kotor. Aruna masuk ke dalam kamar mama untuk membersihkan dirinya. Hingga beberapa menit kemudian, ketiga orang itu sudah duduk manis di ruang santai, sambil menikmati martabak manis dibeli tadi dengan mata yang tertuju pada layar persegi didepan yang menayangkan sebuah film.
Aruna yang duduk di pinggir sisi kanan sofa tampak begitu menikmati bakso tanpa kuah di belinya tadi. Tidak ikut menikmati martabak manis dibeli Arjun tadi.
"Makan bakso mulu kamu, ini martabak manisnya harus di makan juga dong. Mama sama Arjun gak bisa ngabisin nih martabak semua. " celetuk mama membuat Aruna yang sibuk makan bakso langsung terhenti.
Dia menoleh menatap mama di sampingnya, satu tangannya yang tidak memegang piring berisikan bakso menggaruk belakang kepalanya, "Hehehe, maaf ma. Aruna lagi gak mau makan yang manis-manis dulu. " ujar Aruna menjelaskan.
"Loh, kenapa? Biasanya kamu paling suka yang namanya makanan manis, apa lagi martabak ini. " bingung mama.
Bagaimana ya menjelaskannya, Aruna menggaruk pelipisnya bingung. "Anu- itu ma, aku kalau makan makanan yang manis bawaannya mau muntah terus. "
Sontak mama menyergit dahinya bingung, Arjun di sebelah mama pun ikutan bingung. Mulut yang masih mengunyah di hentikan sejenak. "Loh, kenapa? Kamu lagi sakit ya atau bagaimana? Kok bisa sampai muntah-muntah begitu sih. " mama mendekat pada Aruna, tangannya terangkat untuk memijat leher belakang Aruna.
Aruna terdiam tidak menjawab, matanya sibuk menatap Arjun yang juga menatapnya. Menarik nafas panjang terlebih dahulu, Aruna menarik pelan tangan mama yang masih sibuk memijat belakang lehernya.
"Ma, mas Arjun. Ada yang mau Aruna kasih tau sama kalian. " suara Aruna terdengar begitu serius.
Suasana mendadak berubah, di malam yang di dingin malah terasa panas menyelimuti tiga orang itu.
Aruna terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian untuk menceritakan apa yang kini tengah menimpanya.
"Aruna. H-hamil. " ucapnya dengan suara pelan terbata-bata, namun kedua manusia itu masih bisa mendengarkan dengan begitu jelas.
Aruna menunduk, tidak berani untuk menatap dua orang tersayangnya itu. Belum siap menatap tatapan kecewa mereka yang dilayangkan padanya.
"Aruna sekarang suka becanda ya. Gak lucu ih, mama hampir aja spot jantung tadi dengarnya, jangan gitu ya lain kali. " mama tertawa terpaksa, memikirkan bahwa ucapan Aruna tadi hanya sebuah becandaan saja.
"Mah." celetuk Arjun, dia tau ucapan yang dilontarkan Aruna tadi bukan sekedar becandaan saja. Karena minggu-minggu ini melihat Aruna yang sering muntah-muntah, sudah membuatnya curiga.
Mama terdiam seketika, menatap tidak percaya pada Aruna yang masih senantiasa menundukkan kepalanya, "Ini gak benar kan, sayang? Kamu cuman becanda aja, kan? " tanya mama memastikan.
"Maaf, mah. " sesal Aruna, air matanya jatuh membasahi pipinya.
Mama seketika menangis mendengar kebenaran dari Aruna, mama tidak percaya. Dia kenal baik bagaimana Aruna, perempuan itu tidak mungkin melakukan hal yang dapat merugikan dirinya sendiri.
Arjun mengelus pundak mamanya berusaha menenangkan wanita baya itu yang tengah menangis. "Mah, kita dengarin dulu penjelasan Aruna bagaimana, ini pasti sebuah kecelakaan. Arjun kenal betul bagaimana Aruna, dia gak mungkin ngelakuin hal begini."
Aruna langsung saja menjelaskan kejadian naas yang menimpanya malam itu, menceritakan bagaimana Tama memperkosanya tanpa menyebutkan nama laki-laki itu tiap kalimat dari ceritanya. Hingga akhir saat dimana mendapati dirinya ternyata tengah berbadan dua.
Kedua perempuan itu saling berpelukan dengan tangis pilu yang mengisi ruang santai itu, televisi yang masih menyala. Arjun matikan, mengusap wajahnya gusar, Arjun merasa bersalah, seharusnya malam itu dia balik lagi ke cafe dan mengantarkan Aruna pulang dengan selamat sampai tujuan, sehingga kejadian naas itu tidak akan menimpa Aruna.
"Kamu beneran gak tau siapa laki-laki itu, Na? Kamu lagi hamil sekarang, laki-laki itu harus bertanggung jawab. " suara Arjun terdengar membuat pelukan itu terpaksa terlepas.
Aruna menyeka air mata yang membanjiri pipinya sebelum menjawab, "Aruna gak tau mas siapa laki-laki itu, malam kejadian itu mata Aruna di tutup sama dia. " kilah Aruna berbohong, sampai kapanpun dia tidak akan memberitahukan siapa ayah dari janinnya ini, cukup Rara saja yang mengetahui kebenarannya.
Masih terngiang ingatannya soal Tama yang menolak keberadaan janin tak berdosa ini, dan malah menuduhnya hamil anak laki-laki lain. Aruna sakit hati, jujur. Walau kini dirinya sudah mengikhlaskan semuanya.
Arjun menghela nafas panjang, kalau begini jadinya dia bisa apa. Tidak ada informasi apapun tetap siapa dalang yang sudah memperkosa Aruna dengan keji, jika bertemu akan Arjun hajar sampai babak belur bajingan itu.
"Aruna bisa ngurusin anak ini, mas. Dia anak aku, aku bisa jadi seorang ibu dan ayah sekaligus untuk janin ini. "
Mama ikut menimpali, "Iya, mas. Biar kita sebagai keluarga yang mengurus Aruna dan janinnya, gak usah kamu cari tau laki-laki bregsek itu. " ucap mama menggebu-gebu, dia tidak setuju kalau laki-laki yang sudah menghamili Aruna datang bertanggung jawab, bukannya apa. Mama takut bila laki-laki itu akan menyiksa Aruna nantinya.
Arjun membuang nafas, lagi. Kalau sudah begini Arjun nurut saja. Alasannya ingin mencari laki-laki itu karena Arjun tidak mau anak Aruna nanti di olok-olok orang karena tidak memiliki orangtua yang lengkap. Arjun sudah pernah merasakannya, dan itu sangat menyakitkan untuknya dulu yang masih sangat polos untuk mengerti kejamnya mulut manusia yang tidak tau apapun kehidupan kita tapi sudah pandai asal menilai.
Tapi tenang saja, ada Arjun yang akan menjadi sosok ayah dan pelindung untuk ponakannya nanti, Arjun berjanji.
•
•
•