Jejak Naga Langit
Mei Zhang selalu bisa mendengar suara air mendidih sebelum orang lain. Pagi itu, ketika embun masih menggantung di ujung daun bambu dan matahari belum sepenuhnya mengintip dari balik Gunung Huangshan, dia sudah berdiri di depan tungku tua di kedai tehnya. Matanya terpejam, telinganya menangkap bisikan pertama gelembung-gelembung kecil yang mulai terbentuk di dasar teko perunggu warisan neneknya.
"Tiga derajat lebih dingin dari yang seharusnya," gumamnya pada diri sendiri, tangannya dengan cekatan menggeser teko dari bagian tungku yang paling panas. Setelah lima tahun menggantikan posisi ayahnya sebagai penyeduh utama di Kedai Teh Langit Senja, Mei telah mengembangkan kepekaan yang nyaris tidak masuk akal terhadap air dan teh.
Di luar, kota Hongcun mulai terbangun. Suara roda gerobak pedagang berderit di atas batu-batu jalan, berbaur dengan teriakan para penjual sayur dan daging yang mulai menata dagangan mereka. Mei membuka pintu kedai, membiarkan udara pagi yang dingin menyapu wajahnya. Matanya menyapu halaman depan yang kecil, di mana dua pohon plum tua masih bertahan, meski sudah tidak pernah berbunga selama tiga musim semi terakhir.
"Pagi ini terasa berbeda," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. Ada sesuatu dalam udara—seperti aroma asing yang tak bisa dia kenali. Bukan bau busuk atau manis, tapi sesuatu yang lebih halus, seperti ingatan yang hampir terlupakan.
Rutinitas paginya berjalan seperti biasa. Mei menyapu lantai kayu yang sudah aus, menata meja-meja rendah dengan bantal duduk yang mulai tipis, dan mengeluarkan set-set cangkir keramik dari lemari penyimpanan. Setiap cangkir dia periksa dengan teliti, memastikan tidak ada yang retak atau bernoda. Meski kedainya bukan yang termewah di Hongcun, Mei menjaga standar yang dia warisi dari ayahnya.
"Nona Mei?" Sebuah suara mengejutkannya. Di pintu berdiri Liu Shan, pengantar susu yang selalu menjadi pelanggan pertama setiap pagi. "Maaf, aku tahu masih terlalu pagi, tapi..."
"Masuk saja, Shan," Mei tersenyum. "Air sudah hampir siap."
Liu Shan, dengan wajahnya yang selalu memerah dan senyum malu-malu, duduk di tempatnya yang biasa—meja di sudut dekat jendela yang menghadap ke arah sungai. Mei mengamati pemuda itu sejenak. Ada yang berbeda dari cara dia duduk hari ini, seolah ada beban tak terlihat di pundaknya.
"Teh hitam seperti biasa?" tanya Mei, meski dia sudah tahu jawabannya. Liu Shan telah memesan teh yang sama setiap pagi selama dua tahun terakhir.
"Sebenarnya..." Liu Shan ragu sejenak. "Hari ini, aku ingin mencoba teh yang berbeda. Sesuatu yang... yang bisa membuat seseorang melupakan."
Mei menghentikan gerakannya yang sedang mengambil teh hitam dari toples keramik. Ada nada dalam suara Liu Shan yang membuat hatinya terasa berat. "Melupakan apa tepatnya?"
"Ah, bukan apa-apa yang penting," Liu Shan tertawa kecil, tapi tawanya tidak mencapai matanya. "Hanya... mimpi buruk."
Mei mengangguk perlahan, tangannya bergerak ke bagian belakang rak teh, di mana dia menyimpan campuran khususnya. Dari sebuah kantung sutra kecil, dia mengeluarkan sejumput daun teh yang tampak biasa—campuran teh putih dengan bunga krisan dan sedikit akar valerian. Resep rahasia ibunya untuk mimpi-mimpi yang terlalu berat.
Saat dia mulai menyeduh teh, sesuatu yang aneh terjadi. Air dalam teko, yang biasanya bergerak dengan pola yang sudah dia hafal di luar kepala, tiba-tiba berputar dengan cara yang berbeda. Mei mengerjap, memastikan matanya tidak menipunya. Air itu berputar melawan arah jarum jam, membentuk spiral kecil yang tampak seperti... seperti sisik-sisik yang berkilau.
Sensasi gatal yang samar muncul di pergelangan tangan kanannya, tepat di tempat di mana dia memiliki tanda lahir berbentuk seperti tetesan air. Mei mengabaikannya, memaksa dirinya untuk fokus pada tehnya. Tapi saat dia menuangkan air panas ke atas daun teh, aroma yang muncul bukan aroma yang seharusnya tercium.
Alih-alih aroma lembut teh putih dan krisan, yang menguar adalah wangi yang tidak pernah dia cium sebelumnya—seperti hujan di musim semi, seperti salju yang baru turun, seperti... seperti kenangan yang belum terjadi.
"Ada yang salah, Nona Mei?" tanya Liu Shan, menyadari keraguannya.
Mei menggeleng cepat. "Tidak, tidak ada apa-apa." Dia menuangkan teh ke dalam cangkir dengan hati-hati, berusaha mengabaikan bagaimana cairan itu tampak berkilau dengan cara yang tidak natural di bawah cahaya pagi yang redup.
Liu Shan mengangkat cangkirnya, menghirup aromanya dengan mata terpejam. Seketika, ketegangan di wajahnya mengendur. "Ini... berbeda," bisiknya. "Seperti mencium aroma rumah yang sudah lama ditinggalkan."
Mei hanya tersenyum, meski dalam hatinya ada sejuta pertanyaan yang berputar. Bagaimana Liu Shan bisa mencium aroma yang sama seperti yang dia cium? Itu tidak mungkin—tehnya seharusnya beraroma seperti krisan dan embun pagi, bukan seperti... seperti ingatan.
Hari berlanjut dengan lebih banyak keanehan kecil. Setiap teh yang Mei seduh memiliki aroma yang berbeda dari yang seharusnya. Teh oolong yang biasanya beraroma seperti bunga peach tua kini mencium seperti kayu yang terbakar. Teh hijau yang seharusnya segar dan ringan kini memiliki kedalaman yang mengingatkannya pada lorong-lorong kuno yang belum pernah dia kunjungi.
Menjelang sore, saat matahari mulai condong ke barat dan bayangan pohon plum semakin memanjang, pintu kedai terbuka. Mei, yang sedang membersihkan teko, mengangkat wajahnya dan seketika membeku.
Seorang pria berdiri di ambang pintu, sosoknya tinggi dan ramping dalam balutan jubah gelap yang tampak mahal tapi sederhana. Yang membuat Mei terpaku bukan penampilannya yang menarik perhatian, tapi cara cahaya sore seolah menghindar darinya, menciptakan bayangan yang terlalu gelap di sekitar sosoknya.
"Selamat sore," suaranya dalam dan tenang, seperti air danau yang dalam. "Saya mencari teh yang sudah lama hilang."
Mei menelan ludah, tangannya tanpa sadar mengusap pergelangan tangan kanannya yang kini terasa seperti terbakar. "Maaf, kami hanya menjual teh biasa di sini."
Pria itu—Wei An, dia memperkenalkan dirinya—tersenyum. Bukan senyum yang mencapai mata, tapi senyum yang membuat Mei teringat akan cermin yang retak. "Tidak ada yang namanya teh biasa, Nona Zhang. Setiap daun teh memiliki ceritanya sendiri, dan setiap cerita memiliki rahasianya."
Mei tersentak. Dia tidak ingat pernah menyebutkan nama keluarganya. "Bagaimana Anda—"
"Kedai Teh Langit Senja milik keluarga Zhang sudah berdiri di sini selama empat generasi," Wei An melangkah masuk, gerakannya sehalus sutra yang tertiup angin. "Dan selama empat generasi, kedai ini menyimpan sesuatu yang seharusnya tidak hilang dari dunia."
"Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan."
Wei An berhenti di depan rak teh, matanya menelusuri toples-toples keramik dengan cara yang membuat Mei merasa seolah dia sedang membaca kisah kuno yang tertulis di udara. "Tentu saja," dia mengangguk perlahan. "Kau belum seharusnya mengerti. Tapi tanda di tanganmu itu—" dia menunjuk ke pergelangan tangan Mei tanpa melihat, "—sudah mulai bangun, bukan?"
Mei secara refleks menyembunyikan tangannya di balik punggung. Rasa terbakar di pergelangan tangannya kini menjalar ke seluruh lengan. "Itu hanya tanda lahir biasa."
"Tidak ada yang biasa dari tanda yang baru muncul tiga hari yang lalu, tepat saat bulan purnama terakhir." Wei An kini menatapnya langsung, dan Mei harus menahan diri untuk tidak mundur. Ada sesuatu dalam tatapannya yang terlalu tua, terlalu dalam, seperti sumur yang tidak memantulkan cahaya.
"Bagaimana Anda—" Mei berhenti. Memang benar, tanda itu baru muncul tiga hari lalu. Dia mengira itu hanya lebam atau bekas luka yang tidak dia ingat bagaimana mendapatkannya. Tapi bagaimana orang asing ini bisa tahu?
"Buatkan aku teh," kata Wei An tiba-tiba, nada suaranya berubah menjadi lebih ringan. "Teh apa saja, pilihan Nona sendiri. Tapi gunakan air dari sumur belakang, bukan air yang sudah kau rebus sejak pagi."
Mei ingin menolak. Ingin mengatakan bahwa kedai sudah hampir tutup, atau bahwa dia tidak melayani permintaan aneh-aneh. Tapi ada sesuatu dalam cara Wei An berbicara yang membuatnya merasa ini bukan sekadar permintaan untuk secangkir teh.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Mei pergi ke sumur belakang. Air di sana selalu sedikit lebih dingin, sedikit lebih dalam dari yang seharusnya. Ayahnya selalu mengatakan untuk tidak menggunakan air itu untuk menyeduh teh—"Ada yang berbeda dengan airnya," dia selalu berkata, tanpa pernah menjelaskan apa yang berbeda.
Saat Mei menimba air, dia melihat pantulan wajahnya di permukaan air yang gelap. Untuk sesaat, dia mengira melihat sesuatu bergerak di bawah sana—seperti bayangan yang berenang, seperti sisik yang berkilau. Tapi ketika dia mengerjap, yang ada hanya airnya sendiri, segelap dan setenang biasanya.
Kembali ke dalam, Wei An sudah duduk di meja paling ujung, tepat di bawah lukisan naga tua yang sudah memudar yang selalu tergantung di sana sejak Mei bisa mengingat. Mei mulai menyiapkan peralatan menyeduh teh dengan gerakan yang sudah menjadi naluri kedua baginya.
Tapi saat dia membuka lemari teh, tangannya terhenti. Di sudut paling belakang, tersembunyi di balik toples-toples lain, ada sebuah kantung sutra kecil yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Kantung itu berwarna biru tua, dengan sulaman emas yang tampak seperti awan dan... naga?
"Ah," suara Wei An terdengar dari belakangnya. "Kau menemukannya."
Mei berbalik, kantung itu masih di tangannya. "Ini... ini bukan milik kedai kami."
"Tentu saja milik kedai ini. Milik keluargamu, lebih tepatnya. Hanya saja, sudah lama sekali tidak ada yang bisa melihatnya." Wei An tersenyum lagi, kali ini senyum yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. "Buka saja."
Dengan jari-jari yang gemetar, Mei membuka kantung itu. Di dalamnya, daun-daun teh yang tampak biasa—kering dan menggulung seperti daun teh pada umumnya. Tapi saat dia mendekatkannya ke hidung, tidak ada aroma sama sekali.
"Teh tanpa aroma?" Mei mengerutkan kening.
"Atau mungkin," Wei An mencondongkan tubuhnya ke depan, "teh yang menunggu aroma yang tepat untuk bangun."
Mei menatap daun-daun teh di tangannya, lalu pada Wei An, kemudian pada lukisan naga yang tiba-tiba saja tampak lebih jelas dari biasanya. Ada cerita di sini, dia bisa merasakannya—cerita yang sudah lama menunggu untuk ditemukan kembali.
Di pergelangan tangannya, tanda yang tadinya seperti tetesan air kini berkilau samar, membentuk pola yang tampak seperti sisik naga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments