Kerajaan Avaris yang dipimpin oleh Raja Darius telah menjadi kekuatan besar di benua Estherya. Namun, ancaman datang dari Kekaisaran Zorath yang dipimpin oleh Kaisar Ignatius, seorang jenderal yang haus kekuasaan. Di tengah konflik ini, seorang prajurit muda bernama Kael, yang berasal dari desa terpencil, mendapati dirinya terjebak di antara intrik politik dan peperangan besar. Dengan bakat taktisnya yang luar biasa, Kael perlahan naik pangkat, tetapi ia harus menghadapi dilema moral: apakah kemenangan layak dicapai dengan cara apa pun?
Novel ini akan memuat konflik epik, strategi perang yang mendetail, dan dinamika karakter yang mendalam. Setiap bab akan menghadirkan pertempuran sengit, perencanaan taktis, serta perkembangan karakter yang realistis dan emosional.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Hutan Bayangan
Bab 9: Rahasia Hutan Bayangan
Mereka melangkah lebih dalam ke Hutan Bayangan, dan setiap langkah terasa semakin berat. Pepohonan menjulang tinggi dengan cabang-cabang yang saling berkelindan, menciptakan kanopi gelap yang hampir menutupi seluruh langit. Kabut tipis menyelimuti tanah, menyamarkan jalan setapak dan menciptakan ilusi seolah-olah mereka berjalan di atas awan.
“Ini... lebih menyeramkan dari yang kubayangkan,” bisik Finn, suaranya nyaris tak terdengar.
Kael mengangguk, matanya terus mengawasi sekeliling. “Tetap waspada. Hutan ini penuh dengan jebakan.”
Liora mengeluarkan busur dan menyiapkan anak panah di tangan. “Menurut legenda, Hutan Bayangan memiliki makhluk yang bisa membaca pikiran kita dan menciptakan ilusi dari ketakutan terdalam.”
“Hebat,” Finn bergumam. “Jadi kita tidak hanya harus melawan monster, tapi juga diri kita sendiri?”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, mengikuti peta yang diberikan Eldrin. Namun, peta itu tampak kurang berguna di tengah kabut tebal dan pohon-pohon yang tampaknya terus berubah posisi.
Pertemuan dengan Bayangan
Saat mereka tiba di sebuah persimpangan, Kael berhenti. “Kita ambil jalan kiri atau kanan?”
Elara telah memperingatkan mereka bahwa memilih jalur yang salah bisa berarti kematian. Kael memejamkan mata, mencoba merasakan energi di sekitarnya. Pedang Aether di tangannya bergetar halus, seolah-olah memberi petunjuk.
“Kiri,” katanya akhirnya.
Mereka berjalan dengan hati-hati, tapi tiba-tiba kabut menjadi lebih tebal. Suara-suara aneh mulai terdengar, bisikan-bisikan yang tidak jelas asalnya.
Finn menoleh ke Kael. “Kau dengar itu?”
Kael mengangguk. “Tetap fokus. Jangan percaya apa pun yang kau lihat atau dengar.”
Namun, saat mereka melangkah lebih jauh, bayangan-bayangan mulai muncul di sekitar mereka. Bayangan itu berbentuk manusia, tetapi tanpa wajah. Mereka bergerak dengan anggun, seolah menari di tengah kabut.
Liora mengarahkan busurnya ke salah satu bayangan. “Haruskah aku menembak?”
“Tidak,” jawab Kael cepat. “Mereka belum menyerang. Mungkin mereka hanya mengamati.”
Tapi kemudian salah satu bayangan melesat ke arah Finn. Finn melompat mundur, menghindari serangan, dan mengayunkan pedangnya. Namun, pedangnya hanya menembus udara kosong.
“Mereka bukan makhluk fisik!” seru Finn.
Kael mengangkat pedang Aether, yang mulai bersinar lebih terang. “Gunakan sihirmu!”
Liora menembakkan panah yang dibalut sihir cahaya ke arah bayangan, dan kali ini panah itu mengenai sasarannya. Bayangan tersebut menghilang dalam ledakan cahaya kecil.
“Sihir cahaya efektif,” gumam Kael. “Kita harus bekerja sama.”
Menghadapi Ketakutan
Mereka melanjutkan pertempuran dengan bayangan-bayangan itu, menggunakan kombinasi sihir dan strategi. Namun, semakin dalam mereka masuk, bayangan-bayangan itu semakin kuat dan mulai menciptakan ilusi yang lebih nyata.
Kael tiba-tiba menemukan dirinya sendirian di sebuah lapangan terbuka. Di depannya berdiri seorang pria tua dengan jubah putih. Pria itu tersenyum lembut, tetapi ada sesuatu yang aneh dengan matanya.
“Kael,” kata pria itu. “Kenapa kau terus melawan takdirmu?”
“Siapa kau?” Kael bertanya, mengangkat pedangnya.
“Aku adalah kebenaran yang kau tolak selama ini,” jawab pria itu. “Kau tahu bahwa kau tidak bisa menang melawan Morvath. Kau tahu bahwa perang ini sia-sia.”
Kael merasakan keraguan menyusup ke dalam hatinya. Tapi kemudian dia teringat kata-kata Eldrin dan Elara. Dia menutup matanya dan memfokuskan pikirannya.
“Tidak,” katanya tegas. “Aku tidak akan jatuh ke dalam ilusi ini.”
Cahaya dari pedang Aether meledak, menghancurkan ilusi dan membawa Kael kembali ke hutan. Dia melihat Liora dan Finn berdiri di dekatnya, tampak cemas.
“Kau baik-baik saja?” tanya Liora.
Kael mengangguk. “Ya. Kita harus terus bergerak.”
Menyusuri Jalan Terakhir
Setelah beberapa jam berjalan, mereka akhirnya tiba di sebuah gerbang batu kuno yang tertutup oleh akar-akar pohon besar. Elara menyebutkan bahwa gerbang ini adalah pintu masuk ke Ruang Perjamuan Bayangan, tempat di mana mereka harus melewati ujian terakhir.
Eldrin muncul dari balik bayangan, seolah-olah dia telah menunggu mereka di sana. “Kalian telah melakukannya dengan baik sejauh ini. Tapi ujian terakhir akan menguji hati kalian.”
Finn mendesah. “Apakah itu berarti lebih banyak bayangan?”
Eldrin tersenyum samar. “Bukan bayangan. Tapi kebenaran yang paling dalam.”