Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14:Bertemu kembali
Dafit memandangi Aletha yang tengah asyik bermain basket bersama teman-temannya. Matanya tetap terfokus pada setiap gerakan lincah Aletha di lapangan, meski ia tahu betul bahwa gadis itu tidak akan pernah menyadari pandangannya. Aletha memang seperti itu, seolah tidak peduli dengan hal-hal sepele seperti perhatian orang lain. Pada dasarnya, ia adalah orang yang lebih suka fokus pada dirinya sendiri dan kegiatan yang ia sukai, tak peduli siapa yang mengamatinya.
Pelajaran olahraga pun akhirnya selesai dan bel tanda istirahat berbunyi. Semua siswa langsung bergerak menuju kantin, namun sebelum Aletha dan teman-temannya bisa pergi lebih jauh, seseorang menghalangi jalan mereka. Itu adalah Dafit Angkasa Surya, atau yang lebih dikenal dengan nama Angkasa.
“Nih buat lo, Tha,” kata Dafit sambil menyodorkan sebuah minuman dingin yang baru saja ia beli. Senyum yang sulit disembunyikan terpancar dari wajahnya, meskipun ia tahu ini hanya tindakan kecil yang belum tentu mendapatkan perhatian lebih dari Aletha.
Aletha memandang minuman itu sekilas, kemudian dengan santai mengambilnya tanpa banyak kata. “Thanks, Fit,” jawabnya singkat, suaranya datar, dan ia tidak menatap wajah Dafit. Sepertinya, ucapan terima kasih itu hanya menjadi formalitas belaka.
Dafit merasa sedikit kecewa, tetapi ia tahu ini bukan saatnya untuk menyerah. Ia mengangguk ke arah teman-teman Aletha yang sudah melangkah lebih dulu menuju kantin. "Ayo, lo ikut gue sebentar. Ada yang mau gue omongin," kata Dafit, nada suaranya kali ini lebih serius, lebih menuntut perhatian.
“Girls, kalian duluan aja ke kantin,” ujar Aletha sambil melambaikan tangan ke arah teman-temannya, yang langsung mengangguk dan meninggalkan mereka berdua.
Aletha merasa sedikit bingung dengan ajakan Dafit, tapi ia mengikuti saja, meski hatinya tidak terlalu mengerti apa yang sedang terjadi. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor yang agak sepi, jauh dari keramaian siswa lain, menuju taman belakang sekolah. Taman yang biasanya digunakan untuk bersantai ini, kali ini terasa berbeda.
Sesampainya di taman yang cukup sepi itu, Dafit berhenti sejenak dan memandang Aletha dengan tatapan serius. Ia memutuskan untuk memulai percakapan yang telah lama ia rencanakan.
“Mau ngomong apa, Fit?” tanya Aletha, sedikit terkejut dengan sikap serius Dafit. Ia tetap berusaha menjaga sikap cueknya, tidak ingin terlihat terlalu peduli atau terbuka.
Dafit berhenti tepat di depan Aletha, memastikan tidak ada orang lain yang mengganggu percakapan mereka. Ia menatapnya dalam-dalam, matanya memancarkan sebuah keinginan yang belum pernah ia ungkapkan sebelumnya. “Lo masih inget gue nggak, Tha?” tanya Dafit, suaranya agak berat, namun penuh makna. "Gue Angkasa."
Aletha terdiam sejenak, berusaha mencari-cari di dalam memorinya. Wajah Dafit sepertinya familiar, tapi ia benar-benar tak ingat. "Ngga," jawabnya dengan suara datar, masih sedikit bingung. "Emang kita pernah ketemu sebelumnya?"
Dafit tertawa pelan, meski tidak terkejut dengan jawaban Aletha yang cukup datar itu. "Iya, kita pernah ketemu di bandara waktu itu. Lo lagi terkilir kaki, gue yang nolongin lo. Gue juga kasih lo gelang waktu itu. Lo adalah cewek pertama yang bikin gue senyum karena tingkah lucu lo yang nggak bisa dipalsukan," jelas Dafit, sambil menatap Aletha dengan senyum kecil yang penuh kenangan.
Aletha mulai mencerna apa yang dikatakan Dafit, dan tiba-tiba ingatan itu kembali. Waktu itu, ia benar-benar kesakitan karena kakinya terkilir, dan tiba-tiba saja ada seorang lelaki yang datang menolong, bahkan memberinya gelang sebagai tanda perhatian. “Oh iya,” kata Aletha, akhirnya ingat. “Heh, gue bercanda, Fit. Lo Angkasa kan? Gue nggak mungkin lupa sama lo. Orang yang tiba-tiba kasih gue gelang dan nolongin gue waktu itu,” jawabnya dengan suara sedikit lebih hangat, kini senyum tipis terukir di wajahnya.
Dafit tersenyum lebar mendengar kata-kata Aletha, merasa sedikit lega karena setidaknya ia tidak dilupakan. "Iya, gue Angkasa. Gue nggak pernah lupa kejadian itu, Tha. Waktu itu lo terlihat begitu cemas dan gue cuma pengen lo merasa lebih baik. Tapi lo tahu nggak? Sejak kejadian itu, gue nggak bisa berhenti mikirin lo."
Aletha terkejut mendengar pengakuan itu, dan untuk beberapa detik ia terdiam. Tiba-tiba, perasaan yang tidak ia mengerti muncul begitu saja. "Gue... nggak ngerti, Fit. Maksud lo gimana?" tanyanya dengan nada sedikit ragu, meski ia berusaha terlihat santai dan tidak terlalu terpengaruh.
Dafit menghela napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya. "Gue nggak cuma ngeliat lo sebagai cewek yang lucu dan ceroboh, Tha. Gue juga ngeliat lo sebagai seseorang yang punya sesuatu yang beda, sesuatu yang nggak bisa gue jelaskan dengan mudah. Lo nggak cuma bisa bikin orang senyum, tapi lo juga bisa bikin orang merasa nyaman. Gue tertarik sama lo, bukan cuma karena kejadian di bandara itu, tapi karena cara lo ngadepin hidup. Lo tuh punya sisi yang berbeda dan gue suka banget sama itu."
Aletha terdiam, kata-kata Dafit menyentuh hatinya lebih dalam dari yang ia duga. Namun, ia masih merasa bingung dengan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya. "Gue... nggak tahu harus gimana, Fit," kata Aletha akhirnya, suaranya agak ragu dan jauh dari biasanya.
Dafit tersenyum lembut, mencoba memberi ruang bagi Aletha untuk berpikir. "Lo nggak perlu langsung jawab sekarang, Tha. Gue cuma pengen lo tahu, gue serius banget. Gue nggak akan berhenti mencoba kalau lo belum siap. Gue ingin lo lebih kenal gue, lebih dekat sama gue, sebelum lo memutuskan apa pun."
Aletha menatapnya, sedikit terkejut dengan pengakuan Dafit. Meski ia mencoba tetap menjaga sikap acuh tak acuh, ada sedikit kekaguman di dalam dirinya. "Hmm, lo emang nggak gampang ya, Angkasa," jawabnya sambil tersenyum tipis, mencoba melucu. "Tapi, gue nggak janji akan gampang buat percaya sama lo."
Dafit tersenyum penuh keyakinan. "Gue nggak mau memaksakan apapun, Tha. Gue cuma ingin lo tahu, kalau lo butuh seseorang, gue di sini. Kalau lo butuh teman, gue siap ada buat lo. Dan kalau lo butuh lebih dari itu, gue juga siap berusaha."
Aletha menatapnya lagi, kali ini dengan tatapan yang sedikit lebih lembut. “Hmm, kita lihat aja nanti, ya. Gue belum tahu pasti, tapi mungkin... kita bisa mulai dari sini. Teman, dulu.”
Dafit mengangguk, merasa lega. "Oke, Tha. Gue siap mulai dari sini. Gue tunggu kapan lo siap."
Dengan itu, mereka berjalan bersama ke kantin. Meski langkah mereka ringan, ada sesuatu yang berbeda di antara mereka. Ada rasa yang baru tumbuh, meski masih samar-samar. Dafit, yang berniat meluluhkan hati Aletha, tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai. Ia tidak akan menyerah begitu saja, karena kali ini, ia benar-benar ingin memperjuangkan hati Aletha.