Dulu, nilai-nilai Chira sering berada di peringkat terakhir.
Namun, suatu hari, Chira berhasil menyapu bersih semua peringkat pertama.
Orang-orang berkata:
"Nilai Chira yang sekarang masih terlalu rendah untuk menunjukkan betapa hebatnya dia."
Dia adalah mesin pengerjaan soal tanpa perasaan.
Shen Zul, yang biasanya selalu mendominasi di Kota Lin, merasa sedikit frustrasi karena Chira pernah berkata:
"Kakak ini adalah gadis yang tidak akan pernah bisa kau kejar."
Di reuni sekolah beberapa waktu kemudian, seseorang yang nekat bertanya pada Shen Zul setelah mabuk:
"Ipan, apakah kau jatuh cinta pada Chira pada pandangan pertama, atau karena waktu yang membuatmu jatuh hati?"
Shen Zul hanya tersenyum tanpa menjawab. Namun, pikirannya tiba-tiba melayang ke momen pertama kali Chira membuatkan koktail untuknya. Di tengah dentuman musik yang memekakkan telinga, entah kenapa dia mengatakan sesuatu yang Chira tidak bisa dengar dengan jelas:
"Setelah minum minumanmu, aku milikmu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pria Bernada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Didikan Orang Tua
Ngeliat ekspresi wali kelas, Chira sedikit nahan emosinya. Udah lama banget dia nggak bikin masalah, sampe-sampe dia hampir mikir kalo dirinya bisa jadi siswa teladan.
Liat rekaman CCTV, Chira serius nyoba inget apa yang dia lakuin pas ujian.
Karena udah selesai duluan, dia malah bengong aja, ngeliatin podium lebih dari sepuluh menit. Abis sadar, dia ngerasa bosen, jadi dia nunduk dan mulai nulis sesuatu di kertas buram buat ngabisin waktu.
"Kamu masih nggak mau ngaku, meskipun ada rekaman CCTV sebagai bukti?" Wajah kepala sekolah makin muram. "Kamu nggak takut kalo saya panggil orang tua kamu?"
Panggil orang tua?
Kalo nggak karena situasinya nggak cocok, Chira mungkin udah ketawa aja di tempat. "Silakan aja panggil."
Pak Ajat: "..."
Awalnya dia kira murid baru ini anak yang penurut. Tapi ternyata malah bikin kepalanya makin pusing.
Langsung aja kepala sekolah nelpon nomor orang tua yang diisi Chira pas daftar sekolah. Dia juga nonton kepala sekolah neken nomor yang mungkin dalam setahun nggak bakal dia hubungi sendiri.
Teleponnya dipasang loudspeaker, dan setelah beberapa dering, terdengar suara dari seberang, "Halo, ada apa?"
Wajah kepala sekolah masih keliatan kesel, tapi nadanya nggak setegas tadi pas ngomong sama Chira.
"Halo, ini orang tuanya Chira?"
"Iya, betul."
"Saya kepala sekolah kelas tiga SMA di Sekolah Menengah Linsi…" Setelah kepala sekolah jelasin situasinya, telepon di seberang terdiam sebentar.
Pas kepala sekolah mau ngomong lagi, suara dari seberang kedengeran, "Pak, saya rasa pasti ada kesalahpahaman di sini. Chira itu anak saya, dan saya yakin dia nggak bakal nyontek."
Kepala sekolah liat kepercayaan orang tua gini cuma bikin dia makin yakin kalo ini bentuk pembiaran.
"Pak Nanda, bisa nggak Anda datang ke sekolah sekarang?"
Orang di seberang terdiam lagi beberapa detik, terus kedengeran dia ngomong sama seseorang di sana pake bahasa Inggris, abis itu jawab, "Maaf, saya lagi di luar negeri urusan bisnis, jadi nggak bisa balik sekarang."
Kepala sekolah ngernyit. "Pak Nanda, kalo Anda nggak bisa datang buat selesain masalah ini, mungkin istri Anda bisa datang?"
"Pak, Chira ada di sana? Saya pengen ngomong sama dia sebentar."
Kepala sekolah liat ke Chira yang tetep tenang, tanpa ekspresi, terus dia atur ponselnya ke mode telinga dan kasih ke Chira.
"Chira, Ayah yakin kamu nggak mungkin lakuin hal kayak gitu," setelah ngomong gitu, ayahnya kedengeran ragu, "Tapi Ayah emang nggak bisa datang. Gimana kalo Tante Yuli yang ke sana?"
Chira cuma ketawa sinis dalam hati, langsung jawab, "Nggak usah. Kalo Ayah sibuk, nggak usah ada yang datang."
Terus dia balikin ponsel ke kepala sekolah. Percakapan antara kepala sekolah sama ayahnya udah nggak menarik perhatiannya lagi. Dia cuma denger ayahnya tetep berusaha nunjukin kepercayaannya yang kuat ke dia, yang akhirnya bikin kepala sekolah nggak bisa ngapa-ngapain.
Kata-kata terakhir yang dia denger adalah: "Kalo nggak ada wali murid yang bisa datang sekarang, ya nanti aja. Kapan Anda bisa datang ke sekolah, saat itu juga Chira bisa balik."
Artinya, dia disuruh pulang buat "di didik" di rumah.
Telepon pun selesai.
Chira tetep nggak ngaku kalo dia nyontek.
Kepala sekolah pulangin dia buat didik di rumah, sekaligus ngasih tau ke seluruh kelas tiga.
Pak Ajat ngerasa kepalanya makin pusing.
Pak Ajat kemudian ngajak Chira ngobrol, tanpa mengadili, tapi Chira juga nggak peduli.
Karena udah dipulangkan buat didikan di rumah, dia juga seneng-seneng aja pulang. Setelah Pak Ajat selesai ngomong, Chira langsung turun tangga.
Pas lagi turun ke lantai dua, Chira tiba-tiba berhenti di pojok tangga. Ada suara ngobrol samar-samar, tapi dari posisi dia, lumayan jelas kedengeran.
“Zul, kenapa lo mau putus sama gue? Apa karena gue kurang baik?” Suara cewek kedengeran kayak lagi nangis, tapi ada nada malu yang susah dijelasin, “Atau… karena malam itu gue nggak mau ngelakuin itu sama lo…”
Chira: “…”
Info ini cukup nge-shock, dan dia harus ngaku kalau ada sisi dirinya yang emang suka kepo.
Giliran si cowok ngomong. “Ripa, gue orangnya suka cari yang baru dalam hubungan. Kalau rasanya udah hilang, ya putus itu cuma soal waktu. Lo baik-baik aja kok. Ini keputusan gue, nggak ada hubungannya sama lo.”
Walau nggak ngeliat wajah mereka, Chira bisa ngerasain aroma “playboy” yang kenceng banget.
“Gue denger dari Fajar, katanya lo naksir sama murid baru di kelas lo, ya?” Suara cewek itu makin sedih.
Chira jelas nggak nyangka bakal nyangkut di gosip absurd gini.
“Fajar ngomong gitu?” Suara si cowok terdengar kayak lagi nahan ketawa, “Mungkin aja.”
Chira: “…”
Nggak bisa putus baik-baik, ya? Kenapa mesti narik-narik namanya juga?
“Lo nggak boleh suka sama dia,” Ripa mulai panik, “Paman gue bilang, dia punya perilaku yang nggak baik. Bahkan dia nyontek di ujian kemarin.”
Chira: “??”
Nama Ripa udah pernah dia denger—si ratu sekolah sendiri. Tapi, paman dari ratu sekolah itu siapa? Dia aja baru tahu setengah jam yang lalu kalo dituduh nyontek, kok ratu sekolah ini udah tahu duluan?
Chira belum selesai cerna info itu pas cowok di bawah tangga dengus, “Lo kira gue punya perilaku yang baik? Sejak awal semester ini, rata-rata tiap minggu gue kena teguran dari paman lo dua kali.”
Chira akhirnya ngerti. Jadi, kepala sekolah itu pamannya ratu sekolah.
Dengerin orang putus tuh nggak ada menarik-menariknya sama sekali. Dia pikir cukup dengerin sekilas aja.
Kalau yang lagi ribut itu orang lain, Chira mungkin bakal jalan muter buat kasih mereka privasi.
Tapi ini beda. Chira lanjut turun tangga, dan pas banget dia ngelihat momen si cewek lagi ngangkat kakinya buat cium paksa si cowok. Refleks dia langsung tundukin pandangannya, jadi dia nggak tahu tuh ciumannya berhasil apa nggak.
“Ripa, jangan gitu, ah.”
Di saat yang sama, dua orang itu denger suara langkah Chira dan refleks nengok. Reaksi muka mereka cukup kocak.
Chira akhirnya sadar kalo dia pernah ketemu ratu sekolah itu sebelumnya—dia yang duduk di depan pas ujian, matanya masih merah pas ujian bahasa.
Jujur, dia agak kesel.
Soalnya dia ngerasa kayak kena sasaran kemarahan yang nggak jelas alasannya.
Tapi Chira tetep jalan tanpa berhenti, walau dua orang itu mandangin dia. Dia emang pengen cepet-cepet cabut dari area drama ini, sekalian bikin mereka tahu kalo dia cuma numpang lewat.
“Tunggu,” cowok berseragam tapi gayanya acak-acakan itu tiba-tiba manggil dia, “Tadi lo berdiri di atas sana berapa lama?”
Chira nengok, pandangannya ketemu sama tatapan si cowok, terus melewatinya buat liat cewek di belakangnya. Dia senyum, “Nggak lama kok, pas buat nonton drama kalian.”
“Nggak takut gue bungkam?”
“Yang ngelakuin hal nggak bener aja yang perlu bungkam saksi. Lo, ngelakuin hal yang nggak bener?” Chira nyindir balik.
Matanya sekalian liat ke arah Ripa, yang balas mandang Chira dengan tatapan nggak bersahabat.
Ngeliat itu, Chira cuma ngucapin beberapa kata dengan santai dan cabut.
Beberapa kata itu langsung bikin muka Ripa pucat.
Dia bilang, “Parno, ya?”