Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 08 - Hamil?
Hm, sangat baik ... tidak perlu dipikirkan, menantuku menjaga Zalina dengan sangat baik.
Satu kalimat dari kiyai Husain yang membuat Sean melayang. Dia diakui, dengan sebutan menantu-ku dan diajak menunaikan ibadah shalat jum'at ke masjid terbesar di kota ini. Bahagia? Jelas, sangat bahagia hingga Sean tidak henti-hentinya tersenyum sepanjang jalan.
Mereka hanya menggunakan motor, entah agar Sean menghapal jalan atau karena ingin lebih cepat. Yang jelas, Sean merasa benar-benar dihargai sebagai menantu untuk saat ini. Hingga, dia kembali meringis kala merasakan sakit di kepalanya makin menjadi.
"Ssshh ... kenapa sebenarnya."
Sean memaksakan matanya untuk terbuka, dia membuka pintu kamar perlahan. Mual kembali dia rasakan, hingga Sean berlari kamar mandi. Hal itu tidak sengaja terdengar oleh Zalina yang memang kini hendak ke kamar.
"Mas?"
"Jangan mendekat, aku baik-baik saja."
Sean menahan agar Zalina tidak mendekat. Terpaksa, wanita itu mundur selangkah dan memilih menunggu di ambang pintu. Menatap Sean yang kini masih terus memuntahkan isi perutnya, jelas saja dia khawatir.
"Kenapa?" tanya Zalina menatap wajah lesu Sean, bibirnya tampak pucat.
"Entahlah, kepalaku tiba-tiba sakit dan mual juga."
Zalina yang takut dia kenapa-kenapa, segera menuntun pria itu ke tempat tidur. Ini adalah kali pertama Zalina berani menyentuh Sean tanpa keraguan. Tubuhnya panas, napasnya juga begitu. Zalina mulai membuka kancing baju Sean, mungkin pakaiannya terlalu menyiksa. Baju koko dari Agam yang memang berbahan tebal dan mungkin sedikit mengganggu, pikirnya.
"Jangan dibuka, Na ... aku malu."
Malu? Zalina tidak salah dengar. Memang jelas Sean mengucapkan malu kala dia hendak membuka baju sang suami. Hanya saja, mana mungkin Zalina membiarkan bajunya begitu saja. Walau tidak banyak Zalina mengetahui hal ini dari Mahdania, kakaknya yang merupakan seorang perawat.
"Mas demam, apa tadi tidak berteduh dulu?"
Yang Zalina ketahui, cuaca hari ini memang sangat menyiksa kulit. Bahkan, mungkin saja bisa membuat kulit terbakar. Bukan tidak mungkin Sean panas begini akibat hal itu.
"Sakit kepalanya sejak tadi pagi, aku tidak tahu kenapa ... masuk ang_"
Perutnya kembali diguncang hebat dan kini berlari ke kamar mandi dengan alasan yang sama. Tampaknya ada yang tidak beres dengan sang suami saat ini. Hingga, Zalina segera berlalu keluar kmar demi meminta bantuan pada Mahdania yang kebetulan baru saja datang beberapa hari lalu.
Pikiran Zalina sedikit kacau saat ini, yang dia pikirkan hanya keadaan Sean yang mungkin saja menderita penyakit atau apapun itu. Mahdania yang kini baru saja hendak duduk santai usai menidurkan buah hatinya, jelas saja terkejut melihat kepanikan Zalina.
"Kenapa?"
"Mas Sean sakit, dia muntah-muntah ... coba Mba lihat dulu, barangkali Mba tahu dia kenapa."
"Hah? Muntah-muntah gimana?"
"Muntah dan itu berkali-kali. Tolong, Mba aku khawatir dia kenapa-kenapa," tutur Zalina yang kini menarik paksa Mahdania.
Keduanya berlari menuju kamarnya, seperti biasa ketampanan adik iparnya masih membuat Mahdania berdecak kagum. Beberapa orang mengatakan ini musibah, tapi di mata sang kakak, Zalina justru tengah mendapatkan anugerah.
"Mas, mualnya masih?" tanya Zalina seraya menyeka dagu Sean yang kini basah dengan penuh kelembutan.
"Hm, sakit."
Dia meringis seraya menekan perutnya. Sakit sekali, jujur saja dan dia tidak berbohong atau tengah mencari perhatian. Zalina mendongak, menatap Mahdania yang kini tampak memerhatikan adik iparnya.
"Mba, kenapa kira-kira?"
"Aduh, kamu harusnya tanya mas Bayu, Na ... dia yang dokter, Mba bukan."
"Setidaknya Mba tahu dia kenapa," keluh Zalina dengan wajah yang kini ikutan pucat lantaran Sean semakin lemas.
"Mual, pusing dan muntah seperti tanda-tanda hamil ... jangan-jangan?"
Zalina mulai mengerutkan dahi, sudah jelas suaminya laki-laki dari mana bisa hamil. Dia masih terus duduk di sisi Sean, menunggu jawaban Mahdania yang menyimpulkan sesuatu hanya dari menerka-nerka.
"Jangan-jangan apa?"
"Bisa jadi suamimu mengalami Couvade Syndrome atau kehamilan simpatik ... masalah ini biasa terjadi pada suami yang mengalami gejala kehamilan seperti muntah, mual, pusing atau apapun itu di awal kehamilan istrinya."
Sean yang sejak tadi terpejam sontak membuka matanya perlahan. Apa katanya? Couvade Syndrome? Dasar sinting, menjamahnya saja belum pernah, lantas hamil dari mana? Sungguh, Sean tidak habis pikir dengan orang-orang begini.
"Mba jangan becanda, mana mungkin aku hamil."
Zalina memerah sekaligus bingung, dia menatap Sean yang tampak pasrah saja menikmati rasa sakitnya.
"Apa? Hamil?!!"
Sean yang tadinya sakit kepala semakin sakit saja. Suara menggelegar dari Agam benar-benar mengganggunya, setelah dibuat sakit jiwa oleh Abrizam, kini berganti Agam juga tampak marah padanya.
"Mas? Tenang dulu ... jangan marah!! Suamiku sakit."
"Barusan Nia bilang apa? Mas sudah percaya padamu, Zalina. Jika benar saat ini hamil, artinya tuduhan oang-orang itu benar dan demi Tuhan mas kecewa, Zal."
Satu-satunya yang percaya sepenuhnya malam itu pada mereka hanya Agam. Jelas saja dia kecewa andai kepercayaannya keliru dan justru yang benar adalah dugaan orang-orang sekitar.
"Kita ke rumah sakit saja, Mba Nia asal kalau bicara," tutur Zalina yang kini kembali memakaikan baju untuk Sean.
Caranya memperlakukan Sean benar-benar selembut itu. Matanya mengembun, wajahnya memerah dan Sean yakin yang membuatnya menangis adalah ucapan Agam.
"Maafkan aku, Zalina."
Dia berbisik, pelan sekali, hendak berucap saja Sean sulit. Lagi dan lagi, Sean membuat Zalina di posisi sulit. Dibantu Agam yang ternyata masih bersedia, mereka berangkat ke rumah sakit siang itu juga.
"Memalukan, fisikku kenapa lemah sekali di sini."
.
.
- To Be Continue -