"Buang obat penenang itu! Mulai sekarang, aku yang akan menenangkan hatimu."
.
Semua tuntutan kedua orang tua Aira membuatnya hampir depresi. Bahkan Aira sampai kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan seorang pria beristri. Dia justru bertemu anak motor dan menjadikannya pacar pura-pura.
Tak disangka pria yang dia kira bad boy itu adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimanya sebagai sekretaris.
Namun, Aira tetap menyembunyikan status Antares yang seorang CEO pada kedua orang tuanya agar orang tuanya tidak memanfaatkan kekayaan Antares.
Apakah akhirnya mereka saling mencintai dan Antares bisa melepas Aira dari ketergantungan obat penenang itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
"Pak Ares, turunin!" Aira mengayunkan kakinya agar Antares menurunkannya. Dia tidak ingin memancing perhatian staf lainnya.
Akhirnya Antares menurunkannya di dalam lift. Aira melepas satu sepatunya hingga dia kini tidak memakai alas kaki.
"Pak, jangan seperti ini lagi. Saya tidak mau yang lain mengira kalau saya punya hubungan khusus sama Pak Ares," kata Aira sambil mendongak menatap Antares.
Antares hanya tersenyum santai. Dia semakin mendekati Aira. "Berapa size sepatu kamu?"
Aira tak menjawabnya. Dia menjauh dari Antares karena sudah cukup perasaannya dibuat tak karuan hari itu.
"38?" tanya Antares lagi sambil mendekatkan sepatunya di kaki Aira. Tanpa menunggu jawaban Aira, Antares menghubungi Riko setelah keluar dari lift.
"Riko, cepat kamu beli sepatu wanita size 38 di tempatku biasanya beli. Flat shoes saja. Cepat kembali sebelum meeting dimulai." Setelah itu Antares memutuskan panggilannya.
"Pak Ares, tidak perlu dibelikan. Biar nanti saya beli sendiri," kata Aira yang masih berjalan di belakang Antares.
Tiba-tiba Antares berhenti dan menatapnya. "Ya sudah, nanti aku potong gaji kamu. Mulai sekarang jangan lagi memakai heels."
"Tapi saya jadi terlihat pendek."
Antares mendekat. Jika tidak memakai sepatu hak tinggi, tinggi Aira memang sebahunya. "Tidak apa-apa. Aku saja yang terlalu tinggi." Kemudian Antares masuk ke dalam ruangannya.
"Terlalu tinggi?" gumam Aira sambil duduk di meja kerjanya. Dia melanjutkan pekerjaannya. Setelah hampir satu jam berlalu, Riko datang sambil membawa sepatu untu Aira.
"Sepatu kamu." Riko meletakkan sepatu itu di meja.
Antares keluar dari ruangannya setelah mendengar Riko datang. "Riko, ambil berkas dan laptopku. Bawa ke ruang meeting sekarang."
"Iya, Pak Bos." Riko menghela napas panjang, belum juga dia duduk sudah disuruh lagi.
Antares membuka kotak sepatu itu lalu mengambilnya.
Aira justru terkejut dengan merk sepatu itu. "Pak, ini sepatu mahal. Aduh, gaji saya sebulan saja tidak cukup membayarnya."
Antares tak menyahutinya. Dia berjongkok dan memasang sepatu itu di kaki Aira yang membuat Aira terdiam seketika. Sepatu itu sangat pas di kaki Aira.
"Kamu tidak perlu menggantinya. Anggap saja hadiah untuk kamu masuk di perusahaan ini. Ikut aku ke ruang meeting, bawa catatan kamu." Kemudian Antares berjalan dengan Riko keluar dari ruangan itu.
Aira masih menatap sepatu di kakinya. "Nyaman sekali sepatu mahal. Tapi gak juga dipasangin kayak gitu. Sengaja banget buat aku salah tingkah terus-terusan."
...***...
Malam hari itu, Antares masih sibuk dengan pekerjaannya di rumah. Dia menatap laptopnya sambil membuka beberapa berkas di tangannya. Tiba-tiba ada panggilan masuk di ponselnya.
"Miko?" Antares segera mengangkat panggilan itu dari salah satu temannya di geng motor. "Ada apa?"
"Ada yang mencari Pak Ares. Dia nantang balapan."
"Anak geng motor mana? Kamu dan lainnya tidak bilang siapa aku kan?"
"Tidak, bos. Mereka masih muda. Katanya anak kampus biru. Kita sudah usir tapi mereka masih saja di sini."
"Ya sudah, aku ke sana sekarang." Antares menyimpan file-nya terlebih dahulu lalu mematikan laptopnya. Dia berganti pakaian dan memakai jaket kulitnya. Buru-buru dia keluar dari rumahnya.
"Mau kemana?"
Pertanyaan papanya tak menghentikan langkah Antares. "Keluar sebentar, Pa." Antares menutup kaca helmnya lalu melajukan motornya menuju jalan raya.
Dia semakin menambah laju motornya, hingga dia sampai di tempatnya biasa berkumpul dengan cepat.
Antares menghentikan motornya lalu membuka kaca helmnya dan menatap lima motor yang sedang berkumpul. "Jadi kamu, adiknya Aira. Mau apa?"
Yudha tersenyum miring menatap Antares. "Aku tantang kamu balapan!"
Antares dan anak buahnya tertawa cukup keras.
"Mau nantangin senior balapan? Jangan ya dek ya," kata teman-teman Antares.
"Aku gak setuju kamu sama Kak Aira. Seharusnya Kak Aira sudah menjadi istri Bang Toni dan aku akan mendapatkan motor keluaran terbaru. Gara-gara kamu, semua gagal. Kalau kamu kalah dariku, kamu harus putuskan Kak Aira."
Antares hanya tersenyum mendengar hal itu. "Kakak kamu maunya sama aku. Kamu gak bisa memaksanya," jawab Antares dengan santai. "Seharusnya kamu bisa mandiri. Cari kerja dan bantu keluarga kamu biar gak terus mengandalkan Aira karena nanti Aira akan aku bawa pergi dari rumah kamu."
"Kenapa? Lo takut sama gue?"
"Lo ngelunjak sama bos kita!"
Antares memberi kode pada anak buahnya agar tetap ada di belakangnya. "Oke, kalau itu mau kamu. Kalau kamu kalah, kamu jangan pernah ganggu Aira lagi." Antares menutup kaca helmnya. Dia kini maju ke garis start.
Saat hitungan mundur berakhir, Antares menginjak gas dengan penuh kekuatan. Motornya melaju kencang, meninggalkan Yudha yang berusaha keras mengejar. Di setiap tikungan tajam, Antares tetap tenang dan stabil, sementara Yudha mulai kewalahan menjaga keseimbangannya.
Namun, ketika garis finish sudah dekat, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Yudha, yang putus asa, menabrakkan motornya ke samping motor Antares dengan sengaja. Antares tak mampu menghindar dan terlempar dari motornya, tubuhnya menghantam aspal. Rasa sakit menjalar dari pergelangan kakinya, tapi dia tetap mencoba berdiri, walaupun terhuyung.
Yudha dan teman-temannya melarikan diri, suara tawa mereka samar-samar terdengar seiring deru motor yang menjauh.
“Hei, jangan kabur kalian!” teriak salah satu anak buah Antares, berusaha mengejar mereka.
Namun Antares menahan tangannya, memberi isyarat agar mereka berhenti. “Biarkan saja. Yang penting aku udah menang,” katanya, mencoba bersikap tenang meski kakinya terasa nyeri.
Sambil menahan sakit, Antares berusaha membuka sepatunya dan melihat luka memar yang mulai membiru di pergelangan kakinya. "Miko, antar aku ke dokter."
"Iya, bos." Miko segera mengendari motornya kemudian Antares naik ke boncengannya.
"Yang lain, bawa motor aku ke bengkel biasanya. Bilang semuanya harus kembali mulus."
"Siap."
Kemudian motor itu melaju menuju klinik.
"Aira itu cewek yang bertemu sama bos dulu itu?" tanya Miko.
"Iya. Sekarang dia jadi sekretarisku tapi keluarganya gak tahu kalau aku bosnya Aira."
"Kenapa tidak bilang? Biar mereka tidak seenaknya sama bos."
"Biarlah, aku gak mau Aira dapat masalah, yang penting aku bisa melindungi Aira."
Miko tertawa mendengar perkataan Antares. "Apa bos sudah jatuh cinta sama Aira?"
"Jatuh cinta?" Antares terdiam dan memikirkan perasaannya. Benarkah dia jatuh cinta secepat itu sama Aira?
akhirnya ngaku juga ya Riko...
😆😆😆😆
u.....