Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
“Apa? Bagaimana bisa?” Jenayra begitu terkejut dengan laporan salah seorang pelayan yang bertugas melayani pelanggan.
Restoran begitu ramai, hingga dia sendiri harus turun tangan untuk mengawasi para chef yang sedang bekerja di dapur, memastikan bahwa cita rasa dari menu restoran mereka tetap pada levelnya. Jangan sampai kurang satu apapun dan jangan sampai ada yang mengecewakan pelanggan.
Bahkan dia sendiri sudah memastikan setiap rasa mengecek dengan mencicipinya satu persatu sebelum diangkat dari atas kompor dan dihidangkan kepada pelanggan. Dan dia sudah memastikan tidak ada sesuatu apapun yang salah. Lalu kenapa tiba-tiba pelayan mengatakan bahwa seorang pelanggan mendapatkan menu yang rasanya begitu asin?
“Kurang ajar. Apakah ini trik dari seseorang untuk menjatuhkan nama baik restoran ini!” Jena merasa geram, tangan wanita itu terkepal dengan gigi geraham yang saling menekan. Mencampakkan kain serbet yang dipegangnya, kemudian menyingsingkan lengan baju wanita itu keluar dari area pantry.
Menghentikan sejenak langkahnya yang tergesa-gesa memejamkan mata kemudian mengambil nafas dalam. “Sabar, sabar, sabar.” Diusapnya dadanya berkali-kali lalu mengambil nafas dari mulut dan mengeluarkannya melalui hidung.
Dia tidak boleh emosi. Dia harus tetap berpikir jernih. Jika memang ada yang berniat untuk membuat nama restoran itu menjadi buruk maka dia pasti akan membalasnya berkali lipat.
“Katakan pada bagian CCTV untuk membawa rekaman yang ada di meja pelanggan yang kamu sebutkan tadi!” Ucapnya pada pelayan yang mengiringi di sampingnya.
“Baik, Bu!” Pelayan yang tadi melayani Ina menunjukkan kepala kemudian pergi ke tempat yang diperintahkan oleh Jenayra. Sementara itu jenderal bergegas berjalan menuju ke meja yang tadi disebut oleh pelayan.
“Selamat siang, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” Jenayra telah berada di hadapan Ina dan Andri.
Melihat kedatangan sahabatnya, ingin sekali rasanya Ina segera berdiri dan menghambur memeluk temannya itu. Tapi tentu saja dia tidak bisa langsung melakukannya. Masih ada rencana yang ingin dia jalankan.
“Saya tidak ingin bertele-tele. Tetapi silakan Anda icipi makanan ini!” Tanpa bertatapan, Ina mendorong piring yang ada di hadapannya yang masih butuh seperti saat pelayan meninggalkannya.
Jenaira yang mendengar suara pembeli di hadapannya, tercenung sejenak. Suara itu terdengar seperti…
“Apa benar seperti ini cita rasa dari restoran ini? Apa kamu tidak bisa menghilangkan kebiasaanmu yang terlalu suka makan asin. Apa tidak tahu, terlalu banyak makan asin akan menyebabkan hipertensi!” Ina melipat kedua tangannya di depan dada kemudian duduk bersandar sambil menatap datar ke arah sahabatnya.
Setengah tidak percaya, mata Jena memindai pembeli yang kini duduk bersandar dengan bersedekap dan menatapnya. Sedetik kemudian… Menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan telapak tangan. Matanya terbelalak sempurna saat merasa mengenali pemilik wajah itu. Menggelengkan kepala. Mungkin matanya salah. Tapi…
Jena tertegun, matanya terpaku pada wajah itu. Waktu seakan berhenti sejenak, suara pengunjung restoran yang ramai seketika memudar. Ia seperti terhipnotis oleh sosok yang duduk di hadapannya. Wajah Ina, yang dulu sering menghiasi hari-harinya dengan canda dan tawa, kini tampak berselimut amarah. Namun, di balik kemarahan itu, Jenong merasakan sesuatu yang berbeda. Ia melihat kilatan kegembiraan di mata pembeli itu, sesuatu yang familiar, sesuatu yang mengingatkannya pada sahabatnya yang telah lama hilang.
"Ina?" Jenong bergumam, suaranya bergetar. Ia mencoba mengatakan nama itu dengan jelas, tetapi kata-kata itu seperti terjebak di tengah kerongkongannya. Ia merasa jantungnya berdebar kencang, mencoba mencerna situasi yang terjadi. Apakah benar yang sedang dilihat oleh matanya saat ini. Dan sedetik kemudian kesadarannya kembali.
“Ya Allah, Ina…!” Pekiknya. Tidak menunggu detik berlalu wanita itu segera menghambur memeluk sahabatnya. “Aku tidak percaya ini benar-benar Kamu,” Ucapnya.
Ina pelukan pelukan jena dengan lebih erat dan penuh kelegaan. Air mata bahagia mengalir deras di pipinya. "Aku kangen, Nong," isaknya, suaranya bergetar karena haru. "Aku sangat merindukanmu!" Ia merasa semua beban yang selama ini ia pikul seolah-olah hilang seketika dalam pelukan hangat sahabatnya. Rasanya seperti pulang ke rumah setelah sekian lama tersesat.
Di tempat duduknya Andri Mengamati ibunya dan Jenayra dengan seksama. Ia melihat air mata mereka, tetapi ia juga merasakan kehangatan dalam pelukan mereka. Meskipun masih kecil, ia mencoba untuk memahami situasi. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang spesial terjadi antara ibunya dan wanita itu.
Lama kelamaan, Andri merasa sedih melihat ibunya menangis. Ia mendekati mereka perlahan-lahan, lalu meraih tangan ibunya dengan lembut. "Ibu," panggilnya dengan suara pelan, "kenapa ibu menangis?" Ia mencoba untuk menenangkan ibunya, walaupun ia sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia menatap Jenayra dengan tatapan yang penuh tanya.
Jenong melepaskan pelukannya, tatapannya jatuh pada Andri. Senyum hangat terkembang di wajahnya, menghilangkan sisa-sisa air mata haru. Ia terkesima sejenak oleh kehadiran anak kecil itu.
Sebuah senyum lembut mengembang di wajahnya. "Wah, anak kecil yang manis sekali," katanya, suaranya penuh dengan kelembutan. Ia berjongkok, mencoba untuk menyapa Andri dengan ramah. "Hai, jagoan. Siapa namamu?" Matanya yang berkaca-kaca karena haru tadi, kini berbinar dengan rasa ingin tahu. Setelah itu, ia menatap Ina dengan penuh rasa penasaran, menunggu penjelasan dari sahabatnya. "Ina, apa dia yang pernah kau ceritakan?" tanyanya, nada suaranya penuh dengan kehangatan sekaligus rasa ingin tahu yang bercampur jadi satu.
Ina ikut berjongkok dan mengangguk. Di lingkarkannya tangannya di bagian belakang tubuh Andri. Membawa bocah itu merapat padanya. “Iya, dia anakku, Andri,” jawabnya. “Ayo salim sama tante Nong-Nong, Sayang,” ucap Ina sambil membeli mengusap punggung Andri.
Jena mengerucutkan bibirnya merasa sebal pada temannya itu. “Apa tidak bisa memperkenalkan namaku dengan benar?” rajuknya.
Ina tertawa terkekeh, temannya masih seperti dulu, yang suka ngambek kalau dia memanggilnya dengan sebutan Nong-Nong. Kemudian menyebut nama Jenayra dengan benar pada putranya.
***
“Jadi, akhirnya Kamu menyerah juga?” Jena merasakan sesak di dadanya mendengar cerita Ina tentang rumah tangganya, yang sebagian memang sudah pernah didengarnya jika keduanya bertelepon.
“Aku terlalu tolol, bertahan hingga sejauh ini. Aku pikir mereka bisa berubah. Ternyata malah semakin parah.” Ina menghapus titik airmatanya. Tiap kali mengingat suaminya yang kini telah menjadi mantan, kesedihan dan kekecewaan itu kembali menyeruak. “Dia menikah lagi, itu yang paling tidak bisa aku tolerir.”
Jenong tertegun, mulutnya terbuka sedikit, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Raut wajahnya berubah drastis. Mata yang biasanya berbinar kini melebar. Terkejut, marah, dan iba jadi satu. Menatap Ina dengan tatapan penuh empati, seakan-akan ikut merasakan sakit yang dialami sahabatnya. Amarah yang terpendam setiap kali ingat perlakuan keluarga Ranu, mulai membuncah dalam dirinya, ia mengepalkan tangannya erat-erat, kuku-kukunya menancap ke telapak tangan hingga memutih.
Mulutnya bergerak-gerak, ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada kata-kata yang mampu keluar. Ia merasa begitu marah kepada suami Ina, yang telah tega mengkhianati kepercayaan dan cinta Ina. Ingin sekali menghukumnya, memberinya pelajaran, agar Ranu menyesal. Namun, Ia juga menyadari bahwa amarah bukanlah solusi.
Air mata Jena menetes, merasakan kesedihan Ina seakan-akan kesedihannya sendiri. Diusap punggung Ina dengan lembut, mencoba menenangkan sahabatnya yang tengah dilanda kepedihan. Dalam pelukan itu, Jena berjanji akan selalu ada untuk Ina, akan selalu mendukungnya, dan akan membantunya melewati masa-masa sulit ini.