KDRT dan sederet teror, Mendung dapatkan setelah dirinya menolak rencana pernikahan Andika, suaminya. Andika akan menikahi Yanti, bosnya sendiri. Demi kehidupan enak, dia tega menjebloskan Pelangi—putri semata wayangnya dan Mendung, ke penjara.
Padahal, selama enam tahun terakhir ketika Andika mengalami stroke, hanya Mendung dan Pelangi yang sudi mengurus sekaligus membiayai. Fatalnya, ketidakadilan yang harus ia dan bundanya dapatkan, membuat Pelangi menjadi ODGJ.
Ketika mati nyaris menjadi pilihan Mendung, Salman—pria dari masa lalunya dan kini sangat sukses, datang. Salman yang memperlakukan Mendung layaknya ratu, mengajak Mendung melanjutkan kisah mereka, meski kini mereka sama-sama lansia.
Akan tetapi, selain Salman masih terikat pernikahan, penyakit kronis juga tengah menggerogoti kesehatannya. Masihkah Mendung bisa bahagia, bersama pria yang selalu meratukannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Empat
“Melihat apa yang dialami ibu Mendung dan Pelangi, aku jadi sadar. Apa yang mereka alami membuatku mengambil keputusan besar,” ucap dokter Amir penuh ketenangan.
Salman yang menyimak, menatapnya serius. Namun, Salman jauh lebih tenang ketimbang dokter Amir. Keduanya sama-sama duduk di kursi kayu yang menghiasi teras rumah Mendung.
Di tengah suasana temaram karena lampu di sana hanya menyala remang, obrolan dari hati ke hati itu terjadi.
“Maafkan aku, yang tak jadi menantumu, Om! Namun Om tak perlu khawatir. Karena apa pun yang terjadi, aku akan tetap menjadi anak terbaik Om!” ucap dokter Amir.
“Anak perempuanku kan enggak hanya satu, Mir!” ucap Salman dengan nada menyindir. Pandangannya mengawasi sekitar, meski ia tengah mengajak orang di sebelahnya berbicara. Kebersamaan mereka saja hanya dipisahkan oleh meja kayu berbentuk persegi tak begitu besar. Di meja tersebut, dua cangkir kopi hitam masih mengepulkan asap cukup tebal. Sekitar dua menit lalu, Mendung yang sedang sangat bahagia karena akhirnya sang putri mengingatnya, membuatkan kedua cangkir kopi hitam tersebut, secara khusus untuk mereka.
Dokter Amir refleks menatap Salman penuh keseriusan. Ia tal berkomentar, dan memang paham. Jika Salman sudah tidak fokus sekaligus serba berkode, berarti ada masalah serius.
“Aku memang akan berjuang untuk bertahan. Aku akan melakukan apa pun, agar aku tetap hidup dan pastinya bahagia. Banyak hal yang ingin aku lakukan bersama Mendung. Kau tahu, dia cinta pertamamu. Dia satu-satunya cintaku. Setiap lagu yang aku ciptakan, baik tentang cinta, rindu, bahkan luka, semuanya murni karenanya.” Salman berkaca-kaca seiring suaranya yang makin parau.
“Paru-paru Om, serius?” Suara dokter Amir juga tak kalah parau. Dadanya mendadak sesak, dan tubuhnya serasa demam. Tak rela rasanya jika seorang Salman yang begitu memanusiakannya, harus menghadapi penyakit mematikan.
Salman tersenyum di antara air matanya yang berlinang. Ia menoleh dan menatap Amir. Seperti dugaannya, pria muda yang dulunya hanya bocah kurus dan sibuk menangis di panti asuhan itu, kembali menjadi sosok cengeng.
“Yang harus kamu lakukan bukanlah menangisiku, Mir. Yang harus kamu lakukan, tolong menikahlah dengan Pelangi, lalu bahagiakan dia. Karena hanya dengan begitu, aku dan Mendung bisa menikmati masa-masa lansia kami. Kebahagiaan kalian akan menjadi kebahagiaan kami!” ucap Salman agak mengomel.
“Apa pun akan aku lakukan asal Om jangan mati dalam waktu dekat!” lirih dokter Amir yang mulai sesenggukan.
“Siapa juga yang mau mati dalam waktu dekat? Aku hanya sakit serius. Dan aku akan menjalani segala pengobatan. Sebisa mungkin aku akan menjalani pengobatan herbal dulu. Aku takut, pengobatan kima.”
“Ke luar negeri Om. Aku akan cari info. Bahkan pengobatan di negara tetangga jauh lebih ada hasilnya! Pokoknya Om enggak boleh mati dalam waktu dekat!” sergah dokter Amir yang nekat berlutut kemudian mendekap kedua kaki Salman.
“Mulailah dekati Pelangi ... aku lihat, dia bisa menurut kepadamu,” ucap Salman. Di pangkuannya, kepala dokter Amir mengangguk-angguk.
“Kamu juga sudah tidak perlu memikirkan ester lagi. Aku sudah tidak kurang-kurang mengarahkannya. Ke Dayatri pun, bibirku sudah berulang kali berbusa. Mereka ibu dan anak, sifat mereka benar-benar kembar. Jika mereka berani mengusikmu bahkan rusuh di klinik, aku yang akan maju!”
Walau sudah seperti bapak dan anak, cara komunikasi Salman kepada dokter Amir memang lebih mirip dengan teman sendiri. Mereka tampak layaknya teman tongkrongan, apalagi Salman juga tak pernah memberikan jarak di antara mereka.
Malam ini, Pelangi kembali tidur dengan lelap. Namun yang membuat Mendung kepikiran, Pelangi berdalih akan pergi ke rumah Riky, besok harinya.
Pelangi masih ingat, bahwa dirinya akan menikah dengan sang kekasih yang sudah berpacaran dengannya semenjak mereka sama-sama SMA.
“Gimana ini? Pelangi pasti akan sangat kecewa. Namun aku juga tak sudi andai laki-laki pengecut seperti Riky, menjadi suami Pelangi. Suami? Bahkan sepertinya Riky hanya akan mempermainkan Pelangi,” batin Mendung yang kemudikan meninggalkan Pelangi. Ia tak lagi meringkuk, mengel.oni Pelangi.
Mendung sengaja keluar rumah. Memastikan kondisi Salman. Belum pamitnya Salman membuatnya yakin, bahwa pria itu belum pergi dari rumahnya.
Suasana rumah sudah kembali sepi. Tak ada aktifitas karena Talita saja sudah masuk rumah. Namun lusa, Talita sudah tak lagi bekerja kepada mereka. Karena Talita yang akan menikah, selanjutnya ingin fokus menjadi IRT.
“Kita tetap di sini, enggak dimarahi RT, yah, Om?”
“Aku sudah izin. Kamu lupa kalau aku sangat cerdas?”
“Cerdas kok baru bisa bareng cinta pertama, setelah puluhan purnama ngontrak di sebelah!”
“Kamu jangan lupa, secerdas-cerdasnya orang, dia akan menjadi orang paling bodoh jika sedang jatuh cinta!”
Balasan dari Salman membuat dokter Amir kicep. Namun kemudian, dokter Amir jadi kepikiran janjinya yang akan menikahi Pelangi.
“Om, aku harus menikahi Pelangi kapan?”
Pertanyaan dokter Amir barusan, langsung membuat Mendung berhenti melangkah. Mendung refleks mengerem langkahnya yang terbilang buru-buru.
“Hah ... apa lagi ini?” batin Mendung Perasaannya langsung jadi tak karuan.
“Ya didekati dulu, jangan asal langsung. Yang ada Pelangi takut,” ucap Salman.
“Didekati ...? Om kan tahu, aku sangat menghargai wanita. Kalau proses pendekatan sampai ada peluk-peluk, rugi di Pelangi,” balas dokter Amir.
“Kalau begitu harusnya kamu sudah tahu jawabannya. Nikahi dia secepatnya, agar kamu bisa—” Salman belum beres bicara, tetapi dokter Andri yang sudah kembali duduk di kursi sebelahnya, melemparinya dengan tutup gelas.
“Paling jago suruh pancing-pancing orang. Si paling modus emang si Om ini!” sebal dokter Andri, tetapi yang ia marahi malah tertawa. Tawa lepas dan sampai membuat Salman bengek.
Mendung yang awalnya tengah memikirkan Pelangi, juga jadi mengkhawatirkan Salman. Mendung keluar dari persembunyiannya, dan tak lagi berdiri di belakang pintu rumah.
“Sudah malam, di sini pun suasananya sangat dingin. Sana, ikut dokter Amir dan istirahat di rumahnya,” ucap Mendung yang datang sambil membawa segelas air putih.
“Sudah kakek-kakek jangan susah diarahin, Om. Nanti yang ada, Om disleding!” ucap dokter Amir.
Sampai detik ini, Mendung masih tidak percaya. Bahwa Salman sudah merancang semuanya sangat jauh. Salman sampai menyiapkan jodoh untuk Pelangi. Jodoh baik-baik dan pastinya bisa Mendung percaya.
“Si Amir itu pria baik-baik. Kamu percayakan saja Pelangi kepadanya.” Ucapan tersebut Salman katakan kepada Mendung, saat mereka antre pengobatan Salman. Kini, Mendung mengingatnya sambil diam-diam mengawasi dokter Amir. Pria muda nan gagah itu buru-buru membungkuk ketika tak sengaja memergokinya, tengah mengawasinya. Dokter Amir memang pria yang sangat sopan.
Sementara itu, di dalam kamar. Talita tengah berbahagia karena sedang video call dengan calon suaminya.