Gara, cowok dengan semangat ugal-ugalan, jatuh cinta mati pada Anya. Sayangnya, cintanya bertepuk sebelah tangan. Dengan segala cara konyol, mulai dari memanjat atap hingga menabrak tiang lampu, Gara berusaha mendapatkan hati pujaannya.
Tetapi setiap upayanya selalu berakhir dengan kegagalan yang kocak. Ketika saingan cintanya semakin kuat, Gara pun semakin nekat, bahkan terlibat dalam taruhan konyol.
Bagaimana kekocakan Gara dalam mengejar cinta dan menyingkirkan saingan cintanya? Akankah Gara mendapatkan pujaan hatinya? Saksikan kisah cinta ugal-ugalan yang penuh tawa, kejutan, dan kekonyolan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Apel Romantis Berbalut Mistis
Anya menatap balon-balon itu dengan ekspresi campuran antara bingung dan geli. "Itu ... untuk aku?"
Yoyok langsung menoleh ke arah Anya yang sedari tadi tak terlalu ia perhatikan. " Eh, jadi elu yang namanya Anya?" tanyanya memastikan.
Anya mengangguk. "Iya."
Yoyok mengangguk heboh. "Iya dong! Lo harus tau, Gara udah nyiapin ini dari seminggu lalu. Dia pengen bikin lo terkesan. Tuh, liat ada tulisan di balon itu!"
Gara bingung harus bereaksi bagaimana. Di satu sisi, ia merasa malu di depan Anya dan semua orang yang menyaksikan momen canggung itu. Tapi di sisi lain, ia tak bisa marah pada Yoyok. Toh, Yoyok hanya ingin membantunya dengan niat baik, meski caranya terlalu berlebihan.
Wajah Anya berubah merah, antara malu dan kaget. "Gara, ini …?"
Gara langsung gelagapan, berusaha menjelaskan. "Eh, itu ... gue enggak tau. Itu ide Yoyok. Gue, gue sebenarnya mau ngobrol santai aja, Anya, beneran ..."
Namun, Anya sudah terlanjur merasa tidak nyaman. Dia berdiri sambil tersenyum canggung. "Gara, aku senang kamu perhatian, tapi mungkin kita harus ngobrol lain kali, ya?" katanya sambil berlalu dengan cepat, meninggalkan Gara yang terpaku di tempat.
Yoyok, yang tampaknya tidak menyadari kehancuran yang baru saja dia sebabkan, menepuk pundak Gara dengan senyuman bangga. "Gue bilang juga apa, bro. Cewek suka kejutan! Liat aja, besok Anya pasti setuju jadi cewek lo!"
Gara hanya bisa memandang Yoyok dengan lelah, tanpa berkata apa-apa. Rencana “santai” yang baru saja dia coba ternyata kembali berantakan, dan kali ini gara-gara balon raksasa yang sama sekali tidak dia minta.
***
Malam itu adalah malam minggu. Setelah pendekatannya yang kacau karena balon cinta dari Yoyok, Gara memutuskan untuk mencoba lagi. Kali ini dengan cara yang lebih tradisional, Gara pengen ngapeli Anya seraya membawa bunga dan martabak manis. Namun, karena ide itu muncul dadakan dan tak ada lagi toko bunga yang buka, Gara memutuskan untuk mengambil bunga dari para tetangganya.
Pertama, ia mampir ke rumah Pak RT. "Pak, boleh nggak saya minta bunga mawar dan melati di halaman depan? Penting, Pak, buat urusan hati."
Pak RT mengernyit, tapi mengingat Gara yang rajin ikut kerja bakti di lingkungan mereka, akhirnya mengangguk. "Ya udah, ambil aja, Gar. Semoga sukses."
Lalu, Gara melangkah ke rumah Bu Bom-Bom, tetangga yang terkenal gemar menanam bunga kenanga. "Bu, saya boleh minta kenanga nggak? Penting banget."
Bu Bom-Bom hanya mengangkat alis, bingung, tapi mengingat Gara yang sering membantunya mengangkat galon, akhirnya menyerah pada permintaan Gara. "Ambil sana, tapi jangan bikin ribut."
"Iya, Bu. Terima kasih," ucap Gara sambil tersenyum lebar.
"Hum," sahut Bu Bom-Bom sambil masuk ke dalam rumah, namun keningnya tetap mengernyit heran. "Buat apa anak ugal-ugalan itu minta bunga kenanga malam-malam begini?" pikirnya.
Saat melihat Gara membawa bunga mawar dan melati, Bu Bom-Bom mulai curiga. Apalagi ia sempat mendengar dari tetangga kalau Gara sedang berusaha mendekati anak kepala desa.
"Jangan-jangan... anak ini mau ritual mandi kembang buat jampi-jampi cewek?" batin Bu Bom-Bom dengan sedikit bergidik. Pikiran itu tak sepenuhnya tak beralasan, apalagi di kampungnya, mandi kembang tengah malam sering dihubungkan dengan hal-hal mistis. Sambil menutup pintu, ia hanya bisa berharap Gara tak merencanakan sesuatu yang aneh-aneh.
Setelah berhasil mengumpulkan beberapa bunga, Gara melihat buket di tangannya dan merasa ini belum cukup. Dia merenung, "Kurang, nih. Tapi di mana lagi bisa dapet bunga malam-malam gini?"
Saat ia berjalan melewati jalan kecil, tiba-tiba matanya tertuju ke arah kuburan di ujung jalan. Di sana, di bawah temaram lampu jalan yang remang-remang, terlihat bunga Kamboja mekar. Gara tersenyum. "Ah, itu dia. Bunga terakhir!"
"Dengan langkah penuh tekad, Gara menuju kuburan. Ia mengendap-endap, berharap tak ada yang melihat. Sesampainya di sana, ia memetik bunga Kamboja dengan cepat, meski angin malam membuat bulu kuduknya berdiri. "Mbak Kunti, minta bunganya sedikit, ya? Nanti saya kasih bunga plastik ganti, deh. Biar adil."
Di tengah keheningan malam, tiba-tiba ada suara kucing mengeong dari balik nisan. Gara hampir lompat. "Aduh, kaget gue! Kucing juga nyari bunga, ya?" gumamnya mencoba menghibur diri. Setelah berhasil mengumpulkan cukup bunga, ia buru-buru pergi dari tempat itu sambil memegangi buket yang kini terlihat ... aneh. Mawar, melati, kenanga... dan Kamboja.
Gara bersiap-siap dengan dandanan yang menurutnya paling keren sebelum berangkat mengapeli Anya. Ia menatap cermin dengan percaya diri, memastikan rambutnya sudah disisir rapi meski sedikit acak-acakan, karena menurutnya itu gaya yang "berantakan tapi keren." Setelah merasa penampilannya sudah sempurna, ia mengambil buket bunga yang sudah dirangkai dengan susah payah. Indah? Indah versi Gara, tentu saja. Campuran mawar, melati, kenanga, dan... Kamboja.
Tak lupa, ia meraih helm kesayangannya yang berbentuk gas elpiji tiga kilogram, lengkap dengan tulisan besar, "HANYA UNTUK MASYARAKAT MISKIN." Gara suka memakai helm ini bukan hanya karena bentuknya yang unik, tapi juga karena, menurutnya, helm itu mengandung pesan moral yang mendalam. "Biar orang-orang ingat, jangan ngaku kaya tapi masih beli gas subsidi!" katanya suatu kali.
Setelah merasa siap, Gara menstarter motor bebek kesayangannya, yang ia panggil dengan penuh kasih sayang "Si Ugal." Dengan suara knalpot berisik, ia melaju ke penjual martabak sebagai bagian dari rencananya: sogokan manis untuk calon mertua.
Setibanya di tempat penjual martabak, orang-orang yang sedang mengantre langsung menatap Gara dari atas sampai bawah dengan tatapan penuh kebingungan. Dari penampilannya yang serba tak nyambung, helm gas melon yang tak lazim, motor "Si Ugal" yang berisik, sampai buket bunga campur aduk yang ia pegang. Semuanya membuat Gara terlihat seperti karakter dari dunia lain.
Salah satu pembeli, yang sudah tak tahan untuk tidak berkomentar, berbisik pada temannya, "Eh, liat tuh, anak. Mau ngapelin cewek atau demo soal gas melon, sih?"
Yang lain membalas dengan setengah tertawa, "Kayaknya mau ngapelin Mbak Kunti di kuburan."
Tapi Gara tak terganggu sedikit pun. Dengan penuh percaya diri, ia menunggu martabaknya selesai dibuat, sambil sesekali melirik helm gas melon-nya di cermin motor, memastikan masih terlihat "keren." "Ah, ini pasti bakal jadi malam yang sempurna," gumamnya puas.
Tak berapa lama, Gara sudah berdiri di depan rumah Anya, dengan buket bunga di satu tangan dan martabak manis di tangan lainnya. Pintu terbuka, dan Anya muncul, tersenyum kecil, meski matanya langsung tertuju pada buket bunga itu.
"Buat kamu, Anya," ucap Gara, dengan senyum gugup.
Anya menerima bunganya, tapi seketika wajahnya berubah. "Ini ... bunga Kamboja?"
Belum sempat Anya berkata lebih lanjut, ibunya muncul di belakang. "Gara, ini bunga yang biasa ada di kuburan, 'kan?"
Gara yang mulai merasa keringat dingin di punggungnya mencoba mengalihkan dengan menyerahkan martabak. "Eh, ini martabak manis, Bu. Biar suasananya ... lebih manis."
Namun sebelum ibu Anya sempat menerima martabak yang disodorkan Gara, suasana makin canggung saat Pakde Anya yang kebetulan lewat ikut mengomentari. "Wah, ini mah bukan bunga untuk cewek, ini mah ... kayak buat orang mati."
Gara mencoba tertawa gugup, tapi malah membuat seluruh keluarga Anya merinding. Anya pun, yang awalnya tersenyum, sekarang hanya bisa menahan tawa canggung. "Ehm ... terima kasih, Gar, tapi ... kita udah kayak di kuburan beneran nih."
Gara hanya bisa menggaruk kepala, menyadari bahwa usahanya yang kesekian kali ini malah semakin kacau. "Aduh, gue salah bunga, ya?"
Ayah Anya yang sejak tadi mengamati dari balik pintu tiba-tiba muncul, menahan senyum lebar. "Wah, Gara! Saya akui kamu ini anak muda yang romantis. Niatnya sih oke, bawa bunga segala. Tapi ... salah bunga jadi mistis!" ucapnya sambil tertawa kecil, membuat suasana makin aneh.
Gara hanya bisa tersenyum kecut. "Iya, Pak .... Saya gak sengaja. Toko bunga udah pada tutup, terus, bunga tetangga habis, jadi ... eh, saya nemu yang di kuburan."
Ayah Anya masih terkikik. "Ya, namanya juga usaha. Cuma lain kali, coba jangan yang biasa buat orang meninggal, ya. Nanti Anya kirain kamu ngajak dia pergi ke dunia lain."
Semua orang terdiam sebentar, lalu meledak dalam tawa, kecuali Gara yang hanya bisa cengengesan. Anya pun akhirnya tertawa juga, meski masih memegang buket bunga Kamboja dengan sedikit ragu. "Gara, kamu tuh lucu. Niat banget, tapi ... mistisnya dapet."
Gara merasa malu sekaligus lega. Setidaknya, suasana canggung sedikit cair, meski niat romantisnya justru berubah jadi horor komedi di depan keluarga Anya. "Makasih, Pak. Lain kali saya bawa bunga yang bener, deh. Mungkin martabak dan bunga plastik aja biar aman," candanya, seraya menyodorkan martabak yang tadi belum diambil ibu Anya pada ayah Anya.
Ayah Anya mengambil martabak yang disodorkan Gara dengan tawa lepas, "Nah, martabak gak bakal mistis, kan?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued