Amira Khairinisa, tiba-tiba harus menerima kenyataan dan harus menerima dirinya menjadi seorang istri dari pria yang bernama Fajar Rudianto, seorang ketos tampan,dingin dan juga berkharisma di sekolahnya.
Dia terpaksa menerima pernikahan itu karena sebuah perjodohan setelah dirinya sudah kehilangan seseorang yang sangat berharga di dunia ini, yaitu ibunya.
Ditambah dia harus menikah dan harus menjadi seorang istri di usianya yang masih muda dan juga masih berstatus sebagai seorang pelajar SMA, di SMA NEGERI INDEPENDEN BANDUNG SCHOOL.
Bagaimanakah nantinya kehidupan pernikahan mereka selanjutnya dan bagaimanapun keseruan kisah manis di antara mereka, mari baca keseluruhan di novel ini....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon satria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30.
Setelah melaksanakan shalat magrib, dan juga Amira sudah menggunakan kembali cadarnya Fajar pun langsung membalikan badannya ke belakang menghadap ke arah Amira.
Amira pun lantas langsung mencium punggung tangan Fajar, namun saat dia hendak melepaskan nya Fajar langsung menahan puncak kepalanya dan langsung melafalkan do'a kepada Amira.
Hal itu membuat Amira bahagia, dan langsung tersenyum dibalik cadarnya itu.
" Makasih, Jar, kamu udah mau jadi imam aku dan makasih juga udah ngasih ilmu baru yang belum aku tau." ucap Amira, dengan penuh syukur.
Walaupun pernikahan mereka memang atas dasar perjodohan, tetapi Amira ingin jika pernikahan mereka ini bisa dijalankan tanpa adanya sebuah paksaan.
Mau mereka berjodoh maupun tidak untuk kedepannya, setidaknya mereka tidak mempermainkan pernikahan yang sudah sah di mata agama dan juga hukum.
" Mmm....apa kedepannya kita bisa shalat berjamaah lagi?" tanyanya dengan hati-hati.
" Tergantung." jawab Fajar, sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.
Saat mereka sudah merapihkan alat shalat mereka, mereka berdua kini sudah beralih duduk di sofa dan saling berbicara.
" Tergantung?, tergantung apa?" tanya Amira, atas jawaban Fajar sebelumnya.
Dia juga menatap Fajar dengan tatapan bingung.
Fajar memang selalu berbicara dengan kata-kata irit dan singkat seperti itu, sehingga hal itu membuat Amira harus menggunakan tenaga ekstra saat berbicara bersamanya, karena Amira dituntut untuk selalu mengambil kata-katanya.
Kata-kata yang Fajar ucapkan memanglah sedikit, namun berbeda dengan maknanya yang pastinya tidak sedikit.
Sama seperti saat ini, Amira sama sekali belum memahami maksud yang Fajar sampaikan.
" Tergantung apa, Jar? coba kalau berbicara itu yang jelas." protes Amira, dengan nada bicaranya yang masih terdengar tenang.
" Tergantung makmumnya." jawab Fajar dengan pandanganya yang dia pusatkan kepada manik-manik mata Amira.
" Tergantung makmum.... artinya tergantung aku? masa tergantung aku? seharusnya tergantung kamu dong, kamu kan imamnya." ucap Amira, meminta penjelasan atas perkataan yang Fajar sampaikan kepadanya.
Bukanya menjawab pertanyaan Amira, Fajar malah beranjak dari sana, meninggalkan Amira yang masih menatapnya dengan perasaan bingung yang masih menggantung.
" Mau kemana? jawab dulu pertanyaan aku, Jar." ujar Amira yang ikut berdiri dari sofa itu, dan mensejajarkan dirinya dengan posisi suaminya saat ini.
Fajar pun kembali melirik sekilas ke arah Amira.
" Saya ada urusan." ucapnya, begitu singkat, sambil mengubah pendanaannya, tidak lagi menatap ke arah Amira.
" Ke rumah sakit?" tebak Amira, tiba-tiba.
Apa yang baru saja dia katakan, berhasil membuat Fajar kembali menatapnya.
" Aku tidak sengaja mendengar obrolan kamu sama Rangga di sekolah tadi, aku juga dengar kalau kamu akan datang ke rumah sakit malam hari." jelas Amira.
Dia memilih untuk menjelaskannya lebih dulu, sebelum Fajar meminta penjelasan tentang itu.
Fajar pun tidak memberikan respon apapun, dia hanya diam, dengan tatapannya yang sejak awal hanya tertuju kepada Amira.
Dia juga tidak membenarkan ataupun menolak ucapan Amira, hal itu membuat Amira ingin bertanya lagi.
" Kalau aku boleh tau, siapa yang sakit? apa temen kamu?" tanya Amira, yang mulai penasaran sekaligus khawatir.
" Hm, temen saya."
" Sakit apa?" tanya Amira, entah sudah berapa kali dia sudah bertanya.
Bukanya menjawab dengan ucapan, Fajar malah menjawab pertanyaannya dengan sebuah tatapan dingin.
Mendapat tatapan seperti itu dari Fajar, membuat Amira langsung membuang pandangannya, dia tidak berani membalas tatapan mata tajam itu.
" Maaf, Jar, aku gak bakal nanya lagi." lirihnya pelan, dengan kepalanya menunduk lesu.
Namun lagi-lagi Fajar hanya meresponnya dengan sebuah gumaman saja.
" Apapun sakitnya, semoga temen kamu segera diberikan kesembuhan." ucap Amira kembali.
Suaranya tidak terdengar jelas, karena posisinya yang masih menunduk, sungguh, dia masih tidak berani mengangkat pandangannya yang akan membuat tatapannya bertemu dengan tatapan Fajar.
" Aamiin." batin Fajar, merespon doa yang Amira panjatkan untuk kesehatan temannya, lebih tepatnya, sahabatnya.
Melihat Amira yang masih terus menunduk itu, membuat Fajar sadar bahwa sikapnya sudah membuat Amira tidak nyaman.
Tiba-tiba dia merasa bersalah, karena Amira tidak kunjung menatapnya.
Entah mendapat dorongan darimana, tiba-tiba saja salah satu tangan kekarnya langsung terangkat.
Dan yang lebih mengejutkan, telapak tangan itu mendarat sempurna, tepat mengenai pucuk kepala Amira, dia juga mengelus rambut Amira dibalik hijab putihnya.
Elusan itu terasa begitu lembut, hingga membuat Amira tertegun akan perlakuannya.
" Saya pergi dulu." ucapnya, sambil menurunkan kembali tanganya dari sana.
Deg!.
Hal itu membuat Amira terkejut, karena pertama kalinya Fajar mengelus kepalanya seperti itu.
Bahkan sebelumnya, setelah mereka melaksanakan akad pernikahan, Fajar tidak pernah melakukan hal itu kepadanya hanya sekedar pegang kepala dan melafalkan do'a nya saja kepada dirinya.
" Saya bilang, saya mau pergi!" bisik Fajar, dengan jarak yang begitu dekat, hingga bisikan itu terasa begitu jelas di telinga Amira.
Sebuah senyuman tipis, terbit begitu saja di wajah Fajar, tatkala dia melihat Amira yang meremas jari jemarinya sendiri, setelah dia berbisik seperti itu.
Jangan salahkan dirinya yang sudah membisikan sesuatu dengan jarak mereka yang cukup dekat, tetapi salahkan Amira, karena Amira tidak kunjung merespon ucapannya.
Bukanya merespon, Amira malah semakin menundukan kepalanya, hingga wajah itu tidak terlihat lagi oleh Fajar.
" Iya, Jar, hati-hati, ya." cicit Amira, begitu pelan, bahkan nyaris tidak terdengar.
Mau bagaimanapun keadaannya, dia tidak akan mengangkat pandangannya, sebelum Fajar pergi meninggalkannya, karena dia sudah terlewat malu/salting.
" Jangan nunggu saya pulang." bisik Fajar kembali.
Kemudian diapun langsung meninggalkan Amira sendirian di dalam kamarnya, dengan perasaan Amira yang sangat tidak karuan.
TO BE CONTINUE.