"Buang obat penenang itu! Mulai sekarang, aku yang akan menenangkan hatimu."
.
Semua tuntutan kedua orang tua Aira membuatnya hampir depresi. Bahkan Aira sampai kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan seorang pria beristri. Dia justru bertemu anak motor dan menjadikannya pacar pura-pura.
Tak disangka pria yang dia kira bad boy itu adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimanya sebagai sekretaris.
Namun, Aira tetap menyembunyikan status Antares yang seorang CEO pada kedua orang tuanya agar orang tuanya tidak memanfaatkan kekayaan Antares.
Apakah akhirnya mereka saling mencintai dan Antares bisa melepas Aira dari ketergantungan obat penenang itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
Antares terus menatap rekaman CCTV yang terhubung di laptopnya. Meskipun sangat kesal, dia masih saja melihat Aira dan Rizal yang sedang bekerja. Sesekali mereka terlihat tertawa bersama, membuat hatinya semakin panas.
Riko berjalan mendekat secara perlahan dan melihat apa yang dilihat bosnya. "Astaga, kalau cemburu ngapain lihat mereka terus!"
Antares keluar dari rekaman CCTV itu dan menarik napas panjang. "Masa lalu mereka belum selesai."
Riko duduk di depan Antares. Sebagai asisten yang baik, dia selalu memberi pemikiran positif pada bosnya yang terkadang masih sering berpikir labil. "Pak Ares, kenapa tidak klarifikasi pada Aira."
"Klarifikasi apa?"
"Ya, tanya perasaan Aira bagaimana sama Pak Ares. Jangan mendahulukan amarah seperti ini, berpikir dengan kepala dingin dulu."
Antares hanya tersenyum kecil. "Aku tidak bisa memulai hubungan dengan bayang-bayang masa lalu. Nantinya salah satu dari kita pasti ada yang terluka. Biarkan mereka menyelesaikannya dulu, atau mereka masih ingin berlanjut ya terserah mereka. Mumpung ini baru awal."
"Pak Ares menyerah begitu saja?"
Antares terdiam beberapa saat. "Bukannya aku menyerah tapi perasaan itu tidak bisa dipaksa. Aku pernah mencintai, tapi akhirnya cinta itu pergi. Aku juga pernah dicintai, tapi aku masih hidup di bayang-bayang masa lalu dan akhirnya kita semua yang terluka. Jadi untuk sekarang, aku tidak mau memaksa keadaan. Aku akan biarkan Aira menentukan pilihannya, tanpa ada pengaruhku."
Riko masih saja tertawa. "Membiarkan Aira? Tapi dipantau terus dari CCTV. Menurut saya, mending bilang yang sebenarnya pada Aira. Jangan gengsi, kalau tidak mau jadi perjaka tua."
Antares melipat kedua tangannya sambil menatap tajam Riko. "Keluar! Pekerjaan kamu masih banyak."
Riko akhirnya berdiri dan berjalan keluar dari ruangan Antares sambil tertawa. Dia berpapasan dengan Aira yang masuk ke dalam ruangan itu. "Hati-hati, ada bos galak."
Aira hanya mengangguk. Dia kini masuk ke dalam ruangan itu dan meletakkan laporan yang sudah selesai dia buat.
Antares membuka map itu tanpa berkata apapun.
"Pak Ares, ini bukan jobdesk saya. Kalau masih gagal, lebih baik Pak Ares cari orang lain yang lebih ahli daripada saya."
"Aku atasan kamu, jadi aku yang berhak mengatur di perusahaan. Besok harus selesai. Bukannya kerjasama kamu dan Pak Rizal sangat bagus."
Aira tak menjawab lagi. "Saya, permisi." Dia membalikkan badannya dan keluar dari ruangan itu.
"Gak punya perasaan sama sekali!" Aira masuk ke dalam lift dan turun ke lantai tiga untuk kembali ke ruang teknisi. Dia kini duduk di kursinya dan menatap makanan yang belum habis dia makan tapi rasanya dia sudah hilang selera.
"Aira, kamu makan dulu."
"Nanti saja, aku sudah tidak lapar."
Rizal menoleh Aira. "Kamu dimarahi Pak Ares?"
Aira menggelengkan kepalanya. "Tidak."
"Tenang saja, besok pasti selesai."
Mereka kembali bekerja. Tanpa terasa, hari telah sore dan semakin gelap. Mereka melanjutkan pekerjaan hingga selesai meskipun harus lembur dua jam.
"Bisa?"
Aira tersenyum karena akhirnya pekerjaannya berhasil. "Iya, akhirnya bisa!"
"Sekarang kita pulang."
Aira menganggukkan kepalanya. Dia mematikan monitornya lalu mengambil tasnya dan keluar dari ruangan itu. Dia berjalan bersama Rizal masuk ke dalam lift.
"Sudah malam, aku antar kamu pulang."
Aira menganggukkan kepalanya. Hari itu, dia merasa sangat lelah, bahkan selera makannya juga hilang dalam sekejap. Makanan yang dibelikan Rizal akhirnya terbuang karena Aira terus fokus dengan pekerjaannya.
Setelah sampai di lantai dasar, mereka berjalan menuju tempat parkir. Dia melihat mobil Antares yang masih terparkir di sana. Pak Ares, masih belum pulang.
"Aira, mau makan malam dulu?" tanya Rizal sambil membuka pintu mobil untuk Aira.
Aira menggelengkan kepalanya. "Langsung pulang saja. Aku capek banget."
"Oke." Mereka berdua telah masuk ke dalam mobil, lalu mobil itu melaju.
Antares yang sedari tadi mengawasi mereka hanya membuang napas kasar. Kemudian dia berjalan menuju mobilnya. "Cinta itu memang menyakitkan."
...***...
"Badanku sakit semua. Makan juga tidak enak." Aira hanya memakan sedikit roti dan susu hangat lalu dia merebahkan dirinya di ranjang sambil memeluk kucingnya.
"Bintang, Papa kamu ngambek. Dia marah-marah terus. Padahal kan bisa dibicarakan baik-baik." Aira mengusap bulu halus itu. Hingga akhirnya dia tertidur.
Saat matahari telah terbit, Aira membuka kedua matanya dan bangun dengan malas. Badannya terasa sakit semua dan terasa hangat.
"Jangan sampai tumbang," gumam Aira. Dia turun dari ranjangnya dan menyiapkan air hangat untuk mandi.
Setelah mandi dengan air hangat, berharap badannya segar tapi rasa nyeri di sekujur tubuhnya semakin terasa. Dia tetap bersiap pergi ke kantor karena pekerjaannya harus benar-benar selesai hari itu juga.
Aira hanya memakan sedikit roti karena lidahnya terasa pahit dan kehilangan selera makan. "Nanti saja aku minum obat di kantor. Udah hampir terlambat."
Aira segera memesan ojek online dan menunggunya di depan rumah. Untunglah driver datang tepat waktu. Dia segera naik ke boncengan driver itu.
Setelah sampai di depan perusahaan, Aira masuk ke dalam perusahaan dengan lemas. Dia absen terlebih dahulu lalu berjalan menuju lift.
"Aira!" Rizal berjalan cepat mendekati Aira lalu mereka masuk ke dalam lift bersama-sama. "Aku bawakan kopi latte, biar tidak mengantuk." Rizal menyodorkan satu cup kopi untuk Aira.
"Kopi? Makasih." Aira menerima kopi itu dan meminumnya sedikit untuk menghargai pemberian Rizal meski sebenarnya perutnya sudah terasa tidak enak. Kemudian mereka keluar dari lift sambil mengobrol.
"Kita coba sekali lagi, setelah itu baru kita pasang casingnya."
Aira menganggukkan kepalanya. Dia meletakkan kopi itu di samping monitornya lalu menghidupkan laptop yang sudah selesai pengisian software.
Setelah Aira menghidupkannya, tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Satu tangannya menapak di meja untuk menahan tubuhnya. Tanpa sengaja tangannya menyenggol kopi dan terguling. Aira terkejut karena kopi itu mengenai laptop yang sedang dia rakit. Dia akan menggeser laptop itu tapi tangannya ditahan oleh Rizal.
"Jangan! Nanti kamu tersengat listrik."
"Tapi ...." Laptop yang belum terpasang casing itu, seketika kembali mati. Dia sangat kecewa dengan dirinya sendiri karena kerja kerasnya kemarin sia-sia dan harus mengulangnya lagi.
"Kamu demam?" Rizal semakin menahan tubuh Aira. Satu tangannya menyentuh kening Aira lalu tengkuk lehernya tapi Aira mengelaknya.
"Ini gimana? Pak Ares pasti marah." Suara Aira bergetar, dia tidak peduli dengan kondisi tubuhnya saat ini.
"Kamu tenang saja, biar aku yang mengatasinya. Kemarin kita sudah berhasil menemukan solusi. Hari ini pasti akan cepat selesai."
Tiba-tiba saja Antares masuk ke dalam ruangan itu dan mendekati Rizal yang masih menahan lengan Aira. "Apa yang terjadi?"
💕💕💕
Sabar, ini ujian. 😌
teman sesama artisnya itu...
siapa namanya lupa aku 😅🙏🏻
Mantap sekali.. 👏👏👏👏👏
👍👍👍👍👍
♥️♥️♥️♥️♥️
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️