"Buang obat penenang itu! Mulai sekarang, aku yang akan menenangkan hatimu."
.
Semua tuntutan kedua orang tua Aira membuatnya hampir depresi. Bahkan Aira sampai kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan seorang pria beristri. Dia justru bertemu anak motor dan menjadikannya pacar pura-pura.
Tak disangka pria yang dia kira bad boy itu adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimanya sebagai sekretaris.
Namun, Aira tetap menyembunyikan status Antares yang seorang CEO pada kedua orang tuanya agar orang tuanya tidak memanfaatkan kekayaan Antares.
Apakah akhirnya mereka saling mencintai dan Antares bisa melepas Aira dari ketergantungan obat penenang itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Aira dan Antares sudah dibolehkan pulang. Luka Antares masih belum sembuh sepenuhnya hingga membuatnya harus berhati-hati.
"Akhirnya pulang juga. Aku sudah kangen sama Bintang," kata Aira sambil berjalan di samping Antares. Satu tangannya terus digandeng oleh Antares.
"Bintang aman. Selama kamu di rumah sakit, Riko merawatnya."
Langkah mereka berhenti saat melihat Rika yang berjalan mendekat. Meskipun langkahnya nampak ragu, tapi akhirnya dia berhenti di dekat Aira.
"Aira, apa kamu mau pulang sama Ibu? Kalau kamu tinggal sendiri di tempat kos, Ibu khawatir kesehatan kamu terganggu lagi. Tapi, Ibu tidak memaksa."
Aira terdiam. Dia menatap Antares sesaat.
"Terserah kamu. Kamu yang memutuskan." Antares mengusap puncak kepala Aira memberinya keyakinan. "Dimanapun kamu tinggal kalau ada apa-apa langsung hubungi aku."
Aira menganggukkan kepalanya. Dia menatap ibunya lalu mendekat dan memeluknya.
"Aira, maafkan Ibu."
Aira menganggukkan kepalanya. "Aira juga minta maaf."
"Bu Rika sama Aira biar diantar sama Anton saja," kata Antares. Dia kembali menggenggam tangan Aira dan menatapnya. "Aku pulang dulu. Kalau besok kamu ke kantor, aku jemput."
"Memang Mas Ares sudah mulai bekerja?" tanya Aira.
"Iya, aku bosan kalau jadi pengangguran. Nanti Bintang dan barang kamu biar diantar ke rumah kamu."
Aira menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mereka berjalan bersama menuju tempat parkir. Setelah sampai di dekat mobil, mereka berpisah. Aira masuk ke dalam mobil milik Antares bersama ibunya yang hanya disopiri oleh Anton. Sedangkan Antares kini masuk ke dalam mobil orang tuanya.
...***...
"Aira, kamu yakin hari ini mau kerja?" tanya Rika sambil menyiapkan sarapan di meja makan. Kemudian dia duduk di sebelah Aira.
Aira menganggukkan kepalanya, lalu mendekatkan piring yang sudah berisi nasi goreng serta telur mata sapi itu.. "Sudah banyak pekerjaan di kantor. Aku juga sudah sehat."
Beberapa saat kemudian, Yudha duduk dan mengambil sarapan tanpa berkata apapun.
"Yudha, mulai sekarang kamu cari kerja sampingan untuk biaya kuliah kamu sendiri," kata Rika.
"Gak perlu repot-repot, aku akan berhenti kuliah," kata Yudha.
"Yudha, kamu sudah semester lima. Sayang kalau kamu berhenti. Kamu sudah dewasa, seharusnya kamu mulai menata masa depan kamu sendiri."
Yudha tak menjawab lagi. Dia seolah tak mendengar perkataan ibunya lalu pergi begitu saja.
"Yudha!" panggil Rika tapi Yudha sudah tak mendengarnya lagi.
"Ibu, biarkan saja. Yudha pasti kesal karena ayahnya di penjara." Kemudian Aira kembali menatap ibunya. "Apa ibu juga kesal Fadil dipenjara?"
Rika terdiam menatap Aira sesaat. "Dia memang pantas dipenjara. Kalau perlu seumur hidup. Dia terus-terusan mencelakai kamu."
"Ibu, aku akan menemui ayah kandungku," kata Aira tiba-tiba yang membuat Rika menghentikan gerakannya.
"Ayah kandung kamu? Buat apa? Ibu tidak mau kamu terluka jika ternyata ayah kandung kamu juga tidak menginginkan kamu."
Aira menggelengkan kepalanya. Dia meraih tangan ibunya dan menggenggamnya. "Ibu tenang saja. Aku hanya ingin bertemu dengannya. Mas Ares sudah berhasil menemukannya hanya saja ayah belum bisa percaya begitu saja kalau sudah mempunyai anak karena dulu ayah sama sekali tidak tahu kalau ibu hamil."
"Tidak tahu?" Rika mengernyitkan dahinya. Selama ini dia mengira Galih sudah tahu kondisinya sebelum meninggalkannya.
"Apa Ibu pernah bilang sendiri kalau ibu hamil pada ayah?"
Rika menggelengkan kepalanya. "Waktu itu, aku menitipkan surat pada Fadil karena keadaan perusahaan sangat kacau dan aku sulit sekali menemui Galih."
"Fadil yang mengacaukan semuanya. Dia bilang sama ayah, kalau ibu lebih memilih Fadil dan akan segera menikah, bahkan Fadil yang mengakui kehamilan ibu waktu itu."
Rika mengepalkan tangannya. Betapa bodohnya dia waktu itu karena tertipu Fadil, bahkan terus berlanjut sampai bertahun-tahun.
"Waktu itu, ayah juga dijadikan kambing hitam perusahaan. Itupun karena jebakan Fadil. Setelah dipenjara selama 10 tahun, ayah juga di blacklist dari seluruh perusahaan. Sekarang ayah bekerja di pelabuhan sebagai buruh bongkar muat. Aku benar-benar ingin menemuinya dan membicarakan banyak hal."
Rika mengulurkan tangannya dan mengusap rambut Aira. "Ya sudah, tapi jika dia tidak menginginkan kamu, kamu jangan sedih. Ini semua salah Ibu. Ibu tidak mau anxiety kamu kambuh lagi."
"Ibu tahu tentang penyakitku?"
"Mengapa kamu tidak cerita sama Ibu?"
Aira menggelengkan kepalanya. "Karena waktu itu, Ibu sama seperti Fadil."
"Maafkan, Ibu. Ibu terpaksa melakukannya."
Aira hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian dia segera menghabiskan sarapannya. Setelah sarapan habis, dan dia meneguk minumannya, terdengar mobil berhenti di depan rumahnya. "Mas Ares sudah jemput." Aira segera memakai tas dan membawa bekalnya keluar dari rumah.
"Hati-hati," kata Rika saat Aira berpamitan.
Aira tersenyum menatap Antares yang menunggu di teras rumahnya. Antares langsung menggandeng tangannya sambil berjalan menuju mobil.
"Kangen sekali sama kamu, padahal baru semalam tidak bertemu," kata Antares sambil membukakan pintu mobil untuk Aira. Setelah menutup pintu di sebelah Aira, dia segera masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Aira di kursi penumpang.
Anton segera melajukan mobil itu menuju perusahaan.
"Luka Mas Ares beneran sudah tidak sakit?" tanya Aira.
Antares menggelengkan kepalanya. "Sudah berangsur sembuh. Besok ada jadwal bertemu klien di dekat pelabuhan. Kalau kamu mau, kita sekalian bertemu dengan ayah kandung kamu."
Seketika senyum Aira merekah. Dia menatap Antares dengan binar matanya. "Iya, aku mau. Tapi, luka Mas Ares benar-benar tidak apa-apa kan?"
"Tidak apa-apa. Lihat nih, kamu buat bersandar juga sudah kuat." Antares sengaja menarik kepala Aira agar bersandar di bahunya.
Aira mencubit kecil tangan Antares sambil tersenyum. "Ih, modus."
"Gimana? Bintang tidak kurus kan?"
"Tidak. Bintang malah makin gemuk. Pasti dikasih makan banyak. Nanti biar dia diet, gak bagus kalau sampai obesitas."
Antares semakin mendekap Aira dan mencium rambutnya. Dia tidak peduli dengan Anton yang sedang fokus dengan jalanan.
"Mas Ares, nanti di kantor kita jaga jarak saja ya. Aku tidak mau staf lain tahu hubungan kita."
"Kenapa?" tanya Antares sambil meregangkan pelukannya. Dia kini menatap wajah Aira.
"Aku takut saja kalau ada yang tidak suka dengan hubungan kita. Bagaimanapun juga Mas Ares atasan saya, pasti akan banyak yang iri. Drama CEO dan sekretaris biasanya selalu banyak rintangan."
"Oh, ya? Kita lihat saja nanti. Apa banyak yang iri? Atau banyak yang mendukung?"
Beberapa saat kemudian mobil itu berhenti di tempat parkir perusahaan. Mereka bedua turun dari mobil. Baru saja Aira bicara tapi Antares tidak menurutinya. Antares langsung menggenggam tangan Aira sambil berjalan masuk ke perusahaan.
Beberapa staf yang melihat genggaman erat tangan Antares pada Aira, langsung tersenyum dan berbisik-bisik.
Aira berusaha melepasnya karena merasa risih dengan pandangan mereka. Saat berhenti di depan lift, staf lainnya mundur dan membiarkan Antares dan Aira menggunakan lift itu berdua.
Setelah masuk ke dalam lift, Aira memaksa melepas genggaman tangan Antares. "Pak Ares, aku tidak suka seperti ini. Tolong kalau di tempat kerja profesional."
Antares menatap Aira dan semakin mendekat. "Kamu melarangku?"
akhirnya ngaku juga ya Riko...
😆😆😆😆
u.....