Seorang kultivator Supreme bernama Han Zekki yang sedang menjelajah di dunia kultivasi, bertemu dengan beberapa npc sok kuat, ia berencana membuat sekte tak tertandingi sejagat raya.
Akan tetapi ia dihalangi oleh beberapa sekte besar yang sangat kuat, bisakah ia melewati berbagai rintangan tersebut? bagaimana kisahnya?
Ayo baca novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M. Sevian Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Malam berganti pagi udara sejuk mulai mengusir sisa-sisa embun di halaman. Han Zekki berdiri di tepi halaman utama, mengawasi murid-muridnya yang kembali berlatih dengan semangat, meski aku yakin… ya, aku yakin dalam hati mereka masih ada sisa-sisa ketegangan dari insiden semalam. Siapa yang nggak kaget, coba? Sekte Langit Timur datang mendadak bawa ancaman segala.
Di samping Zekki, Fei Rong terlihat gelisah. Wajahnya serius, dan tangan kanannya terus meraba-raba gagang pedangnya, seolah siap menghunus kapan saja. Anak ini memang gampang terpengaruh suasana. Matanya melirik Zekki, yang—seperti biasa—terlihat tenang, mungkin malah terlalu tenang.
“Guru… apa mereka bakal datang lagi?” Fei Rong akhirnya bertanya dengan suara pelan, tapi cukup terdengar. Ada nada khawatir di sana, meskipun dia berusaha menyembunyikannya.
Zekki meliriknya sekilas dan hanya mengangkat bahu, seolah nggak terlalu ambil pusing. “Mungkin aja. Tapi, kalaupun mereka datang lagi, ya kita hadapi aja, kan? Mereka pikir Sekte Nusantara ini sekadar sekumpulan murid lemah yang bisa diancam seenaknya?”
Fei Rong menggigit bibirnya, masih tampak ragu. “Iya, Guru… tapi mereka kuat. Cao Liang kemarin itu aja, auranya udah kerasa berat banget. Baru aura lho, belum serangan benerannya…” Fei Rong menghela napas, lalu menatap Zekki penuh kekhawatiran. “Aku cuma… ya, khawatir aja.”
Zekki menepuk bahu Fei Rong dengan pelan, lalu menatap jauh ke arah murid-murid yang sedang berlatih. “Fei, kau harus ngerti satu hal. Kekuatan bukan cuma soal aura atau serangan yang gede. Orang kayak Cao Liang itu, mereka cuma tahu cara pamer kekuatan doang. Mereka nggak punya apa-apa selain arogansi.”
Fei Rong mengangguk, meski raut wajahnya masih terlihat agak cemas. “Aku ngerti, Guru… tapi aku nggak bisa berhenti kepikiran. Apalagi waktu aku lihat mereka ngerendahin kita. Rasanya… rasanya ada sesuatu yang panas di dada ini, nggak bisa diterima gitu aja.”
Zekki tersenyum, kemudian mengusap kepala Fei Rong pelan. “Itulah kenapa kamu punya potensi besar, Fei. Semangatmu itu… ya, kalau dipelihara, bisa jadi kekuatan. Tapi ingat, nggak semua harus diselesaikan dengan pedang. Kadang, diam itu lebih baik.”
Fei Rong terdiam, mencoba mencerna kata-kata gurunya. Tapi ya, memang begitu gaya Zekki. Selalu kalem, jarang terlihat terbawa emosi, tapi kalau udah bertindak… wah, nggak ada yang bisa nebak apa yang bakal dia lakukan. Dan Fei tahu itu. Sebagai murid pertamanya, dia udah sering lihat langsung gimana Zekki menanganinya.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah cepat dari arah gerbang sekte. Suara itu mengganggu kesunyian pagi, dan semua murid langsung menghentikan latihan, menoleh dengan waspada ke sumber suara.
“Han Zekki!” Suara yang berat dan penuh kemarahan menggema, memecah suasana damai pagi itu. Para murid saling berpandangan, ada yang terkejut, ada yang mulai waspada. Dan di gerbang, muncul sosok Cao Liang lagi. Tapi kali ini… kali ini dia nggak sendiri. Ada sekelompok orang lain di belakangnya, semuanya mengenakan jubah biru berhiaskan bordir emas.
Fei Rong langsung tegang, napasnya tertahan. Ia menggenggam pedangnya erat, tubuhnya sedikit condong ke depan, tanda siap bertarung. Matanya menatap lurus pada Cao Liang, dan ia merasa darahnya mendidih. “Lihat siapa yang datang lagi…” gumamnya, hampir tak terdengar.
Zekki menyipitkan mata, mengamati Cao Liang dengan ekspresi datar, tapi bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang sulit ditebak artinya. “Kembali, ya?” kata Zekki santai, suaranya terdengar lembut tapi penuh ejekan. “Kupikir kau udah kapok setelah semalam.”
Cao Liang melangkah maju, senyum meremehkan di bibirnya. “Kau pikir kami akan menyerah begitu saja, Han Zekki? Sekte Langit Timur tidak akan kalah hanya karena satu orang bodoh sepertimu.”
Fei Rong yang berdiri di samping Zekki menggeram, tidak bisa menahan diri. “Ngapain kalian datang lagi? Kami nggak ada urusan sama kalian. Sekte Nusantara nggak perlu tunduk pada ancaman murahan!”
Cao Liang memandang Fei Rong sejenak, lalu tersenyum sinis. “Bocah, kau bahkan tidak paham apa yang sedang kau hadapi. Kami di sini untuk memastikan bahwa sekte kecil kalian ini tahu tempatnya. Kami akan mengajarkan pelajaran yang tidak akan kalian lupakan.”
Zekki menepuk pundak Fei Rong, memberi isyarat agar muridnya itu tenang. Ia melangkah maju sedikit, berdiri di hadapan Cao Liang tanpa sedikit pun terlihat takut. “Pelajaran? Oh, jadi kalian datang jauh-jauh hanya untuk mengajari kami soal adab dan tata krama, gitu?”
“Jangan terlalu percaya diri, Han Zekki!” Cao Liang tiba-tiba menghunus pedangnya, aura petir melingkupi bilahnya. Serangan energi petir itu berdesis, dan Cao Liang maju dengan langkah penuh ancaman.
Tapi Zekki… Zekki hanya sedikit menggeser tubuhnya, dengan mudah menghindari serangan itu. Begitu santai, seperti sedang menyingkirkan nyamuk saja.
“Cuma segitu?” tanya Zekki sambil menatap Cao Liang, nada bicaranya terdengar… ya, agak mengejek sih, kalau boleh jujur. “Kupikir kau akan lebih serius setelah pengalaman semalam.”
Mendengar ejekan itu, wajah Cao Liang memerah. “Beraninya kau! Aku akan membuatmu menyesal!” teriaknya, lalu menyalurkan lebih banyak energi petir ke pedangnya. Bilah itu kini memancarkan kilatan listrik yang jauh lebih kuat, lebih ganas. Dengan teriakan penuh amarah, dia meluncur cepat, mengayunkan pedangnya ke arah Zekki dengan seluruh kekuatan yang dia punya.
Namun, Zekki hanya mengangkat satu tangannya, ekspresinya tetap datar. “Void Shield.”
Sekejap, sebuah perisai tak terlihat muncul di depan Zekki, menahan serangan petir dari Cao Liang. Serangan yang mungkin bisa menghancurkan kultivator biasa, bahkan melukai beberapa murid sekte, itu terhenti begitu saja—seolah-olah menghantam dinding yang tak terlihat.
Cao Liang terkejut, matanya melebar tak percaya. Napasnya tertahan sejenak, seperti tak yakin apa yang baru saja terjadi. “Apa-apaan ini…? Bagaimana bisa—”
“Apa ini yang disebut ‘pelajaran’ tadi?” Zekki memotong, suaranya tenang, tapi ada nada geli di sana. “Kalau ini yang terbaik yang bisa kalian lakukan… mungkin kalian yang perlu belajar.”
Amarah Cao Liang tampak makin memuncak. Dengan gigi terkatup, dia menyalurkan energi lebih besar lagi ke pedangnya. Cahaya petir membakar udara di sekitar bilah pedangnya, dan dia berteriak penuh kemarahan sebelum melompat tinggi, siap mengayunkan serangan pamungkasnya.
Zekki hanya mendesah, sedikit bosan. “Void Slash.”
Dengan gerakan pelan, dia membuka celah kecil di udara, dan dari celah itu meluncur tebasan energi yang tak terlihat. Tebasan itu bergerak cepat, menembus udara dengan kekuatan luar biasa, menghantam langsung ke arah Cao Liang yang tak sempat menghindar.
“Aaargh!” teriak Cao Liang, tubuhnya terhuyung ke belakang. Dia berusaha mengangkat pedangnya sebagai perisai, tapi bilah pedangnya langsung retak dan pecah di udara. Luka panjang tercetak di lengannya, darah segar mengucur, mengotori tanah di bawahnya.
Cao Liang mundur dengan wajah penuh ketakutan, napasnya tersengal. “Kau… kau monster!” serunya, suaranya terdengar parau.
Zekki memandangnya dengan pandangan dingin. “Kau datang ke sini, mengancam murid-muridku, dan sekarang kau menyebutku monster? Aneh sekali. Sekarang, sampaikan ini pada pemimpinmu… Sekte Nusantara nggak akan tunduk pada sekte yang hanya tahu cara menindas orang lain.”
Mendengar itu, Cao Liang gemetar, wajahnya pucat pasi. Dia tahu dia sudah kalah. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia memberi isyarat pada pengikutnya untuk mundur. Dengan langkah tergesa-gesa dan wajah menahan malu, Cao Liang serta orang-orangnya meninggalkan Sekte Nusantara.
Begitu mereka hilang dari pandangan, suasana kembali sunyi. Fei Rong menghela napas lega, lalu menatap gurunya dengan pandangan kagum yang tak bisa disembunyikan. “Guru… maafkan aku tadi. Aku… aku nggak bisa tahan waktu mereka datang mengancam kita seperti itu.”
Zekki menepuk bahu Fei Rong pelan. “Kau sudah melakukan yang terbaik, Fei. Tapi ingat, nggak semua masalah harus diselesaikan dengan melawan. Kadang lebih baik menunggu, biarkan mereka berpikir mereka punya kendali, dan… pada akhirnya, kita yang menang. Mereka tadi cuma ingin pamer, bikin ribut.”
Fei Rong mengangguk, meski terlihat sedikit malu. “Iya, Guru. Tapi aku… aku cuma nggak suka lihat mereka meremehkan kita.”
Zekki tertawa kecil, lalu mengacak rambut Fei Rong. “Itu hal yang wajar, Fei. Tapi ingat, kebijaksanaan juga bagian dari kekuatan. Pelan-pelan kau akan mengerti.”
Fei Rong hanya mengangguk, kali ini dengan lebih mantap. Kata-kata gurunya selalu bisa memberi kedamaian di hatinya. Dan meski rasa cemas masih ada, entah kenapa, dia merasa kalau Sekte Nusantara akan baik-baik saja. Selama Zekki ada di sana
apa gak da kontrol cerita atau pengawas
di protes berkali kal kok gak ditanggapi
bok ya kolom komentar ri hilangkan